Ketimpangan, Konflik Agraria, Kerusakan Alam dan Kemiskinan Struktural Jadi Latar Belakang Konferensi Tenure Ketiga di Jakarta
redaksi - Sabtu, 14 Oktober 2023 13:35JAKARTA (Floresku.com) - Awal pekan depan, selama dua hari berturut-turut, Senin (16/10) hingga ( 17/10), Koalisi masyarakat sipil akan menyelenggarakan Konferensi Tenure ketiga di Jakarta.
Konferensi ini akan kembali mendorong terselenggaranya reforma agraria sejati dan pengelolaan sumber daya alam secara beradab untuk mewujudkan keadilan sosial ekologis.
Melalu ‘Kerangka Acuan Konferensi Tenurial 2023’ Ketua Steering Committee Dewi Kartika dan Ketua Organizing Committee Nora Hidayati mengungkapkan, “Konferensi ini dilatarbelakangi oleh ketimpangan penguasaan mencapai angka 0,68 (BPS, 2013), artinya terdapat 1% orang menguasai 68% tanah di Indonesia.”
Konsentrasi penguasaan dan monopoli tanah oleh pengusaha dan badan-badan usaha swasta maupun negara telah mengakibatkan ketimpangan, konflik agraria, kerusakan alam dan kemiskinan struktural yang akut dan meluas.
2.710 konflik agraria
Sejak Joko Widodo menjadi Presiden (2015-2022), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat telah terjadi 2.710 konflik agraria, yang berdampak pada tanah masyarakat seluas 5,88 juta Ha dan terjadi di seluruh sektor agraria; perkebunan, kehutanan, pembangunan infrastruktur, pertambangan, pesisir pulau-pulau kecil, properti, agribisnis dan fasilitas militer, termasuk proyek strategis nasional (PSN) dan pariwisata premium.
Angka tertinggi konflik agraria selama 10 tahun terakhir ini didominasi oleh konsesi perkebunan, pembangunan infrastruktur dan peningkatan eskalasi konflik agraria akibat PSN. Sedikitnya 1.615 orang dikriminalisasi (ditangkap hingga divonis), 38 ditembak dan 69 orang tewas karena mempertahankan hak atas tanah dan wilayah hidupnya di wilayah-wilayah konflik agraria.
Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) mencatat sejak 2017-2022 terjadi 301 kasus yang merampas 8,5 juta Ha wilayah adat dan mengkriminalisasi 672 jiwa warga Masyarakat Adat.
Tidaklah mengherankan, jumlah Petani kecil (gurem) dan Petani yang kehilangan tanah (landless peasants) serta menjadi korban konflik agraria semakin meningkat di Indonesia.
Seolah tak cukup, secara sistematis dan terstruktur juga terjadi peminggiran posisi dan peran Petani, Masyarakat Adat, Nelayan, Petambak dan Peternak rakyat sebagai produsen pangan nasional yang utama.
Situasi ini akibat konversi tanah pertanian ke non-pertanian yang semakin cepat dan meluas, dan model-model baru perampasan tanah demi kepentingan investasi perkebunan (sawit), proyek pembangunan infrastruktur, bisnis hutan dan tambang serta pengadaan tanah untuk Bank Tanah.
Krisis agraria berimbas pada krisis lanjutan di sektor pertanian rakyat, yang pada akhirnya mengancam eksistensi petani dan pertanian keluarga di Indonesia.
Krisis multi dimensi
Orientasi kebijakan pertanian pangan berbasis korporasi dan militer semakin memperparah krisis agraria multi dimensi, melalui Program Food Estate, Cetak Sawah Baru, Program Ketahanan Pangan, serta keran importasi pangan yang dibuka lebar hasil UU Cipta Kerja (UUCK).
Berdasarkan Data Sensus Pertanian 2013, ada 11,51 juta keluarga petani gurem, dan hanya dalam kurun waktu lima tahun (2013-2018), guremisasi kelas petani melonjak tajam menjadi 15,8 juta keluarga atau bertambah sekitar 4,29 juta keluarga (BPS, Survey Pertanian Antar Sensus, 2018).
Fakta terbaru, sebanyak 72,19% petani merupakan petani gurem dimana 91,81% diantaranya adalah petani laki-laki dan 8,19% merupakan petani perempuan (BPS-Sintesis, 2021).
Komersialisasi agraria - SDA juga telah mengubah model-model produksi, distribusi, dan konsumsi di tingkat tapak.
Hal ini berdampak lebih jauh pada hilangnya pengetahuan dan kekayaan tradisional, pergeseran peran penting petani, peladang, nelayan, petambak, peternak sebagai produsen pangan utama menjadi konsumen industri pertanian dan pangan, termasuk pupuk, benih, pestisida, dan bahkan produk pangan berbasis industrial Problem agraria struktural dan akut di atas disebabkan oleh sistem ekonomi-politik agraria yang semakin liberal dan kapitalistik, dimana prioritas tanah dan kekayaan alam sebesar-besar untuk kepentingan badan usaha skala besar.
Ketidakadilan agraria ini berbanding terbalik dengan situasi agraria yang dihadapi Petani, Masyarakat Adat, Nelayan, Buruh, Perempuan dan Masyarakat Miskin di pedesaan maupun di perkotaan.
Secara khusus, orientasi ekonomi liberal dan kapitalistik meminggirkan aspek-aspek kehidupan yang tidak berorientasi pasar yang umumnya menjadi ranah perempuan sehingga turut menyebabkan eksklusi sosial-ekonomi-politik-budaya yang dialami mayoritas perempuan di tingkat tapak, dan secara sistemik menempatkan perempuan sebagai warga negara kelas kedua yang tak terlihat.
Kerusakan alam dan bencana ekologis
Dampak lanjutan dari model pembangunan yang liberal dan kapitalistik tersebut telah mengakibatkan kerusakan alam, meningkatnya bencana ekologis dan konflik sosial.
Di berbagai titik di Indonesia terjadi banjir, longsor, kekeringan, kebakaran, abrasi dan kenaikan air laut. Di sisi lain terjadi krisis pangan karena pencemaran lingkungan.
WALHI mencatat bahwa bencana ekologis banjir terbesar terjadi di Provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat tahun 2021-2022.
BNPB mencatat sebanyak 24.379 rumah terendam banjir, kurang lebih 112 ribu warga mengungsi, dan 15 orang meninggal dunia.
Bahkan Presiden Jokowi sendiri mengatakan banjir tersebut merupakan yang terbesar dalam 50 tahun terakhir.
Bencana ekologis di atas terjadi sebagai hasil akumulasi dari berbagai pembukaan lahan yang dilakukan secara besar-besaran oleh kelompok korporasi dari tahun-tahun sebelumnya.
Selain itu, atas nama pembangunan yang berkedok ekonomi hijau, ekslasi perampasan ruang hidup masyarakat adat, petani, nelayan, dan masyarakat marginal lainnya semakin meningkat akibat proyek-proyek berlabel “hijau” yang mengikis kesuburan tanah, rakus air, laut dan sumber agraria lainnya.
Penanganan negara terhadap ketidakadilan penguasaan, pemilikan dan pengelolaan Agraria - SDA menggunakan pendekatan keamanan dan menggeser konflik menjadi konflik sosial antar etnis, ras, agama, masyarakat lokal-pendatang, buruh perkebunan-Masyarakat Adat dan Petani, serta internal komunitas yang diadu-domba.
Pendekatan keamanan dan politik pecah-belah semacam ini justru tidak menyentuh akar masalah ketimpangan dan konflik, bahkan semakin memicu munculnya konflik yang bersifat horizontal antar masyarakat.
Reformasi agraria yang gagal
Wajah buruk realitas agraria di atas menjadi sebuah ironi dan paradoks, sebab di waktu bersamaan pemerintah tengah menjanjikan pelaksanaan Reforma Agraria (RA) seluas 9 juta hektar untuk rakyat.
Pada masa awal pemerintahan Joko Widodo, agenda Reforma Agraria diharapkan akan dijalankan dengan tujuan utama: mengikis ketimpangan penguasaan tanah yang tajam; menuntaskan akumulasi konflik agraria struktural; dan memulihkan dan mengakui hak-hak rakyat yang terampas.
Agenda ini juga diharapkan menjadi jalan bagi perwujudan kedaulatan pangan dan penguatan sentra ekonomi rakyat sehingga citacita keadilan sosial, kesejahteraan dan keadilan ekologis dapat dicapai. Sayangnya pelaksanaan Reforma Agraria ala Jokowi gagal direalisasikan.
Setelah hampir satu dekade rezim pemerintahan Jokowi berjalan, Reforma Agraria dilakukan secara menyimpang jauh dari prinsip pemenuhan prinsip keadilan sosial-ekologis, yaitu prinsip yang mengedepankan kelompok rakyat yang selama ini dimarjinalkan dalam sistem ekonomi-politik agraria, sekaligus memastikan keberlanjutan layanan alam di dalam proses-proses pembangunan berbasis agraria-SDA.
Pemerintah juga mendorong kebijakan Perhutanan Sosial sebagai jalan untuk memberikan akses kelola kepada masyarakat yang tinggal di sekitar atau di dalam klaim kawasan hutan negara, serta memasukan skema Hutan Adat ke dalamnya.
Pemerintah juga menyediakan jalur lain melalui Desa Adat, Wilayah “Kelola” Masyarakat Adat dalam Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Alih-alih mendorong kebijakan yang bersifat memangkas hambatan-hambatan pelaksanaan Reforma Agraria Sejati dan semakin memperkuat posisi rakyat, justru berbagai regulasi yang bertujuan memfasilitasi investasi dan segelintir kelompok elit bisnis-elit politik semakin banyak diproduksi dan dihasilkan dengan proses yang begitu cepat serta mudah.
Mulai dari revisi UU Minerba, UU Cipta Kerja, UU IKN, Revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP).
Sementara itu regulasi yang mengarah kepada keadilan sosial dan lingkungan tidak kunjung diselesaikan dan diimplementasikan, seperti TAP MPR IX/2001, UUPA 1960, UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, Perpres Reforma Agraria dan RUU Masyarakat Adat
Menyempitnya ruang publik
Tantangan dan ancaman lain yang dihadapi gerakan masyarakat sipil adalah menyempitnya ruang publik (shrinking civic space), yang terlihat dari aktivasi para pendengung pemerintah di dunia maya, maraknya pembubaran paksa diskusi-diskusi publik, stigmatisasi terhadap perjuangan masyarakat, kriminalisasi terhadap demonstran dan aktivis, penyadapan dan pembajakan digital, pembungkaman akademisi, hingga banyaknya pembela hak atas tanah, lingkungan dan HAM yang menjadi korban kekerasan dalam berbagai bentuk.
Semua ini telah secara sistematis menambah lapisan-lapisan penghambat dan mempersempit partisipasi rakyat termasuk Masyarakat Adat, Petani, Nelayan, Perempuan, Generasi Muda, Buruh, Masyarakat Miskin di pedesaan dan perkotaan.
Seluruh krisis agraria - SDA dan kebebasan rakyat yang terjadi menunjukkan kesalahan fundamental paradigma dan model-model pembangunan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
Perubahan mendasar untuk menjawab berbagai permasalahan hak-hak rakyat membutuhkan respon efektif dan aksi kolektif lintas gerakan rakyat.
Pergantian kekuasaan yang akan datang adalah momentum penting untuk mendesakkan agenda-agenda perubanan yang dilahirkan dari konsolidasi 4 rakyat.
Untuk itulah Konferensi Tenurial 2023 yang mengusung tajuk “Mewujudkan Keadilan SosialEkologis melalui Reforma Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam” akan diselenggarakan oleh gerakan rakyat lintas sektor.
Konferensi ini penting juga ditempatkan sebagai konsolidasi modal sosial, ekonomi, budaya, politik dan pengetahuan rakyat yang akan menjadi dasar pembentukan kekuatan kolektif gerakan masyarakat sipil dalam menjawab berbagai tantangan struktural ddi atas dan di masa depan. ***