Memerangi Stunting dan Kemiskinan di NTT

MAR - Rabu, 24 Februari 2021 08:44
  Memerangi Stunting dan Kemiskinan di NTT (sumber: 2021/02/1614044607758.jpeg)

Oleh: Primus Dorimulu*

Ketika menyatakan “orang miskin tidak boleh punya anak", Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL) tentu tidak bermaksud untuk mengurangi hak asasi orang NTT untuk menikah dan mempunyai anak. Pesan utama gubernur nyentrik itu adalah pentingnya “perencanaan dan persiapan masa depan”. Setiap manusia normal perlu merencanakan masa dep

Orang tidak boleh menikah tanpa persiapan. Pasangan yang menikah perlu memiliki pemahaman yang tepat tentang kehidupan keluarga, tanggung jawab sebagai ayah dan Ibu, dan tanggung jawab kepada bangsa dan negara. Pasangan yang hendak menikah perlu memahami bahwa bayi yang sehat hanya bisa lahir dari ibu yang sehat dan ayah yang bugar. Untuk memiliki kesehatan yang baik dan kebugaran, pasangan suami istri harus hidup sehat: mengonsumsi makanan bernutrisi tinggi, tidur cukup, gerak badan yang teratur, tidak menenggak miras, dan merokok.

Saat “membuahi” pasangan, kesehatan suami harus prima. Bukan hanya sehat, tetapi juga bugar, sedangkan sang ibu tidak hanya mengonsumsi makanan bergizi, istirahat yang cukup dan gerak badan terukur, juga bebas dari tekanan psikologis. Tidak ada kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)! KDRT tidak cuma secara fisik, juga kekerasan verbal. Ibu yang hamil dan menyusui bayi harus hidup bahagia dan merasa dicintai suami.

Saat mengunjungi Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), NTT, 13 Februari 2020, VBL mengatakan angka stunting 48% dan angka kemiskinan di TTS sebesar 27% adalah yang tertinggi di NTT. Ia meminta pemda setempat untuk menurunkan angka stunting dan kemiskinan hingga belasan persen pada 2021.

“Saya minta kepada para kepala desa untuk melarang keluarga miskin, jangan lagi punya anak. Jika satu keluarga miskin tidak tambah anak lagi, maka angka kemiskinan kita turun ke 18%. Saya mau dimarahi oleh siapa pun, saya tidak peduli,” tegas Gubernur Viktor.

Tanpa beban, VBL selalu bicara apa adanya. Seruan agar orang miskin tidak hamil dan melahirkan disampaikan di berbagai kesempatan. Pada Juni 2020, saat mengunjungi Kabupaten Ngada, VBL juga menyampaikan pesan yang sama. Meski ada yang pro dan kontra terhadap pernyataannya, ia tetap pada keyakinannya.

Ia meminta semua pihak ikut membantu mengedukasi pasangan muda yang hendak menikah dan keluarga yang memiliki anak dan sedang memelihara bayi. Para tokoh agama juga punya peran penting. Selain memberikan perspektif eskatologis, kehidupan di akhirat, para tokoh agama juga perlu menjelaskan cara yang baik dan benar untuk hidup sebagai manusia normal di bumi fana ini.

Allah menciptakan manusia di bumi agar manusia hidup bahagia dengan menjaga keseimbangan dengan alam semesta. VBL yakin bahwa dengan memberikan akal, budi, dan berbagai kemampuan, Allah pasti menghendaki manusia hidup bahagia di bumi. Tuhan tidak mau manusia miskin secara material.

“Orang miskin masuk neraka,” ujar Gubernur Viktor pada suatu waktu. Pernyataan VBL seperti anak panah yang menghunjam hulu hati para pemimipin Gereja Katolik dan Protestan yang selama ini, antara lain, berpegang pada ayat yang berbunyi,"Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya kerajaan surga.” (Matius 5:3)

Surga dan neraka adalah hak prerogatif Allah YME. Tak satu pun manusia yang bisa menepuk dada karena pasti masuk surga. Injil Matius 5:3 perlu dilihat konteksnya dan pesan utamanya. Orang yang miskin secara material tidak otomatis berbahagia di hadapan Allah atau masuk surga. Sebaliknya, orang berkecukupan secara material tak mesti masuk neraka.

Yang masuk surga adalah mereka yang memiliki “semangat miskin”. Semangat miskin tidak identik dengan miskin secara material: hidup dengan nutrisi buruk dan selalu tidur malam dengan perut lapar. Bisa saja, mereka yang miskin secara material justru tidak memiliki semangat miskin. Mereka, siang dan malam, hanya memikirkan bagaimana menjadi kaya, lupa bersyukur bahwa masih bisa benapas.

Mereka yang tidak miskin secara material bisa jadi memiliki semangat miskin. Dalam kenyataan, banyak orang seperti ini. Mereka hidup berkucukupan bahkan kaya karena bekerja keras. Orang lain berleha-leha, mereka bekerja keras. Orang lain hidup tanpa rencana masa depan, mereka memiliki rencana masa depan yang jelas.

Dengan pendapatan yang cukup mereka membayar pajak, menolong sesama, yang menderita, dan rajin memberikan sumbangan. Semuanya dari rezeki yang halal: hasil perasan keringat, darah, dan air mata. Tidak semua orang kaya hatinya melekat pada kekayaan. Banyak orang kaya menjadi filantrop.

Orang yang bisa menolong sesama secara material adalah mereka yang memiliki sesuatu. Kita tidak bisa memberikan sesama roti kalau kita tak memiliki roti. Kita tidak bisa membagikan kebahagiaan kalau kita sendiri tidak bahagia.

Dalam Matius 25:35-40 disebutkan,"... ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku...” Orang yang miskin secara material memang harus ditolong oleh sesama yang beruntung. Namun, mereka yang miskin karena kemalasan tidak layak mendapatkan bantuan.

Ada pepatah Inggris, poverty is the root of all evil (kemiskinan adalah akar dari segala kejahatan). Kriminalitas umumnya banyak terjadi di kawasan miskin. Oleh karena itu, di seluruh dunia, sepanjang sejarah, kemiskinan menjadi musuh bersama umat manusia.

Dalam Sustainable Development Goals (SDGs) yang ditandatangani 195 negara, termasuk Indonesia, negara-negara di dunia bertekad mengatasi 17 isu utama, di antaranya adalah penurunan angka kemiskinan dan menghilangkan kelaparan. Sebelum SDGs yang ditargetkan selesai pada 2030, PBB menggulirkan Milenum Development Goals (MDGs) tahun 2000. Karena banyak target yang belum dicapai, PBB membuat program lanjutan, yakni SDGs.

Membangun Kesadaran
Orang NTT umumnya percaya diri. Bae tida bae, NTT lebe bae. Baik tidak baik, NTT lebih baik. Fakta, hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS), September 2020 menunjukkan, jumlah penduduk miskin di NTT 1,1 juta atau 21,21% dari total populasi, menempati peringkat ketiga termiskin setelah Papua dan Papua Barat. Banyak orang miskin NTT tidak mengaku miskin. Namun, ketika ada bantuan sosial (bansos) dan perlindungan sosial lainnya, yang tidak miskin pun mengaku miskin.

Upaya untuk melepaskan diri dari kemiskinan membutuhkan kesadaran dari setiap warga NTT bahwa dirinya miskin. Dari kesadaran muncul niat yang kuat untuk bangkit dari kemiskinan. Kesadaran merupakan prasyarat untuk menghapus kemiskinan. Selama kesadaran tidak ada, berbagai bantuan pemerintah hanya melestarikan kemiskinan yang diukur dengan kriteria BPS.

Ada orang NTT yang tidak percaya dengan kriteria BPS, sehingga menyatakan jumlah orang miskin NTT tidak sebesar yang di ungkapkan hasil surve. Mereka tidak paham bahwa 74% pengeluaran untuk menghitung garis kemiskinan adalah pengeluaran untuk makanan.

Bisa dipahami betapa pusingnya pemimpin NTT untuk menggerakkan pembangunan. Mana mungkin angka kemiskinan diturunkan jika warga miskin tidak mengaku miskin, tetapi mau menerima bantuan sosial dari pemerintah. Jika tidak ada bantuan, pemerintah dimarahi. Pembangunan NTT harus dinilai dari pembangunan mental. Kesadaran masyatakat itulah yang kini tengah digugah oleh VBL.

Jumlah penduduk Indonesia yang masuk kategeori di bawah garis kemiskinan per September 2020 adalah 27,5 juta atau 10,2% dari total penduduk. Jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan naik signifikan selama pandemi. Dibanding Maret 2020, jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan naik 1,1 juta atau 0,4%.

Hasil sensus penduduk oleh BPS tahun 2020 (SP 2020) menunjukkan, jumlah penduduk Indonesia pada September 2020 mencapai 270,2 juta atau naik 32,9 juta dari tahun 2010. Selama dekade 2010-2020 laju pertumbuhan penduduk 1,25% setiap tahun.

Mereka yang masuk 27,5 juta bukan orang miskin biasa, melainkan miskin absolut. Di atasnya ada penduduk hampir miskin dan persentasenya lebih tebal. Pada masa sebelum pandemi Covid-19, jumlah penduduk hampir miskin sekitar 100 juta. Namun, dengan pandemi, jumlah mereka membengkak hingga di atas 120 juta.

Di antara penduduk miskin dan hampir miskin ada garis kemiskinan dihitung berdasarkan pengeluaran. Secara nasional, garis kemiskinan September 2020 adalah pengeluaran per kapita per hari sebesar Rp 458.947 atau Rp 2,2 juta per keluarga dengan asumsi rata-rata satu keluarga miskin punya 4,8 anggota keluarga. Pengeluaran untuk pangan mencapai 74% dari total Rp 2,2 juta.

Penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan disebut miskin absolut, sedangkan yang di atas garis kemiskinan disebut hampir miskin. Jika ada kenaikan harga pangan dan barang kebutuhan pokok lainnya, mereka yang hampir miskin menjadi warga yang miskin absolut.

Jumlah penduduk NTT per September 2020 menurut SP 2020 adalah 5,3 juta. Dari jumlah itu, 1,1 juta atau 21,21% adalah penduduk miskin absolut. Sebagian besar penduduk miskin, 25,26%, tinggal di perdesaan. Jika dihitung dengan mereka yang masuk kategori near poor, jumlah orang miskin di NTT lebih dari 2,5 juta orang atau 50% dari total penduduk.

Kondisi miskin menyebabkan angka stunting di NTT jauh di atas nasional. Jika penduduk stunting di Indonesia 27,6% pada tahun 2019, stunting di NTT masih atas 30%, bahkan ada kabupaten dengan persentase stunting di atas 40%. Namun, data Kementerian Dalam Negeri menunjukkan, angka stunting di NTT pada 2018 di level 35,4%, pada 2019 turun ke 30,3%, dan pada 2020, turun lagi menjadi 28,2%. Mudah-mudahan data ini objektif.

Bayi stunting adalah bayi dengan ukuran fisik jauh dari normal. Tubuh lebih pendek. Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR), yaitu berat kurang dari 2,5 kilogram dan panjang kurang dari 48 sentimeter. Gerakan motorik lambat. Tingkat kecerdasan rendah dan mengalami keterlambatan mental. Stunting itu sudah dari perut ibu.

Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo dalam diskusi virtual dengan Beritasatu.com, Selasa (16/2/2021), menjelaskan 1,3 juta anak setiap tahun masuk kategori stunting. Angka itu dihitung dari 27,6% dari 4,8 juta bayi yang lahir setiap tahun. Angka stunting bisa ditekan dalam dua tahun pertama dan paling lama hingga seribu hari. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menetapkan target stunting 14% pada 2024.

Dengan jumlah penduduk 1,4 miliar, angka stunting di Tiongkok hanya 8%, sedangkan bayi stunting Indonesia pada tahun 2019 masih 27,6%, lebih tinggi dari Vietnam sebesar 23% pada 2016 dan Thailand 10,5% pada 2016. WHO menetapkan standar stunting 20%.

Ironis
Bayi stunting dilahirkan dari pasangan yang tidak mempersiapkan dengan baik pernikahannya. Acara nikah, bahkan pranikah, menyedot dana besar. Ada pernikahan yang menghabiskan ratusan juta hingga miliar rupiah, tetapi kesehatan pasangan suami istri tidak mendapatkan perhatian memadai.

Di NTT, keluarga pengantin memaksakan diri menyelenggarakan resepsi pernikahan dengan ratusan undangan. Yang tidak cukup uang, mereka berani meminjam demi pesta nikah. Kesehatan kedua pengantin tidak diperhatikan dengan benar. Ini sebuah kenyataan yang ironis dan memprihatinkan.

Seperti produk, ibu adalah pabrik. Jika pabrik tidak siap, produk yang dihasilkan tidak akan berkualitas. Ibu yang tidak sehat dan saat hamil tidak mendapatkan asupan gizi dan kasih sayang memadai kemungkinan besar melahirkan bayi stunting.

Sang suami juga berperan dalam mendapatkan bayi sehat dan cerdas. Suami harus mengonsumsi makanan bernitrisi tinggi dan multivitamin agar menghasilkan sperma berkualitas. Kesehatan pasangan suami istri adalah kunci menghindari bayi stunting.

Pasangan yang hendak menikah perlu dipersiapkan dengan baik, bukan hanya tujuan perkawinan, melainkan juga upaya menjaga kebugaran. Calon Ibu perlu belajar tentang kehamilan, melahirkan, dan membesarkan bayi agar menjadi manusia berkualitas.

Bayi perlu mendapatkan lingkungan yang mendukung. Bagi masyarakat menengah bawah, peran bidan di desa sangat penting. Mereka adalah ujung tombak yang langsung berhadapan dengan para ibu hamil. Jumlah perempuan hamil di Indonesia setiap tahun sekitar 4,8 juta. Dari jumlah itu, sekitar 27,6% lahir stunting. Angka ini sudah mengalami perbaikan dibanding tahun 2013 saat stunting masih 37%.

Presiden Jokowi menargetkan agar pada tahun 2024, angka prevalensi tersebut bisa diturunkan ke 14%. Setiap tahun, angka prevalensi stunting harus dipangkas 2,7%. Ini bukan usaha yang mudah. Penurunan angka stunting bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi terutama masing-masing warga dan keluarga.

Ada 10 provinsi yang menjadi perhatian utama karena angka stunting jauh di atas nasional. Kesepuluh provinsi itu adalah Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Barat, Gorontalo, Aceh, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah.

Kabar baik disampaikan Ketua Pokja Penanganan dan Pencegahan Stunting NTT, Sarah Lery Mboeik. Menurutnya, dalam dua tahun terakhir, 2018-2020, perkembangan stunting di NTT menunjukkan tren positif. Balita stunting di NTT menurun, dari 35,4% ke 28,2%, karena ada intervensi berkelanjutan dari Pokja Stunting bersama Pemprov NTT.

Tardapat 16 dari 22 kabupaten dan kota yang mengalami penurunan angka stunting, yakni Kabupaten Sumba Tengah (12,9 %), Kabupaten TTU (6,9%), Alor (5,4%), Rote Ndao (5,4%), dan Kabupaten TTS (4%), sedangkan enam dari 22 kabupaten-kota mengalami kenaikan, yakni Sumba Barat (7%), Sabu Raijua (4,1%), Ngada (3,5%), Sumba Barat Daya (2,6%), Kabupaten Malaka (1,2%), dan Kota Kupang (2,1%).

Saat dihubungi Beritasatu.com, Minggu (21/2/2020), Kepala PKK Kabupaten Nagekeo, dokter E Yayik Prawita Gati mengatakan angka stunting di NTT terus menurun. “Terakhir, bayi stunting tinggal 13,8%,” katanya.

Pernyataan Gubernur VBL tentang kemiskinan di NTT seperti palu godam. Menghentak mereka yang memiliki kesadaran, tetapi mungkin belum cukup bagi mereka yang latah: bae tida bae NTT lebe bae. Palu godam mungkin perlu dihentakkan lebih keras lagi agar NTT tidak terus-menerus dipelesetkan menjadi bahan olok-olok sebagai “nasib tak tentu”.

*Direktur Pemberitaan BSMH

 

RELATED NEWS