Leluhur 'Ata Nagekeo': Selain dari So'a, Ada Juga yang dari Minangkabau (1)

Redaksi - Selasa, 16 Mei 2023 14:02
Leluhur 'Ata Nagekeo': Selain dari So'a, Ada Juga yang dari Minangkabau (1)Upacara adat berkenaan dengan Misa Syukur Imam Baru di Kampung Worowatu, 26 Sept. 1993 (sumber: Buku P. Dr. P. Tule, SVD (2019>x))

SETIAP  komunitas adat di  Nagekeo memiliki legenda asal-usulnya sendiri-sendiri.  Gregory Forth 1998 (235-236) misalnya menyebutkan bahwa di seluruh wilayah Nage (dan juga Keo) orang terus-menerus mewariskan kisah bahwa penduduk saat ini berasal dari So'a. 

Kisah ini seringkali dikaitkan dengan barang dan tradisi menyanyi sambil menari melingkari api unggun yang dikenal dengan nama teke (tandak), dan kebiasaan memamah sirih-pinang dan menyadap moke (aren) dan menyulingnya menjadi tuak atau arak.

Sebelumnya, Fontijne 1940  (Forth 2004) mencatat bahwa orang Nage  berbicara tentang leluhur yang bernama Bi Tua, orang Minangkabau yang diberikan izin untuk mendarat di Basa Ndai. 

Baca juga: https://floresku.com/read/leluhur-ata-ngekeo-selain-dari-soa-ada-juga-pendatang

Kemudian, Bi Tua pindah ke wilayah pedalaman bernama Bamo. Putranya, Nua Wedo, dan beberapa orang Bamo, pindah ke Keli Mado dimana pendatang dari So'a sudah lama menetap.

Kemudian, Alexander Elias, dalam artikelnya  “Are the Central Flores languages really typologically unusual? (Januari 13, 2020)  mengemukakan, bahwa salah satu cerita leluhur Nage melibatkan penjajah dari Gowa juga (Forth 1998: 230). Selain itu, orang Nage juga menelusuri asal usul nenek moyang mereka ke Sulawesi atau 'Bugis Bonerate'. 

Taku Nuru dan Mbu’e So’a: Lehuhur Komunitas Adat Worowatu

Dalam cerita lisan komunitas adat Worowatu di Ma’unori dikatakan bahwa leluhur mereka adalah  Taku Nuru dan Mbu’e So’a. 

Lisan tentang asal-usul orang Worowatu itu terekam dalam karya Pater Dr. Philipus Tule SVD, kelahiran, Koliinggi - Ma’uori  berjudul “We Are Children Of The Land: A Keo Perspective’. Oleh editor Thomas Reuter rtikel tersebut sebagai bab 9  buku Sharing the Earth, Dividing the Land: Land and Territory in the Austronesian World, (2016:211-236). 

Ketika memabahas soal tanah leluhur,  Tule mengungkapkan bahwa kontrol atas kepemilikan tanah yang luas bukanlah alasan yang cukup untuk membuat seseorang menjadi 'Penguasa Tanah' di 'Udi-Worowatu. 

Baca juga: https://floresku.com/read/ja-jara-heda-warisan-langka-dari-nagekeo-yang-mendunia

Sebab, penduduk setempat percaya bahwa hak atas penguasaan tanah diwarisi dari seorang leluhur bernama Taku Nuru yang adalah leluhur atau pendiri komunitas adat Worowatu. 

Taku Nuru dan keturunan lelakinya memegang hak untuk jabatan Penguasa Tanah di atas wilayah yang meliputi Worowatu serta 'Udi, Bedo, Witu dan Ma'uara. 

Menurut Tule, klaim ini didukung oleh lisan mengenai “Tonga, Mbu’e So’a’ . Konon Tonga ditemukan oleh 'Embu Nderu di So’a, saat dia masih bayi, terbaring di pohon liana (tadi kada). Embu Nderu kemudian membawa pulang gadis itu dan membesarkannya. 

Ketika Tonga tumbuh menjadi seorang wanita muda yang cantik, dia meminta ijin kepada ibu angkatnya, untuk pergi ke daerah pantai (selatan). 

'Embu Nderu dan Tonga Mbue Soa kemudian pindah ke pantai selatan Flores melalui Ma'umbawa. Mereka tiba di Seko Nangge, dekat 'Ae Tolo dan Ma'umbawa. Mereka tinggal di rumah 'Embu Paja Wae.

Kemudian, Tonga Mbue Soa  berangkat ke Ma'undai untuk mencari pohon tanpa daun (do kaju wunu mona). Dia bertemu Taku Nuru, seorang pemimpin lokal dari Worowatu di bawah pohon. 

Mereka berkenalan lalu menikah, membangun rumah tangga. Dari pernikahan tersebut, Tonga Mbue Soa melahirkan Waja 'Ake, Waja De’e dan Waja Sébho, yang merupakan nenek moyang komunitas adat di Worowatu dan Ma'undai.

Lisan itu pun mengklaim bahwa sejak awal Penguasa Tanah untuk seluruh wilayah Worowatu, termasuk desa Witu dan Ma'uara, selalu merupakan keturunan Taku Nuru. Keturunannya pun  mengklaim bahwa dia adalah leluhur,  pendiri komunitas adat mereka. 

Namun, ada kelompok lain yang mengklaim bahwa Taku Nuru berasal dari Gunung Koto dan menetap di desa Tudi Wado sebelum yang lain tiba. Istrinya, 'Embu Tonga Mbu’e So’a, dikatakan telah dikirim dari jauh, dari luar, dari sebuah tempat bernama So'a. 

Dia bertemu Taku Nuru di bawah 'pohon tanpa nama dan tanpa daun' (do kaju ngara mona ne’e wunu mona) di Ma'undai.  Seorang informan, Jamaludin Husein, pria asal Ma'undai, bahkan menyebut mereka adalah ‘Adam dan Hawa’nya orang Worowatu.

Yang mengherankan, unkap Tule (2016),  So’a, yang disebut dalam legenda, sebagai tempat asal 'Embu Tonga’, tidak terkait dengan praktik kontemporer komunitas setempat. 

Artinya, sejauh ini tidak ada atau belum ditemukan bukti yang menunjukkan hubungan antara dua tempat (So’a dan Worowatu) yang mungkin dibingkai sebagai hubungan kelompok pemberi istri ('embu mame) dan kelompok pengambilan istri (' ana weta). 

So’a, rumah nenek moyang orang Worowatu, digunakan di sini sebagai tempat asal umum. Ini sepertinya sesuai dengan gagasan umum di kalangan Ngadha, bahwa So'a (dan Naru) adalah tempat purba di mana bumi dan langit dulu terhubung dengan pohon liana.  (Dari berbagai sumber/MAP)

Editor: redaksi

RELATED NEWS