E-BOOK

Menjadi Katolik di Era Digital & AI

redaksi - Selasa, 04 November 2025 14:29
Menjadi Katolik di Era Digital & AICover E-Book Menjadi Katolik di Era Digital & AI (sumber: Floresku.com)

Kata Pengantar

KITA hidup di zaman dengan teknologi mengalami perubahan dengan ubah dengan kecepatan yang luar biasa. Dalam dua dekade terakhir, dunia menyaksikan lompatan besar dalam teknologi digital yang kini mencapai titik baru: Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence/AI). 

Teknologi ini tidak hanya mengubah cara kita bekerja, belajar, dan berkomunikasi, tetapi juga mulai menyentuh ruang-ruang spiritual dan religius. Gereja Katolik pun, sebagai bagian dari masyarakat global, tidak luput dari pengaruh gelombang besar ini.

AI telah memberi sumbangan besar bagi misi Gereja. Dalam konteks pastoral dan evangelisasi, AI dapat menjadi alat bantu yang luar biasa. Melalui sistem penerjemahan otomatis, umat di berbagai belahan dunia kini dapat mengakses dokumen-dokumen Gereja dalam bahasa mereka sendiri. 

Melalui algoritma pencarian cerdas, umat dapat menemukan Kitab Suci, ensiklik, homili Paus, dan bahan-bahan ajaran Gereja dengan lebih cepat dan mudah. 

Platform digital berbasis AI juga membantu karya misi dan komunikasi Vatikan agar menjangkau umat hingga pelosok dunia, bahkan mereka yang sebelumnya jauh dari Gereja.

Namun, bersamaan dengan manfaatnya, AI menghadirkan tantangan serius bagi kehidupan iman dan kemanusiaan. Sebagaimana diungkapkan oleh Katie Prejean McGrady dalam artikelnya di La Croix International, munculnya fenomena seperti Fr. Justin—pastor virtual ciptaan teknologi AI 3D—menjadi cermin dilema zaman ini. 

Karakter digital tersebut mampu menjawab berbagai pertanyaan teologis dengan cepat dan akurat. Tetapi, bisakah ia menggantikan peran seorang pastor sejati yang menghadirkan kasih, empati, dan pendampingan rohani?

Teknologi seperti ChatGPT atau “pastor AI” memang dapat memberikan jawaban faktual tentang iman, sakramen, atau ajaran moral. Namun, sebagaimana ditekankan McGrady, AI tidak memiliki hati. 

Ia tidak bisa berdoa bersama seseorang yang sedang berduka, tidak bisa memandang dengan kasih seseorang yang menyesal di ruang tobat, dan tidak bisa merasakan misteri iman yang hidup di dalam tubuh Gereja. AI hanyalah alat bantu — “yang lain” — sebagaimana dikatakan penulis artikel itu, bukan pribadi yang dapat menggantikan hubungan manusia dengan manusia dalam konteks pastoral.

Dalam terang ini, Gereja perlu bersikap bijak. Seperti dikatakan Paus Fransiskus dalam berbagai pesannya, AI harus melayani manusia, bukan sebaliknya. Teknologi hendaknya dipakai untuk memperluas pewartaan Injil, bukan mengaburkan kemanusiaan. 

Iman Katolik menegaskan bahwa hanya manusia — ciptaan Allah yang berakal budi dan berhati nurani — yang mampu mengasihi, berempati, dan menyalurkan rahmat melalui relasi personal.

Buku Menjadi Katolik dalam Era  Digital & AI hadir sebagai undangan bagi umat Katolik untuk merenungkan tantangan dan peluang ini secara lebih mendalam. Penulis berupaya menelusuri bagaimana perkembangan AI dapat menjadi berkat bagi evangelisasi, namun juga ancaman bagi kemanusiaan jika disalahgunakan atau dipahami secara dangkal. 

Buku ini mengajak kita untuk menempatkan kembali teknologi di bawah terang iman, agar kemajuan digital tidak menjauhkan manusia dari Allah, melainkan membantu kita memahami lebih dalam misteri kasih dan tanggung jawab yang dianugerahkan kepada kita sebagai gambar Allah.

Semoga refleksi dalam buku ini menuntun setiap pembaca untuk menjadi Katolik yang kritis, kreatif, dan bertanggung jawab di tengah Revolusi AI, serta tetap setia pada panggilan utama kita: mencintai Allah dan sesama, bukan melalui algoritma, tetapi melalui hati manusia yang hidup dan penuh kasih.

Jakarta, Oktober 2025

Penulis (Maxi Ali Perajaka)

*Ingin membacanya secara digital? Silahkan hubungi Sdr. Silivia: HP/WA: +62 813 2929 6096. Terima kasih. ***

Editor: redaksi

RELATED NEWS