SOROTAN: Kita Tak Pernah Habis Berpikir (Ketika Kesombongan Religius Tak Pernah Berhenti)

redaksi - Jumat, 10 September 2021 22:15
SOROTAN: Kita Tak Pernah Habis Berpikir (Ketika Kesombongan Religius Tak Pernah Berhenti)Ilustrasi: Orang Farisi (sumber: Istimewa)

P. Kons Beo, SVD

BAYANGKAN! Bahkan di dalam Bait Allah, arus sombong itu tetap deras mengalir. Di keseharian,  sebenarnya  si Farisi itu ‘manusia lurus.’ Tak ada yang aneh-aneh dalam gelagat. Ia bukan tipe yang suka bikin onar. Ia tahu benar apa artinya jaga reputasi. Pencitraan adalah harga mati. Nama harum dan terhormat itulah yang dikejar. Kesalehan dan kesucian mesti diperjuangkan. Dan segala khazana rohani pantas dirawat! Sejadi-jadinya. Setidaknya itulah yang bisa terekam dari cerita dari Sang Guru dari Nazaret, Yesus. Kita sepantasnya menyururinya. Bila punya Alkitab, jangan biarkan ia lepas kotor berdebu di sudut kamar. Ambilah, buka dan bacalah dari Injil Lukas 18:9-14.

Di Bait Allah, si tukang tagih pajak itu sungguh-sungguh sudah pada ‘tahu diri.’ Ia kalah kualitas sikap. Perilakunya banyak ‘miring-miringnya.’ Pribadinya sungguh tercemar. Porak-poranda. Tercecer sana sini. Dia lalu hadir di Bait Allah. Ingin pulang kembali ke kerahiman Allah. Berbekal satu harapan lembut: “Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.” Si penagih pajak sungguh lurus dan berterus terang pada Tuhan tentang betapa pudar jalan hidupnya. Dia tak mau repot untuk menyerempet pada lagak laku si Farisi. Walau ia sebenarnya ia tahu persis betapa munafiknya di Farisi itu.

Si Farisi itu, pantaslah bila ia merasa normal bahkan berhak untuk nistakan di penagih pajak! Itu kelumrahan perilaku sosial di zaman Yesus. Yang satu rasa pantas untuk menista, yang lain pasrah saja untuk dinista. Mau tahu berapa modal untuk jadi penista terhadap yang lain? Gampang! Usahakan tetap menjadi ‘manusia kelas VVIP Bait Allah.’ Bertarunglah selalu untuk menjaga ketat tradisi dan adat kebiasaan leluhur. Dan berikutnya, usahakan jaga tampilan. Itu cuma hal praktis. Maksudnya, ‘tetap setia pakai jubah kebanggaan. Kenakan selalu  tali sembahyang  yang panjang-panjang. Dan untuk semuanya itu, usahakan agar selalu terlihat oleh mata publik.’

Dengan itu, sudah ada kekuatan untuk dapat pujian, sanjungan, penghormatan, dan pengakuan! Tidak hanya itu, Bang! Kedudukan lalu jadi ‘lebih tinggi dan benar serta selalu dan wajib benar.’ Farisi dan dunianya dengan cepat jadi standar hidup tak tergoyahkan bagi yang lain. Maka, celakalah bagi yang bersalah, bagi yang berbeda, dan bagi yang tak lazim. Sebab di situ, Bait Allah, jubah kebesaran serta tali sembahyang yang panjang-panjang sudah jadi ‘identitas’ untuk membenarkan hujatan, kesombongan, kebencian, dan kemunafikan. Tak berhenti di situ. Adalah satu kengerian bila yang ‘beraroma kesucian’ itu lalu membenarkan tindak kekerasan. Saat pedang dan batu-batu kekerasan mesti dilemparkan kepada yang dianggap sesat, najis, kafir, salah, suram dan berdosa (cf Yoh 8:3-11).

Dalam agama yang dihayati timpang nampak ada ketagihan untuk bertindak brutal. Itu tak terhindarkan saat Tuhan telah dikudeta dari takhta belaskasih dan kerahimannya. Ketika Tuhan ‘diusir pergi jauh-jauh’. Namun ironinya ada suara sekian bising yang memanggilNya kuat-kuat. Untuk memberitahukanNya bahwa sungguh Ia ‘mahabesar dan mahasuci’ di sana hanya untuk menutup satu cara pandang kita ‘mahasempit dan bernoda’ di sini. Atau bahwa agama telah manjakan Tuhan dengan segala ‘Bait KudusNya yang megah’ yang sebenarnya cumalah sebuah rumah penyekapan Tuhan. Agar Ia tak pernah ‘boleh keluar untuk tak bisa tahu’ seperti apa tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa. Atau bahwa sebenarnya tangan kita sungguh berlumur darah kekerasan!

Kenapa kita tak pernah kuat untuk sendiri berdiri kokoh di hadapan Tuhan? Dalam keteduhan batin dan kesunyian jiwa? Karena di situ, agama lalu segera dibingkai dalam resonansi mayoritas dan minoritas. Yakinlah! merasa religius hanya karena gegar mayoritas segera jadi pangkal masalah. Ada godaan berat akan cara pandang untuk hanya melihat yang sedikit dan kecil sebagai yang sesat, dan ilutif. Di situ, agama lalu berubah (diubah) dari alam ‘rumah damai, akrab, sejuk dan penuh kasih’ menuju alam rumah yang ‘mengadili, mendakwah, memvonis keras, menuduh, mempersalahkan, menghujat serta menghukum.’

Bila Tuhan telah begitu mudah dikudeta, maka berikutnya menjadi terlalu mudah untuk satu claiming kepemilikan akan kebenaran. Mayoritas telah jadi modal dasar untuk satu dogma kebenaran tunggal dan absolut. Ini belum lagi bila ia telah menggenggam erat dan berpelukan mesrah dengan kuasa dan kekuatan. Satu kepastian amat ditentukan oleh kebenaran versi mayoritas, yang nota bene, telah punya segalanya. Di situ, mayoritas bisa sesuka-suka nya menjadi bising bahkan liar untuk menjungkal apapun dan siapapun di luar kerangka kebenaran punya mereka. 

Tak heranlah bila dari situ bergemuruhlah sumpah serapah terhadap yang berbeda, karena telah dianggap miliki banyak kelainan. Bila dalam Bait Allah saja ada penistaan terhadap sesama, apalagi dalam rana keseharian. Kebencian membutakan mata untuk tak melihat keagungan Tuhan dalam diri sesama. Rumah Tuhan telah diberondong keganasan sikap. Ini semua karena itu bukan rumah ‘Tuhan-nya kita’ dan tidak juga ‘atas nama kebenaran kita.’ Ia wajib diberangus. Disapu-rata. Serata debu tanah. 

Sebenarnya sulit untuk dipahami memang. Bagaimana mungkin ada konsolidasi dan ratifikasi iman atas dasar hujatan dan kebencian? Dalam agama mayoritas distortif seperti ini memang tak pernah ada  discernment spiritual yang jitu. Biar sekedar untuk pisahkan antara kambing dan domba, ilalang dan gandum, jin dan malaikat. Di situ pun orang bahkan tak peduli telah korbankan nyawa dan darah tercecer dari sesamanya.  Itu karena memang tak ada lagi rasa hati berbelaskasih akan air mata ketakutan dan kesedihan yang tertumpah mengalir di pipi sesama itu.

Kita tak habis pikir bahwa sensus religiosus dirasa telah digapai dan berkembang dalam kesombongan yang destruktif dan anarkis. Atas dasar kebenaran tafsiran sepihak yang menegasikan ‘bonum universum.’ Tetapi itulah yang terjadi. Dan malah dianggap sebagai hak dan kewajiban, demi tanda cinta, hormat serta bakti untuk membesarkan Nama Tuhan serta menjaga kedaulatanNya.

Mari kembali ke jumpa Tuhan di Bait Allah oleh si Farisi dan si tukang tagih pajak itu.  Pada akhirnya, si Farisi itu pulang sebagai sebagai ‘manusia yang tidak dibenarkan Allah.’ Lalu? Untuk apa sebenarnya segala daya upayanya untuk ‘sorong wajah’ demi Allah? Ia cuma sekedar percaya diri hampa untuk tampil sebatas ‘membenarkan diri sendiri.’ Sementara si penagih pajak? Si pemungut cukai itu? Ia pulang ‘sebagai orang yang dibenarkan Allah.’ Tetapi yakinlah bahwa ia sendiri bakal tak tahu bahwa sudah bebas dan dibenarkan! Agar jangan sampai dengan itu ia nantinya lupa diri. Lalu berbalik menjadi manusia ‘sombong rohani.’

Sebenarnya, saat kita berjalan menuju Rumah Tuhan, biarlah cukup ada dua hal yang simpel-simpel saja di dalam seluruh diri. Ucapkanlah rasa syukur dan terima kasih pada Tuhan atas segala berkat dan karunia yang diterima, bahkan atas segala tantangan yang membuat kita semakin dewasa dalam iman. Dan berikutnya? Sujudlah mohon ampun atas segala kesalahan, kekurangan, kekhilafan dan dosa-dosa. Agar biarlah mantol kerahiman dan belaskasih Tuhan yang menyelimuti diri dan demi jalan hidup selanjutnya. Itu sudah cukup. Tak usahlah menganggap diri tinggi sambil merendahkan orang lain.

Sungguh! Dalam kerangka agama, kita mesti lebih tulus, lebar, terbuka, apa adanya pada Tuhan dan juga terhadap sesama. Jika tidak, agama tak ubah bagai panggung sandiwara yang membingungkan. Ditatap dengan banyak asumsi peyoratif.  Penuh wasangka.

Akhirnya, kita mesti renung penuh serius dan dalam hati penuh teduh kata-kata Miss Maudie, “Kadang-kadang Kitab Suci di tangan seseorang lebih buruk ketimbang sebotol wiski di tangan orang lain.” Harus kah kita sepakat dengan kata-kata Robert Mugabe, Presiden ke 2 Zimbabwe itu? Sebab katanya, “Lebih baik duduk di bar memikirkan Tuhan daripada duduk di Gereja sambil memikirkan bir.”

Wah…Ada-ada saja na.

Verbo Dei Amorem Spiranti.

 

Editor: Redaksi

RELATED NEWS