Memotret Nagekeo: Nama dan Sejarahnya

Redaksi - Minggu, 19 Mei 2024 13:26
 Memotret Nagekeo:  Nama dan Sejarahnya Kompleks Kantor Pemerintah Daerah Kabupaten Nagekeo (sumber: Faceboo.com)
Pengantar:

RABU, 22 Mei 2024 ini Kabupaten Nagekeo, genap berusia 18 tahun. Lalu, pada November 2024 mendatang, warga Kaupaten Nagekeo akan ikut ambil bagian dalam perhelatan nasional, Pilkada Serentak, guna memilik Bupati dan Wakil Bupati yang akan memimpin dari Desember 2024 hingga Desember 2029 mendatang.

Berkenaan dengan dua peristiwa istimewa tersebut  Floresku.com akan rutin menayangkan  artikel naratif dengan tema pokok: Memotret Nagekeo. 

Artikel-artikel tersebut diramu dengan sudut pandang  ‘tidak biasa’, mengandalkan pendapat masyarakat ‘akar rumput’, yaitu kelompok terbesar masyarakat yang tak berpeluang  bersuara di fberbagai forum formal atau media arus utama.

Dalam observasi Floresku.com, kalangan ‘akar rumput’  biasa memotret wajah tanah air mereka ‘Nagekeo’, lewat obrolan ngalur ngidur saat duduk kongkow-kongkow bersama anggota keluarga, tetangga atau pun sahabat. 

Sementara itu, tak banyak dari mereka yang punya handphone cerdas, sesekali  ‘nimbrung’ berkomentar perihal situasi Nagekeo melalui media sosial. 

Namun, ibarat asap, semua obrolan, komentar, keluh kesah dan usul saran  mereka  segera lenyap diterpa angin;  tak pernah sampai ke telinga para pihak yang berwewenang. 

Makanya, tak heran, perubahan yang selalu dirindukan kaum ‘akar rumput’  tak  pernah menjadi sebuah kenyataan.
==================================================================

Sebuah nama bentukan

Hal ikhwal terkait nama Nagekeo jarang dijelaskan, dan tak semua orang Nagekeo memahaminya. Beberapa warga senior di Desa Gerodhere yang penulis jumpai pada April 2023 silam, mengaku tidak terlalu paham tentang asal-usul nama itu.

Mengutip Floresnet.com, blog Kesultan dan Kerajaan di Indonesia  menyebutkan bahwa menurut  Yakobus Koru (76?) seorang  warga senior Nagekeo menerangkan  bahwa nama  Nagekeo merupakan rangkaian dua kata, yatu Nage dan Keoi. Nage artinya asam, dan Keo artinya jagung. 

Koru mengisahkan, pada masa  lalu  di kerajaan Nage terdapat banyak pohon asam. Saat itu buah dan daun asam menjadi bahan makanan ternak, seperti kerbau, kuda, kambing dan domba. Jenis ternak tersebut banyak dipelihara oleh warga kerajaan Nage.

Di Kampung Aekana, Nangaroro ada seorang warga senior yang sudah rabun tapi masih bisa ‘omong banyak’ jika diajak bicara. Namanya, Jacob Sajo, usianya mendekati 90 tahun. Dia membenarkan kalau nama ‘Nagekeo’, adalah nama bentukan.

Menurut dia, semasa masih duduk di sekolah rakyat tahun 1940-an, dia dan teman-temannya  tidak mengenal nama ‘Nagekeo’. 

“Waktu saya masih anak-anak, kami tidak mengenal nama Nagekeo. Yang populer waktu itu, ya nama  daerah Nage, dan daerah Keo, dan daerah Toto-Tana Dea. Kita di pantai Selatan ini, memang masuk dalam wilayah Keo,” ujarnya saat mengobrol dengan Floresku.com awal April 2024 lalu.

Kata-kata Opa Yakob memang selaras dengan catatan sejarah. Keo adalah nama kelompok budaya yang berada di wilayah Flores Tengah bagian selatan (Bdk. Grgeory Forth, 1994). 

Menurut catatan sejarah  nama etnis Keo itu telah tenar di kalangan para misionaris Dominikan dari Portugis yang telah melanglang buana pada abad ke-16 di kawasan itu untuk mewartakan Injil hingga menjangkau beberapa stasi di kawasan Keo. 

Mengutip buku ‘Ethiopihan Oriental’ yang terbit tahun 1599, Dr. M.P.M Muskens ’ (1974) menyebutkan   bahwa sebelum tahun 1599, misionaris Dominikan Portugis sudah mendirikan kapela di Tonggo dan di beberapa kampung di sekitarnya sepert Mari, Lena, dan Kewa. (Bdk.Wilhem Lehman, 2002:2-3).  

Narasi mengenai Tonggo, Keo, juga muncul dalam catatan  Heurnius, seorang Belanda yang menjelajah wilayah Solor hingga ke Pulau Ende  dan Flores bagian tengah. Heurnius melaporkan bahwa dia tiba di Tonggo, Keo pada tahun 1638. Waktu itu Tonggo, Keo  terhubung dengan tujuh kampung di pedalaman yaitu Wolewea, daerah besar dengan 4000 orang penduduk, Rendau (Rendu),  Dora (Ndora), Daoe (Ratedao),  Moende (Munde), Pele [?], Ende Nata Mera [?] dan Lambo. (Bdk.Gerret Pieter Rouffaer, 1923: 141)  

Kemudian, dalam publikasi Belanda, nama Kéo tertulis dalam laporan JP Freijss (1860). Menurut dia, suku Keo adalah sekelompok penduduk nelayan yang berdomisili di wilayah  selatan Flores Tengah. Penduduk ini menjalani kehidupan sebagai nelayan (yang berada di pesisir) dan petani (di daerah pebukitan), sementara para wanitanya melakukan kerajinan tangan menenun. (Bdk.Maxi Ali Perajaka, 2023).

JP Freijss juga  mencatat tentang Puncak Kéo (Kéopiek) yang dimaksudkannya adalah Ebu Lobo, dan ‘Teluk Kéo’ atau ‘Kéo Bay’.  

Sementara nama ‘Nage’ sudah disebutkan oleh Pater Paul Arndt SVD dalam sejumlah dokumen gereja, terutama sejak masuknya SVD ke Pulau Flores tahun 1913.

Pada tahun 1940, Perwira Louis Fontijne membuat penelitian Dinas Kolonial Belanda yang berjudul Grondvoogden di Kelimado (Penjaga tanah di Kelimado), Kelimado merupakan wilayah yang termasuk dalam distrik Nage di Flores tengah. 

Investigasi tentang kepemilikan dan kepemimpinan tanah adat tersebut menjadi  studi ini adalah satu-satunya yang memberikan gambaran komprehensif tentang masyarakat dan budaya Nage  pada masa kolonial.

Kemudian antara tahun 1983 hingga 2011, sambil mencari salinan studi lengkap Fontijne, antropolog Gregory Forth memperbarui studi mengenai suku tersebut. 
Forth pun menduga bahwa cerita lokal tentang Ebu Gogo,  masih terkait dengan asul suku tersebut. 

Unifikasi Nage dan Keo

Nagekeo tidak lahir begitu saja. Unifikasi Nage dan Keo digagaskan oleh pejabat kolonial Belanda, A. R. Herns. Pada pertengahan dekade 1910-an, Herns mengusulkan agar Keo dan Nage dipersatukan menjadi satu  landschap  (distrik)  bernama  Nage  dan  diperintah  oleh Roga Ngole. 

Pada prinsipnya usulan  tersebut  diterima baik oleh pemerintah Hindia Belanda. Namun, dalam sebuah rapat di Boawae pada tanggal 8 April 1917, usulan tersebut ditolak  para pemimpin kedua wilayah, baik dari Nage maupun dari Keo. 

Memperhatikan hasil pertemuan Boawae tersebut, maka pimpinan  Afdeeling  Flores  dan  Gezagheber  Ngada,  dalamlaporan  yang  ditulistanggal  20  April  1917  (Nomor  798/15)  menginformasikan   kepada   Residen   Timor   bahwa   kedua wilayah Nage dan Keo itu hendaknya tidak dipersatukan di bawah kekuasan Roga Ngole. 

Wilayah Keo hendaknya tetap diakui sebagai distrik atau landschap tersendiri dengan Muwa Tunga sebagai administratornya. Maka dengan dekrit pemerintah Belanda tertanggal 28 Nopember 1917 (no.57), Muwa Tunga ditunjuk sebagai administrator (Bestuurder) yang juga telah diembannya sejak 1913, dan yang kemudian dikukuhkan dengan sumpah jabatan pada 18 Maret 1918.

Meski demikian pemerintah Hindia Belanda tetap saja berusaha mncari jalan  untuk mempersatukan  Nage dan Keo. Namun, hingga tahun 1928, pemerintah Hindia Belanda belum berhasil meyakinkan para pemimpin di dua wilayah kerajaan itu untuk bersatu. 

Penggabungan Nage dan Keo baru terwujud pada awal dekade 1930-an. Terutama,  ketika putra Oga Ngole, Joseph Juwa Dobe Ngole dilantik  Raja I, Swapraja Nagekeo pada tanggal 26 Januari 1931. Swapraja  Nagekeo bertahan hingga tahun 1950.

Penggabungan Nage dan Keo baru terwujud tiga kemudian, ditandai dengan pelantikan putra Oga Ngole, Joseph Juwa Dobe Ngole sebagai Raja Swapraja Nagekeo pertama. pada tanggal 26 Januari 1931. Swapraja  Nagekeo bertahan hingga tahun 1950.

Unifikasi Nage dan Keo kemudian bertumbuh menjadi lebih kokoh dalam perjalanan waktu selanjutnya. 

Menurut sejarah, keinginan menjadikan wilayah bekas Swpraja Nagekeo sebuah kabupaten sendiri, sudah muncul tahun 1965. Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong Royong (DPR-GR)  melalui penyataan Nomor 1 Tahun 1965 Tanggal 15 Februari 1965 memohon agar Pemerintah Agung RI membagi Kabupaten Ngada menjadi dua daswati yaitu Daswati Nagekeo dan Daswati Ngada.

Namun pernyataan tersebut tak ditindalanjuti karena pemerintah masih traumat dengan berbagai aksi pemberontakan yang mengacam integras bangsa.

Semangat dan tekad untuk mendirikan Kabupaten Nagekeo kemudian dikobarkan kembali oleh Bupati Johanes Sampping Aoh yang menerbitkan PP Nomor 65 Taun 1998 tentang Pemindahan Ibukota Kabupaten Ngada dari Kota Bajawa ke Kota Mbay, Kecamatan Aesesa’.

Perjuangan untuk membentuk Kabupaten Nagekeo kemudian dilakukan secara gencara oleh Forum Perjuangan Pembentukan Kabupaten Nagekeo yang diinisasi oleh Drs. Antonius Bhia Wea (alm.).

Kemudian, berkat dukungan dari para tokoh masyarakat da sebagian besar warga masyarkat, serta rekomendasi berdasarkan studi kelayakan oleh Unika Widya Mandira,  maka pada tanggal 8 Desember 2026, DPR RI menyetujui Pembentukan Kabupaten Nagekeo.

Selanjutnya, pada 22 Mei 2007, Calon Kabupaten Nagekeo diresmikan menjadi kabupaten defenitif. Bersamaan dengan itu, Mendagri melantik Drs Elia Djo sebagai Penjabat Bupati Nagekeo.Acara peresmian Kabupaten Nagekeo dan pelntikan Penjabat Bupati Nagekeo ditandai dengan ritual adat  Bhuja Kawa’, yaitu sebuah bekal simbolis dari Ngada sebagai kabupaten induk untuk Nagekeo, agar bisa bertumbuh menjadi sebuah kabupaten yang mandiri dan mampu mensejaterahrakan seluruh warganya.(Bdk. www.nagekeokab.go.id).

Belum cukup populer 

Kendati sudah dipakai sebagai nama Swapraja  sejak tahun 1931, nama Nagekeo tidak segera populer. Buktinya, para tetangga terdekatnya, orang Ende, masih suka membedakan antara orang Nage dan orang Keo.

Mateus Meo (79),  warga senior dari Kampung Malasera, Desa Nata Ute, Kecamatan Nangaroro,  yang pernah bersekolah di SPG Ndao mengisahkan, bahwa hingga dekade 1980-an anak-anak muda Ende sering bercanda di antara mereka. 

Saat melihat ada pria mengenakan Duka Woi, mereka langsung nyelutuk: “Ata Keo mai ka ndie” (Orang Keo sudah datang tuh). 

Tapi giliran ada yang lewat dengan mengenakan kain hitam dan lilitan selendang Hoba di leher, mereka langsung menyeeltuk, “Na, ebe ata Nage taso ka ndie” (Itu, orang Nage sudah datang).

Dikira ‘Naga Keo’

Selain mengotak-ngotakkan Nage dan Keo, sebetulnya hingga dewsa ini para  tetangga belum cukup familiar dengan nama bentukan ‘Nagekeo’.

Dalam percakapan melalui telepon, beberapa rekan jurnalis, baik dari Manggarai, Sikka, Flores Timur dan Lembata masih sering keseleo lidah dan menyebut ‘Nagakeo’. Otak dan lidah mereka seperti masih belum sepakat untuk melafalkan nama dan mengeluarkan bunyi ‘Nagekeo’.

Warga di luar Flores, apalagi. Kepada Floresku.com,  Paskalis, seorang pemuda dari Desa Nata Ute yang sedang kuliah di sebuah Akademi Perhotelan di Jakarta Selatan punya pengalaman tidak menyenangkan terkait hal itu.

Kalis, begitu pemuda itu biasa disapa, mengatakan bahwa ia sering kesal dengan sejumlah dosen dan rekan mahasiswa yang selalu menyebut nama daerah asalnya, bukan Nagekeo, tapi Naga Keo.

“Kesal om, walau saya sudah berulang kali memperkenalkan diri dari Nagekeo, mereka masih saja mereka menyebut bahwa saya dari daerah Naga Keo, Flores,” Paskalis mengisahkan.
Pengalaman serupa dialami pula oleh Yohana Alexandra yang kuliah di Prodi Ilmu Komunikasi di LSPR, Jakarta. 

Suatu ketika, saat mempresentassikan tugas matakuliah ‘Cross Culture Communication’ (Komunikasi Lintas Budaya’, ia mengangkat kasus komunikasi lintas budaya antara orang Jawa dan orang Nagekeo, Flores.

Ketika mengomentari presentasinya, sang  dosen berulang kali menyebut ‘budaya orang Naga Keo’, meski dia sudah mengingatkan bahwa yang benar itu ‘Nagekeo’ bukan’Naga Keo’.

Pengalaman serupa sering penulis alami juga. Saat duduk bertukar pikiran guna merancang outline buku pesanan Sekretariat Wakil Presiden dan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), ‘Keadilan Listrik’ tahun 2018, beberapa nama kabupaten kabupaten di NTT  jadi bahan pergunjingan karena penetrasi listrik yang rendah.

Beberapa rekan penulis, yang adalah wartawan senior,  serigkali menyebutkan  kalau di NTT  itu ada kabupaten yang namanya, Naga Keo. 

“Naga Keo itu daerah asal teman kita, Maxi. Di sana, banyak kampung masih belum ada listrik. Gelap gulita malam hanya bisa diusir oleh sinar bulan purnama ,” kata Lahyanto Nahdie, wartawan Bisnis Indonesia, dengan nada canda.

Bukan hanya itu. Beberapa kali penulis memergoki, pembaca berita  tv nasional  pun sering keseleo lidah, menyebut ‘Kabupaten Naga Keo’ saat memberita suatu peristiwa yang terjadi di Kabupaten Nagekeo.. 

Mungkin mereka mengira bahwa nama yang benar adalah Naga Keo, sedangkan ‘Nagekeo’ adalah typonya.

Mesti lebih gencar mempromosikan

Beberapa cerita di atas memberi pesan cukup jelas, bahwa Nagekeo sebagai nama daerah dan budaya, memang sudah akrab bagi warga Nagekeo sendiri, tetapi belum cukup lekat di benak banyak orang dari daerah lain.

Hal itu menjadi suatu isyarat bahwa kekayaan alam, pesona seni dan budaya, dan potensi ekonomi yang dimiliki Nagekeo, mungkin sudah banyak dieksporasi, tapi belum cukup dipromosikan secara massif ke masyarakat luar. 

Dengan kata lain, pada usia ke-18, Nagekeo ibarat seorang gadis cantik yang belum punya banyak sahabat karena ‘kurang gaul’ atau ‘terus dipingit’ orang tuanya.

Tentu saja ini, adalah sebuah PR (pekerjaan rumah, red) untuk  orang Nagekeo seluruhnya. 

Orang Nagekeo, baik pemerintah daerah maupun  warga biasa,  baik yang hidup di kampung halaman atau sedang merantau di mana saja, mesti lebih gencar mensosialisasikan nama,  budaya dan segala potensi ekonomi Nagekeo, melalui berbagai forum dan media. 

Intinya, Nagekeo beserta segala kekayaannya harus dibuat semakn dikenal banyak orang.

Bukankah ada  pepatah lama yang bilang, ‘Tak kenal maka tak sayang’? (Map).
 

Editor: Redaksi

RELATED NEWS