Kepemimpinan Perempuan di Sektor Iklim dan Lingkungan Butuh Dukungan Kebijakan
redaksi - Senin, 23 September 2024 07:51JAKARTA (Floresku.com) - Partisipasi dan kepemimpinan perempuan di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan, termasuk keterbatasan akses, bias gender dalam pola pikir, dan beban domestik dalam keluarga. Oleh karena itu, diperlukan dukungan kebijakan di berbagai tingkatan untuk mendukung pengarusutamaan gender terlebih di isu iklim,
keanekaragaman hayati, dan lingkungan hidup.
Tantangan, kesenjangan, kesempatan pada kepemimpinan perempuan, khususnya dalam sektor lingkungan, dibahas dalam lokakarya EcoGender Talks yang merupakan bagian dari IKI
Thematic on Gender: “Inclusive Gender Environmental Leadership: Women Driving Sustainable Impacts” di Hotel Pullman Thamrin, Jakarta Pusat, pada 18 September 2024.
Sanjoyo Kirlan, Manajer Pilar Pembangunan Sosial di Sekretariat SDG Indonesia Bappenas, mengungkapkan walaupun tingkat partisipasi perempuan tinggi di bidang pendidikan dan lingkungan kerja, persentase keterlibatan perempuan dalam posisi-posisi
pengambil keputusan, terutama di pemerintahan, masih rendah.
“Di dalam kepemimpinan politik, misalnya, hanya 20 persenperempuan yang duduk di parlemen sedangkan yang disyaratkan oleh undang-undang adalah 30 persen. Sementara itu, perempuan yang memiliki jabatan eselon 1 di provinsi hanya 17 persendan di kementerian hanya 20 persen,” ujarnya.
Menurut Sanjoyo, pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan partisipasi perempuan melalui pendekatan pengarusutamaan gender dalam berbagai kebijakan pemerintah, termasuk
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Risma Umar, peneliti dari Aksi! for gender, social and ecological justice and Gender into Urban Climate Change Initiative (GUCCI) mengatakan banyak kebijakan terkait lingkungan dan perubahan iklim yang tidak menempatkan perempuan sebagai aktor utama.
“Ada kesenjangan kapasitas [pemahaman gender] di level aktor-aktor kunci pembangunan, termasuk pada aksi iklim baik di tingkat nasional dan daerah,” katanya dalam diskusi yang diselenggarakan oleh IKI (International Climate Initiative).
Sementara itu, Gita Syahrani, Kepala Badan Eksekutif Koalisi Ekonomi Membumi mengatakan walau perempuan berpartisipasi aktif dalam banyak bidang, posisi mereka tetap tidak diuntungkan.
“Di bidang UMKM, misalnya, walau tingkat partisipasinya tinggi, wirausaha perempuan mendapatkan lebih sedikit keuntungan dan akses ke permodalan. Pengusaha dan pemimpin perempuan juga memiliki lebih sedikit ruang untuk berinovasi di bidang STEM [sains,
teknologi, teknik, dan matematika] karena beban ganda, tiga kali lipat bahkan empat kali lipat yang mereka punya,” katanya.
Uni Zulfiani Lubis, Pemimpin Redaksi IDN Times dan Ketua Forum Jurnalis Perempuan Indonesia, menekankan perusahaan memiliki peran penting dalam mendukung keadilan gender.
Ia mencontohkan kebijakan IDN Times untuk mendukung perempuan tetap bekerja setelah memiliki anak.
“Ketika proses rekrutmen, kualitas perempuan lebih baik daripada
laki-laki. Namun selama bekerja, banyak perempuan yang memutuskan berhenti karena tidak ada ekosistem yang mendukung mereka baik di rumah maupun di kantor. Oleh karena itu, kami
memiliki fleksibilitas, misalnya perempuan boleh bekerja di rumah, enam sampai sembilan bulan setelah melahirkan. Kami juga memiliki prosedur operasional perusahaan untuk kesetaraan
gender dan kekerasan gender dan memiliki fasilitas konsultasi kesehatan mental,” katanya.
Lebih lanjut, kegiatan ini juga berupaya mendorong kesempatan bagi perempuan dalam kepimpinan yang inklusif terkait pengambilan keputusan di sektor iklim dan lingkungan hidup
yang diselenggarakan oleh GIZ Indonesia and ASEAN, melalui kerangka IKI. IKI merupakan bagian penting dari komitmen pembiayaan iklim internasional pemerintah Jerman sejak 2008. Indonesia sebagai salah satu negara prioritas menjadi tuan rumah bagi 48 proyek IKI, yang terdiri dari 26 proyek Mitigasi, 1 proyek Adaptasi, 6 proyek Penyerap Karbon Alami, dan 15 proyek Keanekaragaman Hayati. (SP/Sandra). ***