Mengaktifkan Solidaritas Moral Sebagai Upaya Merawat Kemanusian di Tengah Pandemi Covid-19

redaksi - Sabtu, 31 Juli 2021 11:47
Mengaktifkan Solidaritas Moral Sebagai Upaya Merawat Kemanusian di Tengah Pandemi Covid-19Ilustrasi: Solidaritas Moral (sumber: MI)

Oleh: Bayu Tonggo*

BARANGKALI sudah dianggap tua dan tak asing lagi, adagium “No man is an island” bagi kebanyakan masyarakat. Sebuah adagium yang mau menampilkan gerak langkah hidup manusia yang senantiasa dipayungi oleh nilai moral kebersamaan.

Begitu pula ungkapan ala Pak Harfan (Ikranagara) dalam film Laskar Pelangi, sebagaimana ditulis Kasdin Sihotang dalam ulasannya berjudul “Filsafat Memberi” pada IKKSU. “Hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, dan bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya”. Ungkapan yang turut menampilkan sisi moral kebersamaan (socialitas) yang senantiasa tak akan pernah lepas dari kehidupan manusia. 

Singkatnya, dapatlah dibahasakan dan disimpulkan bahwa manusia dan eksistensinya tak akan mampu tinggal dan hidup dalam kesendirian. Manusia akan selalu membutuhkan “yang lain” – sesama manusia, agar dapat saling melengkapi dalam keberlangsungan perjalanan hidupnya. 

Di tengah krisis Covid-19 yang sedang melanda dunia, adagium dan ungkapan tersebut boleh menjadi hal yang cukup relevan. Bahwasannya, ketika Covid-19 menghadirkan situasi yang krisis, manusia dituntut dalam eksistensinya untuk mau membuka diri, saling solider: memberi dan berbagi di bawah payung kebersamaan. 

Baik bahwa kesadaran model ini, telah tercipta dalam kehidupan masyarakat pada umumnya, semenjak Covid-19 ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai pandemi. Beragam bantuan tampil dan disalurkan lewat aneka cara dan upaya, yang semuanya tercitra dalam satu niat serupa: mengusir keberadaan virus corona  dari kehidupan dunia. 

Namun, kiranya cukup mengangkat sebuah “hasrat kekecewaan” ketika situasi krisis pandemi, de facto justru dimanfaatkan pula oleh sejumlah pihak untuk bergerak dalam kepentingan dirinya, dengan jalan melunturkan dan me-lemah-kan semangat solidaritas moral kemanusiaan yang masif diperjuangkan di tengah pandemi. Kepada mereka yang terdampak akibat pandemi, orang menutup mata dan menumpulkan semangat kebersamaan, solidaritas moralnya.  

Solidaritas Moral yang Me-lemah di Tengah Pandemi

Sebagai sebuah bentuk penilikan evaluatif-reflektif, sekurang-kurangnya ada dua tindakan solidaritas moral kita yang kesannya me-lemah di tengah pandemi Covid-19. Pertama, sikap ego untuk meraup banyak keuntungan, kenyamanan demi kepentingan dan keselamatan individu atau pun kelompok tertentu. Hal ini secara realistis boleh ditilik dengan banyaknya tindak kriminal yang diberitakan di berbagai media massa, semisal perampokan, pencurian, penipuan. Model tindakan yang demikian oleh Kriminolog UI, Reza Indragiri, sebagaimana diulas Athok Mahfud dalam tulisannya, “Pandemi dan Pesan Kemanusiaan 2021”, pada kolom Detik.com, disebabkan oleh keterbatasan gerak masyarakat banyak yang tak bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Lebih miris dari kondisi ini, yang mungkin masih cukup menguat dalam ingatan kita ialah hadirnya problem korupsi dana bansos yang dilakukan oleh sejumlah pejabat di negeri ini. Sebut saja salah satunya yang dilakukan oleh Menteri Sosial Juliari Batubara, yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 6 Desember lalu, atas dugaan suap bantuan sosial (bansos) penanganan pandemi Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek. Kasus ini tentu menyakitkan bagi masyarakat Indonesia. Bansos yang seharusnya diarahkan untuk pemenuhan kebutuhan bersama di tengah situasi krisis pandemi, justru disalahgunkan demi kepuasan ego pribadi.

Kedua, maraknya stigmatisasi. Psikolog Ike Herdiana, dalam ulasannya, “Stigma Saat Pandemi COVID-19 dan Tindakan Melawannya”, menyebut pada kasus Covid-19, stigma menyerang orang-orang yang berasal dari area / wilayah terinfeksi. Stigma yang hadir merupa dalam bentuk pemberian label, stereotip, pemisahan, penghilangan status dan diskriminasi terhadap orang-orang yang terhubung dengan Covid-19. Stigma yang dihadirkan akan melukai hati seseorang/kelompok bahkan lebih berdampak negatif bagi kesehatan mental dibandingkan virus corona itu sendiri.

Fakta melemahnya solidaritas kemanusiaan ini, tentu menjadi sebuah problem sosial yang mesti membutuhkan upaya pemecahannya di tengah masalah sosial utamanya, pandemi Covid-19. Urgensi pemecahan masalah solidaritas kemanusiaan, hadir dengan alasan bahwa [a] de facto, mereka yang terkena dampak-penderitaan di tengah pandemi, sangat membutuhkan uluran tangan kasih dan perhatian dari kita. [b] Dalam gagasan moral kemanusiaan, hidup bersama kita, kita bertanggungjawab atas dampak-penderitaan yang tengah mereka alami. Untuk itu, spirit solidaritas moral mesti dihidupkan kembali oleh setiap kita, guna meretas problem-problem kemanusiaan yang hadir di tengah krisis pandemi tersebut. 

Meninjau Solidaritas Moral

Solidaritas moral (Sebho, 2018:133-146) dalam pembicaraannya bersinggungan erat dengan gagasan “etika kepedulian” sebagai salah satu instruksi moral. Sebab apa yang menjadi proyek utama etika, termasuk di dalamnya etika kepedulian, ialah mempertanyakan apa yang baik dan memahami mana yang wajib. 

Etika kepedulian dalam kerangka acuan pemikirannya, sekurang-kurangnya berpijak pada dua hal. Pertama, pada pengelaman kontekstual dan situasional, dan kedua, berfokus pada orang yang konkret dan kebutuhan yang mendesak. Dengan ini, dapatlah dilihat bahwa etika kepedulian selalu bersentuhan langsung dengan interaksi sosial, relasi personal-sosial, dalam bingkai ke-saling-tergantung-an dinamis dan keterlibatan emosional yang simbiotis. Etika kepedulian menghendaki how to care about the real needs of others dalam rasa cinta, solider, dan simpati.

Catatan lain dari solidaritas moral yang erat kaitannya dengan etika kepedulian tersebut, dalam pengejawantahannya haruslah melibatsertakan sebuah spirit kepekaan rasa, spirit untuk berbelas kasih. Spirit yang tidak sekadar emosi cengeng dan melankolis semata, melainkan sebuah gerakan aktif yang mendesak orang untuk segera mengambil bagian, menanggapi keadaan “gawat darurat” orang lain. 

Apa yang mendasari gebrakan solidaritas moral? Ada tiga pemikiran yang boleh ditilik dalam melihat titik tolak tindak solidaritas moral. Pertama, dari sisi pemikiran Imannuel Kant. Bahwasannya, alasan terdalam yang meniscayakan seseorang untuk bertindak baik dan merasa iba pada sesama adalah karena perintah akal, yang menghasilkan imperatif kategoris. Imperatif kategoris ini tidak semata mendesak orang untuk melakukan yang baik, tetapi serentak mewajibkannya. Kebaikan yang timbul adalah sebuah kewajiban etis yang melekat di dalam akal seseorang, yang semakin diperkuat lagi dengan adanya desakan realitas sosial. 

Kedua, dari pendapat Arthur Schopenhauer, bahwa yang mendesak seseorang untuk berbuat baik pertama-tama bukanlah kewajiban rasional yang sebagaimana dalam pandangan Kant. Pendapat Schopenhauer, bahwa kehendak adalah elemen utama yang meniscayakan seluruh realitas bergerak, termasuk rasa peduli. Kehendak, baginya adalah semacam prinsip haikiki di dalam diri seseorang, yang membuatnya mampu peka terhadap kebahagiaan maupun penderitaan orang lain.

Ketiga, dari pemikiran Adam Smith. Menurut Smith yang meniscayakan orang untuk bertindak baik ialah suara hati, yang selain dalam tugasnya untuk menentukan kriteria baik-buruknya sebuah tindakan. Suara hati ini diperkuat dengan semacam perasaan alamiah tentang orang lain, yakni compassio atau simpati.

Solidaritas Moral: Butuh Akal dan Ketidakberpihakan

Di tengah kecamuk situasi pandemi, pengejawantahan gagasan solidaritas moral tersebut, mesti dibangun dalam tindak moralitas yang pertama, haruslah didukung oleh akal yang baik; serta kedua menuntut pertimbangan tak berpihak dari setiap kepentingan individual (Rachels, 2004: 34-40). Pertama, dari segi pertimbangan akal, tindak moralitas dalam perwujudan solidaritas moral, haruslah mampu melepaskan emosi, perasaan, dugaan-dugaan yang sifatnya irasional belaka. Jika setiap orang mengandalkan perasaan, emosi, atau pun dugaannya dalam tindak moralitas: perwujudan solidaritas moral-nya; maka tentu akan menimbulkan sebuah kecenderungan yang sama kuat. Setiap orang pasti merasa bahwa apa yang diperbuatnya adalah bagian dari moralitas, tindak solidaritas moral-nya.

Kasus-kasus kriminalitas, korupsi, atau pun problem stigmatisasi di tengah situasi pandemi, boleh jadi terjadi akibat pandangan moralitas yang melibatkan perasaan, dugaan-dugaan yang keliru. Orang merasa bahwa apa yang diperbuatnya barangkali benar secara moral. Atau pun dalam konteks tindak solidaritas dapat dibenarkan secara moral, karena barangkali ia merasa apa yang diperbuatnya adalah bagian dari sikap solidernya untuk kenyamanan dan keselamatan kelompoknya.

Perwujudan solidaritas moral dalam konteks Covid-19 harus mampu didasarkan pada pertimbangan akal dan argumentasi-argumentasi yang baik. Dalam artian bahwa orang harus mampu menanggalkan emosi, perasaan, dugaan-dugaan-nya, dan membiarkan semuanya itu dibimbing oleh akal budi yang baik. Orang harus melihat dan menetapkan adanya fakta kebutuhan akan solidaritas kemanusiaan dari mereka yang menderita di tengah pandemi. Kemudian selanjutnya dalam perwujudan solidaritas moralnya, orang boleh menandaskan prinsip moralnya, bahwa kita mesti memperhatikan dan menolong mereka yang terdampak akibat pandemi.

Kedua, solidaritas yang dibangun sebagai sebuah tindakan moral di tengah pandemi menuntut “pertimbangan tak berpihak” dari setiap kepentingan individual. Tuntutan untuk tidak berpihak di sini, melihat bahwa setiap kepentingan individual mempunyai kepentingan yang sama dalam sebuah pertimbangan moral. Dalam artian, dari sudut pandang moral, tidak ada orang yang istimewa. Kesejahteraan orang lain sama pentingnya dengan kesejahteraan kita. Tuntutan ini, menjadi semacam aturan yang melarang kita untuk memperlakukan satu orang  secara berbeda dari yang lain, jikalau tak ada alasan yang tepat untuk melakukan hal itu.  

Problem-problem kemanusiaan di tengah pandemi (tindak kriminalitas, kasus korupsi, dan stigmatisasi) sekurang-kurangnya boleh dilihat sebagai bentuk keberpihakan pada kepentingan individual dalam pertimbangan moralnya. Orang lebih mengunggulkan aspek kepentingan, keselamatan, pribadi/kelompoknya dan sama sekali tak mempertimbangkan penderitaan yang dialami sesama. Orang mempertimbangkan putusan moral yang tak sesuai dengan pertimbangan akal yang baik. Orang lebih menilik putusan moralnya, bahwa kepentingan, ego pribadinya lebih istimewa daripada  kemelaratan dan penderitaan hidup sesama.

Dengan ini, solidaritas moral kemanusiaan yang dibangun di tengah pandemi, haruslah merupakan bentuk solidaritas yang dalam pertimbangannya harus memuat kepentingan semua orang, kepentingan bersama, kepentingan mereka yang tengah menderita. Orang harus melihat bahwa mereka yang menderita memiliki kepentingan dan kesejahteraan yang serupa dengan kepentingan dirinya.

Solidaritas moral pada akhirnya harus menohok kesadaran kita. Dalam segala actus moralitas kehidupan kebersamaan kita di tengah pandemi, kita mesti melihat bahwa keberadaan solidaritas moral merupakan aspek yang sangat penting, urgen untuk diejawantahkan. Bahwa mereka yang menderita di tengah pandemi sangat membutuhkan uluran tangan solidaritas kemanusiaan kita. Sesama yang menderita di tengah pandemi sedang butuh tindak solidaritas moral kita. Kita mesti mengaktifkannya, agar eksistensi hidup kebersamaan kita (socialitas) dapat terjaga sampai kapan pun dan dalam situasi apa pun. (*)

* Bayu Tonggo, Mahasiswa STFK Ledalero, Tinggal di Ritapiret

Editor: Redaksi

RELATED NEWS