Kontroversi dan Etika Presiden Boleh Kampanye

redaksi - Minggu, 28 Januari 2024 13:45
Kontroversi dan Etika Presiden Boleh Kampanye (sumber: null)

 

Oleh Justino Djogo,MA.MBA

Direktur Eksekutif Forum Dialog Nusantara

UU No. 7 Tahun 2017 Pasal 299 ayat 1...jelas mengatur  bahwa memang dibolehkan Presiden dan Wakil Presiden yang sedang bertakhta berkampanye, baik untuk pilpres suksesornya maupun parpol pengusung dan pendukung  paslon  presiden dan wakil presidennya.

Lalu mengapa publik begitu terpana, antusias dan  bahkan menilai kontroversial jika presiden yang sedang  berkuasa jelas menyatakan keberpihakan untuk calon suksesornya.
Tidak ada salahnya kok.
Pak Presiden Jokowi sampai secara khusus menjelaskan haknya sesuai UU diatas untuk berkampanye mendukung salah satu paslon dari tiga paslon yang bertarung.

Untungnya, sampai artikel hari ini ditulis, Presiden belum ajukan cuti untuk kampanye. Segenting apakah sampa presiden mesti turun gunung berkampanye untuk salah satu paslon. Sebagian besar rakyat sudah paham bahwa selama ini presiden mesti netral dalam ajang pilpres dan pileg.

Namun UU No. 7 Tahun 2017 mengatur bahwa Presiden boleh kampanye.
Mari kita sibak selimut tradisi  dan  simak lembaran sejarah pilpres di 3 periode sebelum ini dan membandingkannya secara wajar, biasa- biasa saja dan tentu saja logis dalam perapektif pragmatisme politik.

MEGAWATI, SBY DAN JOKOWI

Saya tak perlu menarik benang merah jauh ke era pak Harto karena saat itu beliau memang menguasai semuanya alias trias politika jauh dari kenyataan. Pak Harto tak perlu kampanye tapi menunjuk 'daripada' dirinya sendiri sebagai presiden dan 'daripada' wakil presidennya sendiri.

Karena itu, kita lebih mudah mencerna dan menilai profil Megawati, SBY dan Jokowi dalam konteks UU no 7 Tahun 2018 pasal 299 ayat 1.

Presiden dan wakil presiden boleh berkampanye dalam pilpres. Tentu asumsinya, dari kacamata kontestasi pilpres, ketiga tokoh ini menyatu dengan parpol mana yang memerintahkannya untuk berkampanye atau menugasi dirinya sendiri..karena kampanye politik dalam memenangkan salah satu paslon presiden adalah tugas parpol pengusung dan pendukung yg tercermin dalam pemenuhan administratif seperti nama  dan struktur TPN 01, TKN 02, TPN 03..yang memasukan nama orang-orang parpol yang bisa menamakan dirinya timses atau tim pemenang untuk diserahkan ke KPU.

Disinilah muncul pertanyaan. Minimal kehebohan yang bisa ditenangkan dengan diplomasi berdemokrasi. Presiden yang mestinya netral boleh memihaki salah satu paslon.

Ketika Megawati berkampanye, ya dia sebagai Ketum PDIP..bisa berkampanye untuk capres yang diusung partainya. Sama halnya dengan SBY. Dia berkampanye ya atas nama Partainya, Partai Demokrat. Baju kepresidenannya bisa ditanggalkan dan mengenakan baju beratribut parpolnya.

Nah..sekarang bagaimana dengan pak Jokowi. Baju apa yang akan dikenakan saat berkampanye nanti mendukung salah satu paslon. Boleh saja pak Jokowi tampil sebagai orang biasa, tokoh, yang mengambil cuti khusus untuk berkampanye.

Dari sisi politik sah-sah saja.

Masalahnya, isu politik dinasti yang hiruk pikuk sejak indikasi konspirasi MK yang meloloskan putra Jokowi sebagai cawapres paslon 02, membuat UU no 7 Tahun 2017 menjadi ambigui.

Persepsi kita terbelah. Ada yang beranggapan ini wajar. Ada lagi menilai Presiden Jokowi tidak  netral. Hal lain yang mungkin lebih masuk akal  jika presiden mau berkampanye untuk 3 paslon. Hal yang tidak mungkin terjadi karena putranya di paslon 02.

Namun, jika ternyata pak Jokowi berkampanye untuk putranya sendiri, itu pun pasti menimbulkan kegaduhan rakyat. Bisa saja ada yang menilai ini hal biasa.
Namun menjadi luar biasa karena Presiden mengambil cuti sebagai pribadi, namun beliau bukan seorang ketum Parpol seperti Megawati dan SBY saat itu. 
Kasat mata kita ketahui pak Jokowi dan tentu saja putranya bukan dalam gerbong 03 yang nota bene adalah partai yang mengantarnya sebagai Presiden dua periode, 2014 dan 2019 . Lalu sekarang menjadi lawan tangguh paslon 02 yang walaupun samar-samar  menjadi rahasia umum didukung pak Jokowi karena putranya sebagai cawapres.

Dalam kerumitan demokrasi di negara yang disesaki oleh oknum politisi yang suka terombang -ambing dalam ketidak pastian,  mari kita menitip harapan dan mimpi agar pak Presiden Jokowi memberikan suasana teduh dalam 2 minggu masa kampanye terbuka ini.

Rasanya ada harapan karena dua hari lalu sang putra menyatakan bahwa ayahnya tak akan dampingi saat berkampanye. Ini seperti secercah kedamaian mulai memancar ke kubu paslon 1, 2 dan 3.

KESIMPULAN

Meskipun UU No. 7 membolehkan namun   Presiden Jokowi sendiri  toh belum akan menggunakannya.

Coba bayangkan, pak Jokowi satu panggung berkampanye hanya untuk  putranya.

Bukankah paslon 01 dan 03 adalah 'putra ' Presiden juga..Kedengaran melankolis namun saya mau katakan bahwa kekuasaan yang direngkuh cuma cuma dari rakyat mestinya bukan menjadi tirani bagi demokrasi.

Mari kita menanti dengan keyakinan bahwa pilpres dan pileg adalah Pesta Demokrasi bagi rakyat se Nusantara, bukan pesta kemenangan Kaum Oligarki baik itu di parpol maupun dari sektor lain.

Yang kita nantikan malah kapan capres dan cawapres yang berstatus Menteri, Walkot atau Wakil Ketua DPR RI mengundurkan diri agar tidak terjadi konflik kepentingan. Meskipun UU Pemilu tidak mengatur soal mundur dari jabatan. Biarkan hati nurani mereka yang berbicara.

Salam Demokrasi
 

Editor: MAR

RELATED NEWS