Mengembangkan Ecoliteracy, Upaya Menampik Krisis Lingkungan Hidup

redaksi - Sabtu, 24 Juli 2021 18:58
Mengembangkan Ecoliteracy, Upaya Menampik Krisis Lingkungan HidupIlustrasi: Ecoliteracy (sumber: iStock)

Oleh: Bayu Tonggo

FRED Magdoff dan John Bellamy Foster dalam buku, “Lingkungan Hidup dan Kapitalisme” (2018 : 5-6) , mengemukakan bahwa problem kemerosotan lingkungan hidup bukanlah hal baru bagi dunia saat ini saja, tetapi telah terjadi sepanjang sejarah kehidupan manusia. Sebut saja, peradaban kuno Mesopotamia dan Maya yang runtuh akibat faktor-faktor ekologis. Atau kisah peradaban Yunani Kuno, sebagaimana komentar Plato (427-347 SM) dalam Critias. “Bukti apa yang bisa kita tawarkan bahwa [tanah di sekitar Athena]....saat ini hanyalah sisa-sisa gersang dari yang sebelumnya?...Yang tersisa bagimu (dengan pulau-pulau kecil) mirip dengan rangka yang dagingnya telah habis dimakan penyakit ...”

Yang membuat dunia modern lebih menonjol dalam hal krisis lingkungan hidup yakni karena saat ini penghuni bumi lebih banyak; kita memiliki teknologi yang sanggup menciptakan kerusakan yang lebih besar dan lebih cepat; dan kita memiliki sistem ekonomi yang tak kenal batas. Kerusakan lingkungan yang timbul pun bukan hanya mengena pada tingkat lokal dan regional, seperti pada peradaban-peradaban sebelumnya; tetapi begitu meluas, mencakup kehidupan global dan mengancam sebagian besar spesies, termasuk di dalamnya spesies manusia sendiri.

Krisis lingkungan hidup yang terjadi sepanjang sejarah,  mendorong umat manusia  untuk mencari solusinya. Menumbuhkan ecoliteracy atau melek ekologi yang dituangkan penulis dalam tulisan ini, setidaknya mencerminkan upaya manusia tersebut. 

Macam-macam Krisis Lingkungan Hidup dan Sebabnya

A.Sonny Keraf (2010 : 27-65) dalam bukunya, “Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global”, membedakan lima macam krisis lingkungan hidup yang telah menjadi bencana global. Pertama, kerusakan lingkungan hidup. Yang masuk dalam kategori ini, di antaranya kerusakan hutan, kerusakan lapisan tanah, kerusakan terumbu karang, dan kerusakan lapisan ozon. 

Kedua, pencemaran. Ada empat macam pencemaran lingkungan hidup / polusi yang dapat digolongkan, yakni pencemaran air, pencemaran tanah, pencemara laut, dan sampah. 

Ketiga, kepunahan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Beberapa fenomena terkait dengan kepunahan ini, ialah punahnya keanekaragaman hayati, punahnya sumber daya alam, dan sumber mata air. Keempat,  kekacauan iklim global / perubahan iklim. Kelima, masalah sosial ikutan. 

Jenis krisis lingkungan hidup yang pertama hingga keempat, turut memberi dampak terhadap timbulnya masalah atau bencana sosial ikutan, baik di sisi kesehatan, sosial-ekonomi, politik, maupun budaya.

Dari macam krisis lingkungan hidup yang telah menjadi bencana global tersebut, apa sebetulnya yang menjadi akar awal, penyebab fundamentalnya? 

Menurut Arne Naess, krisis lingkungan hidup dewasa ini, hanya bisa diatasi dengan melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam. Dengan demikian, Arne Naess memberi sebuah ruang pemahaman bahwa krisis lingkungan hidup yang dialami saat ini, merupakan hasil atau pun berakar pada cara pandang manusia (faktor fundamental-filosofis) yang keliru, baik mengenai dirinya, alam, dan maupun tempat manusia dalam keseluruhan ekosistem. Kesalahan cara pandang ini, kemudian membawa efek pada tampilan pola perilaku yang salah atau keliru terhadap alam dan lingkungan hidup (Keraf, 2010: 2). 

Kesalahan cara pandang ini bersumber dari etika antroposentrisme, yang berakar pada filsafat Barat, mulai dari Aristoteles hingga filsuf-filsuf modern. Etika antroposentrisme menghadirkan pandangan, bahwa  manusia adalah pusat dari alam semesta dan hanya manusialah yang mempunyai nilai dan berharga pada dirinya sendiri. Sementara alam dan segala isinya, sama sekali tidak mempunyai nilai intrisik pada dirinya sendiri, kecuali nilai instrumental: sebagai alat / sarana pemenuh kebutuhan, kepentingan manusia. 

Cara pandang yang demikian, tentu melahirkan sikap atau pun perilaku yang tak peduli pada alam. Manusia akan bertindak seturut kemauannya, sewenang-wenang atas alam. Manusia merasa tak perlu ada kesadaran, kewajiban, dan tanggung jawab yang urgen terhadap alam. Kalau pun muncul sikap memelihara dan melindungi alam, itu pun bisa saja semata-mata karena pertimbangan kalkulatif demi kepentingan manusia dan sejauh menunjang kepentingan manusia (Keraf, 2010: 79-80).

Kekeliruan cara pandang filosofis  sebagaimana diulang oleh Naess, membutuhkan sebuah gagasan baru untuk menampik problem-problem lingkungan hidup yang terus menggerogoti dunia global saat ini.

Mengenakan Ecoliteracy sebagai Upaya Menampik Krisis Lingkungan Hidup

Ecoliteracy merupakan istilah lain dari melek ekologi, yang berasal dari fisikawan kelahiran Vienna, Austria, Fritjof Capra. Istilah ecoliteracy sesungguhnya merupakan singkatan dari ecological literacy

Secara etimologis, ecoliteracy berasal dari kata eco dan litercay. Eco berasal dari kata bahasa Yunani, oikos yang artinya rumah tangga, alam semesta, bumi tempat tinggal semua kehidupan, habitat atau rumah tempat tinggal semua kehidupan. Eco, kemudian umumnya dipahami dan digunakan untuk kata lingkungan hidup. Sementara, kata literacy merupakan kata bahasa Inggris yang artinya melek huruf. 

Kata ini mau menunjuk keadaan orang yang tidak lagi buta huruf; atau pun dalam arti luasnya mau menggambarkan keadaan di mana orang sudah paham atau tahu tentang sesuatu. Dengan arti etimologis yang demikian, ecolitercay dapat dipahami sebagai sebuah keadaan di mana orang sudah tercerahkan tentang pentingnya lingkungan hidup – menggambarkan kesadaran tentang pentingnya lingkungan hidup. 

Selaras dengan maksud pemahaman tersebut, Capra menjelaskan ecoliteracy sebagai keadaan di mana orang telah memahami prinsip-prinsip ekologis dan hidup sesuai dengan prinsip-prinsip ekologis, dalam menata dan membangun kehidupan bersama umat manusia di bumi ini, demi sebuah upaya mewujudkan masyarakat yang berkelanjutan (Keraf, 2014: 126-130). 

Ecoliteracy  sesungguhnya bersumber dari apa yang diistilahkan Capra tentang kearifan alam. Capra memperlihatkan kearifan alam sebagai sebuah kemampuan alam untuk mengorganisir diri dalam sebuah sistem terpadu, saling kait-mengait satu sama lain – sistem autopoesis disipatif

Sistem ini akan memungkinkan aliran energi dan materi ke dalam sebuah sistem kehidupan, yang kemudian memungkinkan berkembangnya sistem kehidupan tersebut. Sambil bersamaan dengan itu di pihak lain, sistem kehidupan tadi mengeluarkan sisa-sisa proses metabolisme yang berguna sebagai energi dan materi bagi sistem kehidupan lainnya.

Bagi Capra, untuk mengatasi krisis lingkungan hidup, haruslah dibangun sebuah model kehidupan masyarakat yang berkelanjutan, dengan berpolakan pada sistem kehidupan ekosistem, yang sebagaimana dalam gagasan tentang ecoliteracy – kearifan  alam tersebut. Untuk itu, kita perlu belajar dari prinsip-prinsip dasar pola kehidupan ekosistem yang berkelanjutan, atau sebagaimana yang diistilahkan Capra: prinsip-prinsip ekologis. 

Prinsip-prinsip ekologis menurut Fritjof Capra, sebagaimana dalam bukunya The Hidden Connections, dapat dibedakan menjadi enam prinsip (Keraf, 2014: 137-140). Pertama, prinsip jejaring. Prinsip ini menjelaskan bahwa dalam alam kita menemukan adanya rangkaian tali-temali kehidupan yang sedemikian kompleks; yang terajut rapi sedemikian rupa untuk memungkinkan setiap sistem kehidupan saling berkembang sesuai dengan jati dirinya, sambil memengaruhi perkembangan sistem kehidupan lainnya. 

Ada batas dari setiap jejaring sistem kehidupan tersebut. Batas itu bukan merupakan sebuah batas pemisah, melainkan lebih sebagai sebuah penegasan terhadap identitas dan jati diri masing-masing sistem kehidupan. Setiap sistem kehidupan saling berkomunikasi dan saling berbagi sumber daya dengan sistem kehidupan lainnya, yang memungkinkan masing-masing sistem kehidupan dapat berkembang dalam identitasnya.

Kedua, prinsip siklus. Prinsip siklus memahami bahwa semua organisme hidup dengan sendirinya; hidup dan berkembang berkat pasokan energi dan materi dalam sebuah rangkaian yang tak terputus, dari lingkungan tempat di mana organisme itu hidup dan berkembang. Bersamaan dengan itu, sistem kehidupan terus-menerus memproduksi sisa proses produksi sebagai limbah yang bermanfaat sebagai energi dan materi untuk kehidupan organisme lainnya. Apa yang diproduksi dan dilepaskan sebagai limbah oleh organisme yang satu, akan bermanfaat sebagai makanan yang menjadi energi dan materi bagi organisme hidup lainnya.

Ketiga, prinsip energi matahari, energi surya. Capra dalam bahasannya tentang prinsip ini, menegaskan bahwa prinsip energi matahari bukan hanya sekadar fakta alam. Prinsip energi matahari merupakan prinsip penting dalam alam, prinsip kehidupan. Sebagai sebuah prinsip alam, energi matahari memungkinkan kehidupan di alam dapat berjalan, berkembang dan terjadi sebagaimana adanya. Tidak akan ada kehidupan di muka bumi ini tanpa prinsip energi matahari ini.

Keempat, prinsip kemitraan. Prinsip kemitraan menegaskan bahwa pertukaran energi dan sumber daya di dalam ekosistem atau alam semesta ini, hanya mungkin terjadi melalui kerja sama yang melingkupi seluruh jaring kehidupan. Kehidupan di alam semesta berlangsung bukan dengan perang, persaingan untuk saling mengalahkan, melainkan melalui kerja sama, kemitraan, dan jaringan.   

Kelima, prinsip kenakeragaman. Prinsip ini didasarkan pada pemahaman bahwa ekosistem dapat bertahan terhadap berbagai hambatan dan rintangan, karena kekayaan kehidupan dan kompleksitas jaring ekologisnya. Semakin tinggi keragaman kehidupan di alam, semakin ekosistem tahan terhadap berbagai macam tantangan, goncangan, dan hambatan. Itulah sebabnya, pola bercocok tanam yang sangat ditekankan saat ini, ialah pola bercocok tanam yang multikultur bukan monokultur. Pola bercocok tanam multikultur akan mempertahankan dan memungkinkan kehidupan dapat berkembang secara lestari.

Keenam, prinsip keseimbangan dinamis. Prinsip keseimbangan dinamis menegaskan bahwa pada dasarnya ekosistem merupakan jaringan yang fleksibel dan berfluktuasi tanpa henti. Fleksibilitas ini merupakan konsekuensi dari rangkaian kehidupan ekosistem yang saling melengkapi, sistem yang saling kait-mengait (sistem autopoesis disipatif). Yang memungkinkan sistem kehidupan eksositem tersebut tetap bertahan dalam keseimbangan yang dinamis. 

Asumsi dasar dari pengembangan prinsip-prinsip ekologis untuk menjadi melek secara ekologis tersebut, ialah bahwa baik komunitas ekosistem maupun komunitas manusia, sama-sama adalah sebuah jaringan yang diorganisir secara tertutup; tetapi sekaligus terbuka untuk masuk dan keluarnya energi dan materi bagi perkembangan dan keberlangsungan kehidupannya. 

Tentu ada banyak perbedaan di antara keduanya, tetapi satu hal yang kiranya jelas bahwa alam telah mempertahankan kehidupannya; komunitas tumbuhan, binatang, dan organisme sebagai sebuah komunitas berkelanjutan sepanjang miliaran tahun. Untuk itu, kita dapat belajar dari model kehidupan ekosistem alam yang mampu mempertahankan keberlanjutan sistem kehidupannya dalam rentang evolusi yang begitu panjang.

Prinsip-prinsip ekologis itu pula, haruslah menjadi pijakan kesadaran kita dalam menilik keberadaan kita; cara pandang dan perilaku kita terhadap alam dan lingkungan hidup. Kita mesti melek secara ekologis, ber-ecoliteracy; sadar bahwa kita merupakan makhluk yang secara eksistensial-ontologis merupakan makhluk ekologis. Makhluk yang hanya bisa hidup, berada, berkembang, dan berproses menjadi dirinya sendiri dalam kesatuan hakiki dengan alam lingkungannya. (*) 

*Bayu Tonggo adalah mahasiswa STFK Ledalero, Tinggal di Ritapiret

 

Editor: Redaksi

RELATED NEWS