Legenda Ebu Gogo di Nage: Apakah Ada Kaitan dengan Ras Manusia Purba, Homo Floresiensis?
redaksi - Minggu, 23 Februari 2025 11:59
SEPERTI setiap suku atau klan di muka bumi ini, klan atau komunitas pribumi yang mendiami Pulau Flores memiliki cerita tersendiri mengenai asal-usul nenek-moyang mereka.
Ambil contoh, masyarakat tradisional di daerah Nage di Flores bagian tengah memiliki sebuah legenda menarik yang oleh sejumlah peneliti diduga bergaitan dengan kehidupan manusia purba di wilayah Flores tengah dan barat. Legenda itu mengisahkan kehidupan ‘manusia purba’ bertubuh pendek, yang disebut Ebu Gogo.
Perihal Ebu Gogo, sebuah artikel di jurnal ilmiah New Scientist (Vol. 186, No. 2504) memberikan penjelasan sebagai berikut. Dalam Bahasa Nage, ‘Ebu Gogo’ adalah sebutan bagi "nenek yang makan apa saja" ("nenek pelahap"). Nama itu terdiri dari dua kata, yaitu Ebu artinya "nenek" dan Gogo artinya "dia yang makan apa saja".
Ebu Gogo itu adalah makhluk yang memiliki postur badan cukup pendek dengan tinggi sekitar satu meter, mirip dengan ukuran tubuh ‘manusia negrito’ yang ditemukan Dr. Theodurus Verhoven di Cekungan Soa, dan Homo Floresiensis, yang fosilnya di temukan di Liang Bua.
Selain bertubuh pendek, Ebu Gogo berbulu lebat di sekujur tubuhnya. Ia digambarkan berperut buncit dengan daun telinga yang menonjol. Wanita dewasa Ebu Gogo memiliki payudara dengan ukuran yang tidak biasa: panjang dan menggantung, sehingga dia dapat melemparkannya ke punggung melampaui bahunya sendiri. Dikatakan, Ebu Gogo berjalan dengan cara agak canggung.
Ebu Gogo sering "bergumam" dalam apa yang dianggap sebagai bahasa yang tak dimengeri oleh warga Nage. Namun, penduduk Nage mengatakan bahwa Ebu Gogo, seperti burung Beo dapat mengulangi apa yang dikatakan kepada mereka.
Ebu Gogo hidup di dalam gua dan hanya keluar ketika mencari makanan. Atribut fantastis lain dari Ebu Gogo adalah kebiasaannya untuk menelan secara utuh makanan yang disantapnya. Mereka melahap apa saja, termasuk daging mentah, buah, sayuran, anjing, anak babi, dan sesekali bayi manusia.
Orang Nage membedakan Ebu Gogo dari "roh" (Nitu). Ebu Gogo tidak seperti Nitu yang memiliki ‘daya supranatural’ sehingga menghilang seketika, berubah bentuk, berubah menjadi hewan, dan seterusnya (Forth 2005 :15).Berdasarkan cerita orang Nage, Dr. Gregory Forth (2008), menulis buku perihal Ebu Gogo dengan judul, “Images of the Wildman in Southeast Asia: An Anthropological Perspective”.
Ringkasan narasi mengenai Ebu Gogo yang ditulis Forth (2008) seperti berikut. “Ebu Gogo seperti manusia, mereka berdiri tegak dan tidak punya ekor namun badan mereka berbulu dan wajah mereka mirip kera atau orang utan, dengan gigi taring yang besar.
Yang perempuan punya buah dada yang panjang - begitu panjang sehingga buah dada mereka bisa dibentangkan di bahu sehingga anaknya bisa menyusi dari balik punggung ibunya. Tubuh Ebu Gogo dewasa hanya setinggi satu meter, tapi mereka sangat kuat dan bisa berlari sangat kencang, sehingga manusia tidak akan bisa mengejar dan menangkap mereka.
Orang Nage di Flores Tengah menceritakan, sekitar 300 tahun yang lalu (Bdk.monstropedia.org), ada sekitar 50 orang Ebu Gogo hidup di gua Lia 'Ua, satu kilometer dari Kampung 'Ua. Gua itu sangat besar dan punya lorong masuk hingga satu kilometer panjangnya menuju pintu keluar bagian timur.
Ebu Gogo tidak mengenal alat-alat/perkakas dan senjata, juga tidak mengenal api. Mereka menyantap makanan yang didapati tanpa memasak lebih dahulu. Mereka juga tidak pernah mandi sehingga aroma atau bau badan mereka sangat tidak sedap. Manusia bisa mendeteksi kehadiran mereka lewat bau badan tersebut.
Ebu Gogo juga sering mencuri makanan dari kebun dan gubuk orang 'Ua. Kadang-kadang mereka muncul di tempat pesta di Kampung 'Ua dan permukiman-permukiman kecil di sekitar. Orang-orang di kampung ‘Ua sering memberi makanan untuk kelompok Ebu Gogo ini, dan mereka pun melahap semuanya.
Karena rakus tetapi tidak mau bercocok tanam, Ebu Gogo juga sering menyolong bekal para nelayan dan hasil tangkapan mereka di perahu. Saat menghadiri pesta, Ebu Gogo sering mempertunjukkan sejenis tarian dengan formasi melingkar. Mereka bisa bicara, tetapi menggunakan bahasa yang berbeda dengan yang dituturkan oleh orang Nage, sehingga sulit dimengerti.
Suatu saat, seorang Ebu Gogo perempuan ditangkap saat mencuri di wilayah salah satu leluhur 'Ua bernama Huma Leli. Sebelum memulai aksi pencurian, dia meninggalkan bayinya di gubuk milik Huma.
Ketika Huma pulang ke gubuknya dia menemukan bayi Ebu Gogo itu. Huma lalu menikam mati bayi itu dengan pelepah pohon moke. Kemudian, ibu dari bayi itu pun datang untuk mengambil bayinya, tetapi kaget karena digonggong anjing.
Ebu Gogo sangat takut dengan anjing. Mereka juga takut pada sisir yang terbuat dari bambu. Ebu Gogo perempuan itu lalu berteriak histeris karena mengira bahwa anjing tersebut telah membunuh bayinya. Ia kemudian melarikan diri sambil membawa bayinya yang telah mati itu ke dalam gua.
Kesal karena Ebu Gogo selalu melakukan aksi pencurian bahan makanan, orang 'Ua kemudian memutuskan untuk membasmi Ebu Gogo. Suatu ketika, setelah Ebu Gogo menghadiri sebuah pesta, kaum lelaki 'Ua pergi ke mulut gua dan menuggu hingga seluruh Ebu Gogo kembali ke gua mereka.
Kemudian para lelaki 'Ua itu segera menutup pintu keluar bagian timur dan melempar sekitar 500 koli (setara dengan 2,5-ton) ijuk ke dalam gua Lia 'Ua. Mereka bilang kepada Ebu Gogo bahwa ijuk-ijuk tersebut dapat digunakan untuk alas tidur.
Karena bodohnya, Ebu Gogo menyambut gembira ‘pemberian’ tersebut. Mereka segera mengambilnya dan membungkusi diri dengan ijuk-ijuk tersebut. Setelah Ebu Gogo membungkusi diri dengan ijuk, orang 'Ua lalu melempar puntung berapi ke arah Ebu Gogo.
Akibatnya, terjadilah kebakaran hebat di dalam gua tersebut. Seluruh Ebu Gogo yang ada di dalam gua mati terpanggang. Yang selamat hanya sepasang Ebu Gogo, karena saat itu mereka sedang berada di luar gua, mencari makanan. Sepasang Ebu Gogo tersebut melarikan diri ke gunung 'Ua, di wilayah Tana Wolo.
Setelah Ebu Gogo dibasmikan, segerombolan besar belatung keluar dari gua Lia 'Ua dan merayap berjejer sepanjang setengah kilometer dari mulut gua. Namun, akhirnya semua belatung tersebut mati tersengat panas matahari.”
Forth (2008) menduga legenda tersebut terkait dengan ras manusia purba (homo floresiensis). Namun, apakah legenda tersebut juga memberi petunjuk bahwa manusia ‘hobbit’ (orang kerdil = dwarfism) atau ‘ adalah nenek moyang pribumi Nagekeo dan Flores secara umum? Itu sebuah pertanyaan yang masih sulit dijawab hingga saat ini.* (Map/dari berbagai sumber).