Maria Roslinda, Wanita Luar Biasa: Lahir di Flores, Menyandang Tuna Daksa, Merantau di Tanah Papua, Menulis Tiga Buku Sastra
redaksi - Selasa, 08 November 2022 12:35MANOKWARI (Floresku.com) – Maria Roslinde adalah wanita yang luar biasa. Betapa tidak, meski memiliki keterbatasan fisik, semangat dan daya juangnya untuk mengembangkan bakatnya di bidang seni sastra tak pernah surut sedikit pun jua.
Yang tersisa
“.....seperti senja ini, secangkir kopi panas mengepul seperti kabut terbang didepan mata... kali ini terasa sunyi sesunyi hatiku sejak kepergian kakek.
Aku ingat betul saat usia cerita senja itu saat cangkir kami telah kosong tertinggal ampas hitam di dasar cangkir, lalu muncul inspirasi kami untuk mengetahui apa yang dibicarakan ampas senja itu.
Konon, menurut cerita legenda yang turun temurun, seseorang dapat melihat masa depan dengan menerawang sisa ampas kopi yang telah di minum. (Itu) tradisi yang berlaku di kampungku di Manggarai di ujung Pulau Flores......”
Begitulah untaian kalimat yang ditulis Maria Roslinda di laman Facebook, 20 Desember 2017 lalu.
Untaian kaliman di atas menggambarkan betapa Maria Roslinda selalu meluangkan waktu untuk membaca, merefleksikan kehidupan dan menyatakanya lewat untaian kata-kata.
Kegiatan yang lazim dilakoni seorang pencinta seni sastra.
Alhasil, memasuki usia paruh baya, ia telah menorehkan pencapaian yang tak banyak dicapai oleh kaum wanita pada umumnya dalam bidang seni sastra.
Hebatnya pula, pencapaiannya yang ia raih tidak terjadi di kampung halamannya sendiri, melainkan di tanah perantauan.
Maria Roslinda terlahir 47 tahun silam, dari orangtua campuran Manggarai dan Tana Ai.
Pada 2010, Maria Roslinde menempuh perjalanan jauh dari kampung halamannya di Maumere, Nusa Tenggara Timur, menuju ke Manokwari, Papua Barat.
Selama sebelas tahun merantau di Manokwari, Maria Roslinde mengalami pasang-surut kehidupan.
Namun, di tengah pasang surut kehiduoan itu ia berhasil mengembangkan talenta yang dikarunai Tuhan bagi dirinya.
Melalui kebiasaan membaca dan menulis, Maria Roslinda berhasI menerbitkan tiga buku dan menyumbangkan tulisan untuk beberapa buku lainnya.
Tak hanya itu itu juga menjadi atlet panah Papua Barat.
Pencapaian itu terjadi berkat keterlibatannya secara aktif di Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Papua Barat.
"Di organisasi itu tong (kita) dibina untuk mengembangkan tong punya bakat. Ada yang buat kerajinan tangan, jadi atlet, sampai tulis buku macam sa," ujar Maria Roslinda seperti dikutip TribunPapuaBarat.com beberapa waktu yang lalu.
Penyandang tuna daksa
Maria Roslinda mengisahkan bahwa dirinya terlahir normal. Pada usia tiga tahun, ia didiagnosa menderita polio yang mengakibatkan kelainan pada tulang kakinya.
"Tapi sa tetap semangat dan tidak malu dengan sa pu keadaan. Sa harus buktikan kalau tong juga bisa seperti yang non-disabilitas," ujar ibu dua orang anak itu.
Pengakuannya dibenarkan oleh Silvia Sea, sahabatnya di SMP Virgo Fidelis pada akhidr dekade 1980-an dulu.
“Selain satu sekolah, kami pernah tinggal di asrama yang dikelola para suster SSpS, Maumere. Seingat saya, sahabat saya itu memang luar biasa. Keterbatasan fisik tidak menjadi halangan untuk beraktivitas dan bergaul. Ia pun sangat supel dan sangat percaya diri,” terang Silvia kepada Floresku.com, Selasa (8/11) siang.
Menerbitkan tiga buku
Kendati telah berumah tangga dan disibukkan dengan pekerjaannya sebagai staf administrasi di bagian kriminal khusus Polda Papua Barat, Maria Roslinde berhasil menerbitkan tiga buku.
Ia mengungkapkan, tulisannya lebih banyak melukiskan tentang feminisme dalam rupa puisi dan cerpen.
Meskipun sebagai pendatang, kecintaannya pada Tanah Papua juga ia ramu dalam permainan kata-katanya.
Menggunakan nama pena Mariah Rosse Lewuk, ketiga buku kumpulan puisinya berjudul Sketsa Rindu, The Silent Woman dan Ibu yang Membaca.
Buku kedua kumpulan sajak berjudul ‘TTe Silent Women’, Prolognya diisi oleh Pater Frits Meko SVD dan Epilognya ditulis oleh Pater Ve Nahak SVD.
Maria Roslinde juga menyumbangkan tulisannya pada buku 'Leksikon: Gerakan Indonesia Menulis' yang diterbitkan langsung oleh Perpustakaan Nasional RI.
Jadi atlet pemanah Provinsi Papua Barat
Menjelang Pekan Olahraga Nasional (PON) XX Papua 2021, Maria Roslinde mendaftarkan diri menjadi atlet panah untuk kategori penyandang disabilitas.
"Waktu tong dikasih pilihan, terus sa lihat cabang olahraga apa yang bisa untuk tuna daksa macam sa. Akhirnya ya sudah coba latihan panah dan akhirnya suka," katanya.
Sayangnya, Maria Roslinde tidak bisa berlaga di PON waktu itu dan puas dengan posisi atlet panah cadangan dari Papua Barat. (Silvia) ***