Mengenang Korban Sipil, Bom Pesawat Sekutu yang Menghujam Nangaroro - Nagekeo, 78 Tahun Silam

redaksi - Minggu, 06 Agustus 2023 19:05
Mengenang Korban Sipil, Bom Pesawat Sekutu yang Menghujam Nangaroro - Nagekeo, 78 Tahun SilamB-24 Liberator Heavy Bomber Pesawat Jenis ini yang digunakan sekutu untuk membom Jepang di Ende. (sumber: Gogle images)

NANGARORO (Floresku.com) -  Tanggal 6 Agustus 1945, tahap akhir Perang Dunia Kedua, Amerika Serikat menjatuhkan bom atom uranium jenis bedil (Little Boy) di Hiroshima.  Tiga hari berikutnya,  9  Agustus, 'The Fat Man' dijatuhkan di Kota Nagasaki.  

Presiden Amerika Serikat Harry S. Truman meminta Jepang menyerah 16 jam kemudian dan memberi peringatan akan adanya “hujan bom dari udara yang belum pernah terjadi sebelumnya di muka bumi.”

Begitu salah satu potret paling memilukan dari rangkaian Perang Dunia II, yang berlangsung dari 1939 hingga 1945.

Dalam konteks Perang Dunia II itu pula, beberapa tahun sebelumnya, bom dari Sekutu telah menghujam Nangaroro, sebuah kampung di pantai selatan Flores bagia tengah. 

Peta Kampung Nangaroro, dan Insert (lokasi jatuhnya bom). (Sumber: Google Maps).

Meski hanya dalam skala kecil, bom yang dihujam oleh pesawat B-24 Liberator Heavy Bomber tak kurang pilu dampaknya.

Untuk menggali kembali tragedi kemanusiaan di Nangaroro  tujuh dekade silam,  pada  tahun 2016, sebuah tim dari Departemen Kelautan sempat membuat penelitian dan dokumentasi tentang bangkai kapal Jepang yang karam di perairan Indonesia. 

Salam satunya adalah di Mauembo, Desa Tonggo, Nangaroro, Kabupaten Nagekeo. 

Dalam sebuah wawancara dengan tim tersebut, Yohanes Goba, seorang saksi mata dalam peristiwa pemboman itu,  menceritakan bahwa pada pagi hari, tiga pesawat sekutu  meraung-raung di kawasan pantai Nangaroro hingga Mauembo. 

Mereka terbang rendah dari arah Kota Ende, menyusuri pantai selata Flores. 

Sepertinya mereka mengincar kapal Jepang yang sedang bersembunyi di teluk Pantai Mauembo, di selatan Pulau Flores bagian tengah.

Ketika menghampiri kapal Jepang itu, para pilot melihat ada yang kurang kondusif di sana. 

Pasalnya,  ada banyak anak sedang mandi di pantai Mauembo, di sekitar kapal Jepang itu. 

Ketiga ‘burung besi’ Sekutu itu pun mengurungkan niatnya untuk menjatuhkan bomnya. 

Mereka kemudian terbang ke arah utara, menuju Nangaroro. 

Tanpa dididuga, para pilot Sekutu itu menjatuhkan sejumlah bom atas jembatan yang terletak di antara Dusun Aekana dan Madambake. 

Beberapa buah bom memang berhasil meluluhlantakkan jembatan tersebut. Namun, sejumlah bom justru jatu di area perkebunan kapas, di tas lahan milik pengusaha Belanda, Van Back.

Mengapa pasukan Sekutu menyasar jembatan itu? Alasannya tak lain karena pasukan Sekutu ingin memutuskan aliran pasokan senjata dan bahan makanan bagi pasukan Jepang yang bermarkas di Mbay. 

Memang, selama pendudukannya di Flores, pasukan Jepang membangun markasnya di Mbay. 

Di sana mereka mendirikan lapangan terbang yang dikenal dengan nama Surabaya II.

Di pantai Mbay pula Jepang membangun  sebuah pelabuhan, yang kini dikenal sebagai Pelabuhan Marapokot.

Di  sejumlah lokasi di kaki bukit-bukit yang di dataran Mbay, Jepang membangun bungker (Inggris: bunker)  untuk tempat persembunyian kalau ada serangan dari pasukan Sekutu.

Makanya, di Kota Mbay dan beberapa wilayah Kabupaten Nagekeo lainnya, tercatat paling tidak ada 24 lubang atau bunker Jepang. 

Bungker-bungker tersebut rata-rata dibangun di sebuah bukit, menyerupai lubang yang panjang dengan konstruksi yang kokoh dan sampai saat ini pun masih terjaga.

Korban warga sipil berjatuhan

Setelah mengebom jembatan Nangaroro, pesawat-pesawat Sekutu itu kembali berputar ke arah Pantai Mauembo. 

Kali ini, anak-anak yang sebelumnya mandi di pantai sudah tak ada lagi.  Ketika melihat tiga pesawat datang menghampir Pantai Embo, anak-anak itu sudah lari terbirit-birit menyembunyikan diri ke arah pebukitan, di sekitar Kampung Pauwua. 

Melihat keadaan sudah cukup kondusif, pesawat-pesawat Sekutu itu pun membombardir kapal Jepang itu tanpa ampun. Kapal itu pun karam seketika.

Konon, ketika pengeboman terjadi, para serdadu Jepang sudah mengamankan diri di sebuah gua batu, tak jauh dari bibir Pantai Mauembo.

Menurut cerita seorang saksi mata, Jakob Sajo, pada hari naas itu, warga di sekitar Mauembo dan Embo Wawo atau Pauwua sedang mendapat giliran untuk bekerja di perkebunan kapas, di Nangaroro. 

Kebun kapas itu sendiri sebetulnya milik seorang pengusaha Belanda, namanya Van Back. 

Namun, ketika Belanda menyerah kalah tahun 1942,  Jepang mengambilalih kepemilikannya.

Nah, atas komando penjajah Jepang-lah, warga Kampung Mauembo  dan Pauwua bekerja di kebun kapas pada hari pengemboman jembatan Nangaroro dan kapal Jepang di Mauembo.

Penulis (kiri) bersama Bapak Jakob Sajo (89) saksi hidup tragedi pemboman di Aekana, Nangaroro, pada 06 Agustus 1945 silam. (Foto: MAP).

Jakob Sajo yang ketika itu masih kanak-kanak memang ikut serta dengan orangtuanya ke perkebunan kapas di Nangaroro itu.

Menurut Jakob, ketika pesawat Sekutu menjatuhkan bom ke arah jembatan, warga yang sedang bekerja panik, dan lari kocar-kacir. 

Sebagian berlari ke arah pantai untuk menuju ke kampung Mauembo dan Pauwua. Beberapa justru berlari ke arah utara dan bersembunyi di sekitar jembatan. 

Nah, mereka yang bersembunyi di sekitar jembatan itulah yang kemudian menjadi korban. 

Jakob mengisahkan, ketika tiba kembali di  Mauembo dan Pauwua, dalam kekalutan yang luar biasa, warga mencoba menghitung jumlah warga kampung. Setelah diteliti dan dihitung, ternyata ada tiga orang yang hilang.

Maka, keesokan harinya, pada pagi buta,  mereka kembali menelusuri area tempat bom dijatuhkan. Di antara puing-puing bom, mereka akhirnya menemukan sejumlah potongan tubuh yang kemudian dikenali atas nama: Yohanes Meo, Josep Siga, dan Fransiskus Mau.

Rofinus Sela Wolo, salah seorang cucu alm. Fransiskus Mau tengah berdoa di makam tiga korban pengemboman Sekutu, di Aekana bawah. (Foto: Rofin S. Wolo)

Fransiskus Mau

Tentang korban bom Sekutu, menurut almarhum Yoseph Naga, salah satu tetua adat Utetoto yang menjaga perbatasan wilayah tanah Toto di pantai selatan pernah bercerita kepada penulis begini:

“Sebetulnya, selain, tiga orang dari kampung Pauwua yang saat itu sedang bekerja di perkebunan kapas, ada dua sepupu saya  yang juga menjadi korban dalam peristiwa naas tersebut.”

Hanya saja, penulis kehilangan catatan soal nama yang pernah disebut  Yosef Naga. 

Pagi itu, demikian Yosef Naga, saat warga sedang bergegas hendak bekerja massal,  para korban masih duduk-duduk di pondok kebun milik bapak saya. 

"Sambil menikmati sarapan pagi, mereka ngobrol ramai sekali," tuturnya, sambil mengenang.

Ketika pesawat Sekutu datang dari arah laut, orang-orang langsung lari tercerai berai. 

Sebagian menuju lembah Sungai Aekana. Sebagian justru memilih untuk berlindung di bawah jembatan.

Para korban itu justru bersembunyi di sekitar jembatan yang menjadi sasaran pengeboman.

“Waktu itu saya sudah cukup besar, jadi saya tahu persis peristiwa itu. Apalagi salah satu korban, almarhum Bapak Frans Mau adalah kerabat saya sendiri yang berasal dari Pauwua.  Mereka  lebih banyak tinggal bersama orang tua saya. Jadi, kami sudah menjadi seperti keluarga sendiri.”

Bapak Fransiskus Mau, cerita Yosef Naga lagi,  meninggalkan istrinya, Sofia Sea dan dua anak yang masih kecil, yaitu Martinus Wuda dan Marta Te.

“Tak tega melihat kedua anak itu, dan juga karena jodoh,  Bapak Bhia, sepupun Bapak Frans Mau,  menikahi  Sofia Sea,  putri Sela Wolo dari Kampung Nelu, Pora di Lio selatan. Saya mengenal dekat Mama Sofia karena ia dan suaminya tinggal bersama dengan keluarga kami di  Aekana, Nangaroro, tak jauh dari lokasi jatuhnya bom,” tutur Yoseg Naga pula.

Bapak Bhia dan Mama Sofi,  lanjut Yosef Naga lagi, kemudian melahirkan dua anak yaitu Albertus Poa dan Tina.

Alm. Sofia Sea, janda Frans Mau (Sumber: Rofin S. Wolo)

Sekilas Pendudukan Jepang di Flores

Penulis buku “Sejarah Daerah Nusa Tenggara Timur” (1980) bersaksi bahwa pasukan Jepang masuk ke wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) pada tahun 1942. Antara satu daerah dengan daerah lainnya bala tentara Jepang mendarat tidak bersamaan. 

Di Sumba, Jepang mendaratkan pasukan di Waingapu pada 14 Mei 1942. Di Flores bala tentara Jepang masuk lewat Manggarai melalui  Reo,  Borong dan Labuhan Bajo pada anggal 13-15 Mei 1942 dengan melabuhkan tiga kapal perang.

Pasukan Jepang ini dengan cepat menguasai daerah-daerah Flores  karena masuknya hampir tidak ada perlawanan yang berarti dari pihak Belanda.

Dari Manggarai pasukan Jepang bergerak kea rah timur  menuju wilayah Ngada dan Ende.

Ketika mulai menduduki Flores dan NTT secara umum,  Jepang  menerapkan ‘Gerakan Tiga A (3A)’ yakni: ‘Nippon Pelindung Asia,’  ‘Nippon Pemimpin Asia’, dan ‘Nippon Cahaya Asia’. 

Selain itu pasukan Jepang pun bersikap manis dan selalu mengumbar janji-janji yang muluk dengan semboyan, 'Nipon adalah saudara tua." 

Dengan begitu Jepang berhasil menarik simpati masyarakat yang sedang mendambakan pembebas dari belenggu cengkeraman kekuasaan kolonial Belanda. 

Namun dalam perkembangannya, sikap Jepang pun berubah total dan menjadi sangat kejam.  Jepang melaksanakan pemerintahan dengan semena-mena. Setiap orang yang berusaha membangkang ditangkap  dan disiksa, bahkan ada yang dibunuh. 

Banyak orang dicurigai sebagai mata-mata Sekutu ataupun bekas pembantu Belanda ditangkap dan didera. 

Lebih-lebih setelah pihak Sekutu mulai mengadakan serangan balasan, Jepang sibuk membangun perlindungan, dan memaksa rakyat untuk bekerja demi kepentingan Jepang (romusya), termasuk  menggali bukit untuk dijadikan bungker, tempat perlindungan pasukan Jepang. 

Pasukan Jepang pun doyan merampas harta benda dan makanan rakyat dengan alasan untuk pertahanan. 

Flores, medan pertempuran dalam diam (Silent War)

Sepanjang Perang Dunia II berkecamuk antara pihak Jepang dan pihak Sekutu,  Pulau Flores memiliki peran yang cukup penting. Walaupun hanya sebuah pulau kecil,  tapi dalam peta peperangan, Pulau Flores menjadi sebuah ‘pintu masuk’ sekaligus ‘tembok pertahanan’ terakhir. 

Hal ini dapat dimaklumi mengingat Pulau Flores menjadi pijakan bagi pasukan Jepang untuk menyerang Australia. 

Demikian pula halnya bagi pihak Sekutu, Pulau Flores dijadikan benteng  pertahanan untuk membendung serangan Jepang menuju Asutralia,  sekaligus  pintu pijakan bagi pasukan Sekutu untuk memukul mundur pasukan Jepang.

Perang antara pasukan Jepang dan Sekutu berlangsung seru di wilayah Flores dan sekitarnya. Aksi kejar-kejaran dan baku tembak di perairan Laut Flores di utara dan di Laut Sawu di selatan,  berlangsug sengit, walau tidak banyak disadari oleh warga Flores sendiri. 

Namun, fakta itu tak bisa dipungkiri.  Pasalnya banyak kapal Jepang yang berlabuh di Reo, Terang, Labuhan Bajo, Bari, Mauembo,  Ende,  Wairterang di Teluk Maumere,  kemudian ditenggelamkan Sekutu dan menjadi bangkai (Bdk. Forum Arkeologi Volume 32, Nomor 1, April 2019 (1 – 12).

Bangkai Kapal Jepang di Pantai Mauembo (Sumber: Tim Departemen Kelautan, 20`6)
Teluk Mauembo, di  selata Pulau Flores. Tak jauh dari bibir pantai ini masih terdapat bangkai kapal Jepang yang ditenggelamkan pasukan Sekutu, lebih dari 76 tahun yang lallu (Foto: Ist)

Pada bulan April 1943 mulailah Sekutu mengadakan serangan balasan dari  udara dengan pemboman-pemboman.  Ini kemudian disusul dengan pemboman-pemboman berikutnya, baik di wilayah utara, selatan maupun di timur Pulau Flores. 

Banyak kapal Jepang, kemudian karam akibat serangan Sekutu tersebut.

Serangan Sekutu yang semakin gencar membuat Jepang kalang kabut. Oleh karena itu Jepang mengerahkan semakin banyaklah romusya untuk bekerja kepentingan demi memperkuat pertahanannya.

Banyak tenaga petani yang dikerahkan menjadi tenaga romusya ke luar daerah yang jauh dari tempat asalnya dalam waktu yang lama. Hal ini sering membawa akibat terbengkalainya tanah pertanian mereka. 

Keadaan ini lebih parah lagi dengan adanya blokade Sekutu dalam rangka serangan serangan mereka pada Jepang. 

Serangan-serangan pihak Sekutu melalui pemboman-pemboman terhadap pihak Jepang menimbulkan kerugian juga di kalangan rakyat. 

Kerugian ini di samping karena serangan-serangan Sekutu juga karena pihak Jepang terpaksa memerintahkan penduduk mengumpulkanbahan makanan untuk kepentingan pasukan mereka. 

Hal ini terjadi karena suplai bahan makanan dan persenjataan untuk pasukan Jepang mengalami kemacetan. 

Keunggulan Sekutu yang makin nyata di laut dan di udara sangat menyulitkan Jepang. 

Sebagai contoh,  12 buah kapal yang diberangkatkan dari Bali dengan membawa bahan makanan dan pakaian untuk Hari Natal dan Tahun Baru 1944 untuk  pasukan Jepang di Pulau Flores, Sumba dan Timor, tidak ada sebuah pun yang sampai tujuan karena ditenggelamkan oleh Sekutu. 

Pasukan Jepang dan gereja Katolik di Flores

Sikap semena-mena Jepang juga berlaku bagi para agamawan, terutama para pastor dan bruder, suster di Flores yang berkebangsaan Belanda dan Jerman. Tak sedikit dari mereka ditangkap dan dibuang ke Makassar, Sulawesi. 

Hal ini sangat mempengaruhi kehidupan dan perkembangan agama di NTT kala itu. Harta benda-barang gereja banyak yang dirampas, dan dialihfungsikan sebagai barak militer dan Gudang senjata Jepang. 

Di Timor terdapat dua pastor Portugis yang dibunuh Jepang, di Ende Lio terdapat tiga pastor dan delapan bruder yang ditangkap.  Namun, tas perjuangan P. Regional Bouma,  pastor Detusoko dan Jopu yang berusia lanjut berhasil dibebaskan.

 Pada 15 Juli 1942 di Flores tinggal tujuh orang imam, enam bruder dan 30 suster untuk melayani 300.000 orang Kristen (Sejarah Gereja Katolik Indonesia, 3b, 1974, hal. 1137). 

Kehidupan agama di NTT dan Flores khususnya kemudian membaik setelah dilepaskannya lagi secara berangsur-angsur para pastor, bruder dan suster yang diinternir di Makassar, Sulawesi. 

Pada 30 Agustus 1943  Uskup Nagasaki Mgr. Paulus Yamaguchi Pr,  Administrator Apostolik Hiroshima, Mgr. Aloysius Ogikara SY, dan dua orang imam diosesan: Mikhael Iwanaga dan Filipus Kyono, tiba di Ende. 

Mereka kemudian dengan giat sekali belajar bahasa dan membantu di mana saja mereka bisa. Rupanya, Jepang menyadari bahwa para Pastor, Bruder dan Suster mempunyai peranan yang besar dalam kehidupan masyarakat Flores.

 Oleh karena itu supaya kehidupan agama dan masyarakat tidak terlampau goncang Jepang mengirirnkan pastor-pastor Jepang ke Flores untuk menggantikan para misionaris berkebangsaan Belanda dan Jerman yang ditangkap dan diinternir ke Makasar.

Hal ini terbukti dari penegasan Kapten Tasuku Sato ke Flores untuk mengurus pengiriman para pastor yang ditangkap yang dianggap musuh dan berbahaya (Mark. Tennien dan T. Sato, 1957, hal. I 0).

Nah, begitulah, sekelumit kisah  dari  Kampung Nangaroro di bumi Nusa Bunga. Kisah pilu itu telah ikut mewarnai sejarah perjuangan bangsa Indonesia, meraih kemerdekaan. (*) (MA/MAR dari berbagai sumber). ***

Editor: Redaksi

RELATED NEWS