Motang Rua: Panglima Gerilya dari Manggarai yang Mengguncang Kolonial Belanda

redaksi - Rabu, 06 Agustus 2025 22:02
Motang Rua: Panglima Gerilya dari Manggarai yang Mengguncang Kolonial BelandaGuru Ame Numpung (Motang Rua) (sumber: Istimewa)

JELANG HUT ke-80 Kemerdekaan RI  Floresku.com menurunrkan ‘Seri Pahlahwan Lokal’, dari wilayah Flobamora. Meski tidak dikelal secara nasional, para pejuang ini telah berjuang secara gagah dan berani, membela martabat warga masyarakat lokal, dari kesewenangan kaum kolonial. 

Seri pertama: Motang Rua, Pahlawan Manggarai

Di balik hutan lebat, bukit-bukit batu, dan perkampungan adat di jantung Manggarai, tersimpan kisah heroik seorang putra daerah yang berani menantang kekuasaan kolonial. Namanya Motang Rua—seorang panglima perang, ahli gerilya, dan tokoh pejuang yang kisahnya menjelajahi medan tempur dari kaki Gunung Poco Likang di Flores hingga ke Aceh dan bahkan Saigon. 

Dalam tradisi lisan dan catatan sejarah lokal , nama Motang Rua bukan nama asli, melainkan nama julukan yang berarti ‘babi hutan yang ganas’.  Nama aslinya adalah Guru Ame Numpung.

Julukan ‘Motang Rua’ bukan hanya simbol perlawanan terhadap penjajahan, tapi juga lambang dari keberanian, kesetiaan pada tanah leluhur, dan kecerdikan yang melegenda.

Asal Usul dan Awal Perjuangan

Motang Rua lahir di Lenteng, wilayah Manggarai, sekitar tahun 1860. Ia tumbuh dalam tradisi adat yang kuat dan kemudian menikahi Ulur, saudari dari Raja Bagung. Bersama para warga Golo Langkok dan Lenteng, ia kemudian pindah ke dataran rendah Beokina atas perintah adat untuk menjaga padang penggembalaan di Pong Nggeleng.

Kampung Beokina yang didirikan sekitar tahun 1880 menjadi awal dari kiprah kepemimpinan Motang Rua. Kepribadiannya yang bijak dan kemampuannya dalam berburu membuat ia disegani. 

Salah satu momen paling berkesan dalam hidupnya adalah ketika ia berhasil membunuh seekor babi hutan besar, dan dari dalam perut hewan itu ia menemukan sebilah kapak putih. Kapak ini kemudian dipercaya memberinya kekuatan supranatural—ilmu kebal, bisa menghilang, dan memimpin dengan wibawa tak biasa.

Perlawanan Terhadap Kolonial Belanda

Kemarahan Motang Rua terhadap Belanda memuncak ketika penjajah itu menginjak-injak perjanjian Borong yang sebelumnya menghormati kedaulatan Kerajaan Todo-Pongkor. Pada tahun 1908, Belanda menyuruh rakyat Todo membawa bahan bangunan ke Ruteng guna mendirikan kantor pemerintahan. Hal ini dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap pusat kekuasaan di Todo.

Motang Rua tidak tinggal diam. Ia melarang rakyat dari berbagai wilayah—Ndoso, Lelak, Rahong, dan Kolang—untuk mematuhi perintah Belanda. Ketika seorang utusan Belanda, Japa Ame Iba, tiba di Beokina dan memukul rakyat lokal, Motang Rua membunuhnya. Ini menjadi titik balik yang memicu kemarahan besar pihak kolonial.

Perang Kuwu dan Pertempuran Gerilya

Pada 10 Agustus 1909, meletuslah Perang Kuwu di Benteng Watu Toge. Sebelumnya, pada 31 Juli, Belanda telah mengirim pasukan bersenjata lengkap untuk menangkap Motang Rua. 

Namun di Ngalor Sua, mereka disergap oleh pasukan gerilya. Sepuluh serdadu Belanda tewas, dua lainnya melarikan diri. Senjata mereka dirampas dan pertempuran demi pertempuran terus berkobar.

Dalam perang di Benteng Kuwu, ratusan pejuang rakyat tewas dan banyak yang terluka. Ulur, istri Motang Rua, juga gugur dalam pertempuran itu. 

Kehilangan ini justru memperbesar amarah dan semangat juangnya. Beberapa benteng Belanda dibakar dan banyak tentara penjajah tewas karena strategi gerilya yang diterapkan dengan sangat cerdik oleh Motang Rua dan para pengikutnya.

Diburu dan Dikhianati

Karena tidak berhasil menangkap Motang Rua, Belanda menyandera keluarga-keluarga adat Pongkor dan menyiksa mereka di markas Puni, Ruteng. 

Atas saran Kraeng Baso, yang mengetahui lokasi persembunyian Motang Rua, dilakukanlah sebuah ritual pelepasan kekuatan gaib di Pongkor. Seekor ayam jantan putih dilepaskan hidup-hidup sebagai syarat agar Motang Rua bisa terlihat oleh manusia biasa.

Setelah itu, Motang Rua pun akhirnya menyerahkan diri. Ia diadili dan dipenjara oleh Belanda, pertama di Ende, kemudian Kupang, dan selanjutnya dibuang ke Batavia (Jakarta). Di sana, ia menjalani hukuman selama 20 tahun di penjara Cipinang.

Di medan Perang Aceh dan Pembuangan ke Vietnam

Motang Rua tidak hanya menjadi simbol perlawanan di Flores. Ia juga dibawa oleh Belanda ke Aceh dengan tujuan untuk membantu menumpas gerakan perlawanan yang dipimpin oleh Teuku Umar dan Cut Nyak Dien. 

Namun, seperti strategi cerdiknya dalam perang, Motang Rua justru berpura-pura mematuhi perintah Belanda, dan diam-diam membantu perjuangan rakyat Aceh.

Perilakunya yang membelot ini membuat Belanda murka. Sebagai hukuman, Motang Rua diasingkan jauh ke luar negeri, ke Saigon (sekarang Ho Chi Minh City, Vietnam). 

Di sana, ia menikahi seorang gadis Vietnam, anak dari sahabat saudagar Belanda. Dari pernikahan ini lahirlah tiga anak: Nona Koe, Suje, dan Guru. Menurut catatan keluarganya, pada tahun 1951, putri sulungnya, Nona Koe, sempat datang ke Manggarai untuk menemui sang ayah yang telah kembali dari pembuangan.

Kembali ke Tanah Leluhur dan Akhir Hayat

Pada tahun 1927, setelah puluhan tahun dalam pengasingan dan hukuman, Motang Rua kembali ke kampung halamannya di Beokina, Manggarai.

 Ia hidup dalam suasana yang lebih tenang meski kenangan tentang perjuangannya masih membara di ingatan rakyat. Menjelang akhir hayatnya, Motang Rua dibaptis menjadi Nasrani oleh Markus Sampu, seorang guru agama Katolik.

Ia wafat pada 25 Maret 1952, dalam usia lanjut, di Beokina—Desa Golo Langkok, Rahong Utara. Kampung  yang berada di ketinggian 989 meter di atas permukaan laut itu jasad Motang Rua dibaringkan berdampingan dengan istri tercinta Clara Dahut dan putranya, Dominikus Jerubu. 

Meski belum secara resmi diakui sebagai pahlawan nasional, nama Motang Rua tetap harum di hati rakyat Manggarai.

Namanya kini menjadi nama jalan, lapangan bola, bahkan dijadikan lagu rakyat. Pada tahun 2000, Dinas Sosial Provinsi NTT menetapkan Motang Rua sebagai perintis kemerdekaan.

 Ia dikenang sebagai tokoh yang tidak hanya melawan penjajah secara fisik, tetapi juga secara moral dan spiritual—seorang pejuang yang tahu kapan harus bertempur dan kapan harus bijak mengalah demi kelangsungan bangsanya.

Warisan yang Tak Ternilai

Motang Rua bukan hanya legenda. Ia nyata. Ia adalah saksi dan pelaku dari babak paling gelap sekaligus paling heroik dalam sejarah perlawanan rakyat Nusa Tenggara Timur terhadap kolonialisme. 

Keberaniannya dalam memimpin pasukan, taktik gerilya yang brilian, kekuatan spiritual yang menyelimuti kisah hidupnya, dan keteguhannya untuk tidak tunduk pada kekuasaan asing, menjadikan namanya abadi.

Cerita hidup Motang Rua menunjukkan bahwa sejarah Indonesia bukan hanya tentang Jawa dan Sumatera. Di tanah timur seperti Manggarai, tumbuh pula sosok besar yang memikul panji perlawanan demi harkat dan martabat bangsanya. 

Motang Rua telah memberikan teladan keberanian, pengorbanan, dan cinta tanah air yang tak tergoyahkan oleh waktu maupun kekuasaan.

Tak hanya Motang Rua, banyak pejuang Manggarai lainnya yang turut merasakan kerasnya hukuman kolonial Belanda. Mereka dibuang jauh dari tanah leluhur, dipenjara selama 10 hingga 20 tahun di berbagai tempat pengasingan: Nusa Kambangan, Betawi, Palembang, Padang, Sawah Lunto, Kupang, hingga Aceh. Sebagian besar gugur di negeri asing, tanpa sempat kembali. 

Namun, beberapa di antaranya berhasil pulang ke Manggarai—di antaranya Nicik (Kraeng Gantem), Hasa, Jagu, Nancung Laki Rani, Rede, dan Pakar Ame Jaga. Kisah mereka adalah lembaran sejarah yang sunyi, namun tak pernah mati dalam ingatan Nuca Lale.

Namun, dari semua pejuang, Motang Rua, atau Guru Ame Numpung yang paling dikenang. Ia dipandang warga Manggarai sebagai  cermin dari perlawanan rakyat kecil yang tidak ingin dijajah. 

Sosoknya telah menjadi bagian dari narasi besar Indonesia, menanti saatnya diangkat setara dengan pahlawan nasional lainnya—karena sejarah tidak pernah lupa pada mereka yang berjuang, bahkan saat dunia belum memberi penghargaan yang layak. *

Sumber: 

  1. Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1978/1079: ',Sejarah Kebangkitan Nasional
    Daerah Nusatenggara Timur,' Halaman 30-31
  2. Yohanes Mariono; Ade Kurniawan: “Mengenal Motang Rua dari Manggarai, Ahli Gerilya yang Ikut Perang Aceh Hingga Ditawan di Vietnam,”  https://www.tvonenews.com/berita/nasional/13518-mengenal-motang-rua-dari-manggarai-ahli-gerilya-yang-ikut-perang-aceh-hingga-ditawan-di-vietnam?page=all
  3. Pariwisata Kabupaten Manggara" ‘Kuburan Motang Rua’, https://pariwisata.manggaraikab.go.id/destinasi/ kuburan-motang-rua/

 

Editor: redaksi

RELATED NEWS