OPINI Bayu Tonggo: Pendidikan yang Membebaskan ala Paulo Freire Menjawabi Dehumanisasi Pembelajaran Daring

redaksi - Minggu, 23 Januari 2022 13:07
OPINI  Bayu Tonggo: Pendidikan yang Membebaskan ala Paulo Freire Menjawabi Dehumanisasi Pembelajaran DaringBayu Tonggo, mahasiswa STFK Ledalero, Maumere, Flores (sumber: Dokpri)

BERHADAPAN dengan krisis pandemi Covid-19, pelaksanaan pembelajaran daring (dalam jaringan)” menjadi riasan esensial yang mewajah dalam dunia pendidikan. Jason Schenker (2020) menyebut bahwa peningkatan tren pembelajaran daring  dalam dunia pendidikan, sebetulnya sudah cukup lama menghimpun energi dan kini kita melihat Covid-19 telah memaksa secara esensial semua pembelajar keluar dari ruang kelas dan masuk daring.

Pelaksanaan pembelajaran daring telah menciptakan disrupsi dalam dunia pendidikan sendiri, dari pendekatan yang tradisional tatap muka menjadi jarak jauh dengan memanfaatkan teknologi digital. 

Hal ini di satu sisi tentu sangat menjawab tantangan zaman, tetapi di sisi lain pembelajaran daring dilihat menciptakan celah bagi para guru untuk sekadar memberikan beban-beban berupa tugas, tanpa memberikan penjelasan materi yang memadai dan dalam waktu pengerjaan yang terbatas. 

Selain itu, pelaksanaan pembelajaran daring yang dibatasi oleh kuota dan sinyal interenet, membuat siswa tidak memiliki ruang gerak yang bebas, sehingga yang dicetak bukanlah siswa yang kritis, tetapi siswa yang seperti robot (Arta, 2021). 

Fenomena pelaksanaan pembelajaran daring yang demikian dalam kaca mata gagasan pendidikan Paulo Freire, merupakan bagian dari tindakan “penindasan” dalam dunia pendidikan. Terjadi problem dehumanisasi, di mana siswa dipandang sebagai objek yang wajib menerima apa saja yang diberikan oleh guru. 

Para guru dilihat memberikan materi dan tugas-tugas yang sama kepada setiap siswa, tanpa melihat kemampuan dan kebutuhan yang berbeda-beda pada setiap siswanya. Para siswa pun berdiam dalam sistem masifikasi, di mana terjadi penjinakan kemampuan-kemampuan kritis para siswa (siswa seperti robot) oleh keberadaan gadget serta keterbatasan sinyal dan kuota internet (Freire, 1984). 

Menurut Freire, berhadapan dengan pelaksanaan pendidikan yang demikian, dibutuhkan wacana pendidikan yang membebaskan guna menampik pesoalan dehumanisasi dalam dunia pendidikan tersebut, demi perwujudan kehidupan siswa (manusia) yang merdeka.

Paulo Freire dan Pemikiran-Pemikiran Kuncinya

Prof. Dr. Paulo Freire merupakan seorang tokoh pendidik multikultural  yang lahir pada 15 September 1921 di Recife, sebuah kota pelabuhan di Timur Laut Brazil. Ia berasal dari keluarga kelas menengah, tetapi sejak kecil bersama keluarganya ia hidup dalam situasi miskin. Keluarganya mengalami kemunduran finansial yang diakibatkan oleh krisis ekonomi yang melanda Amerika Serikat  pada tahun 1929 yang juga menular ke wilayah Brazil (Coollins, 2005). 

Situasi kehidupan inilah yang banyak mempengaruhi Freire dalam mengembangkan pemikirannya dalam bidang pendidikan. Dalam situasi tersebut, ia menemukan dirinya  sebagai “kaum terpinggirkan dari bumi”. Ia melihat adanya situasi penindasan dalam kerangkeng ketidakadilan, di mana hadir kesenjangan yang akut antara kaum mayoritas yang menderita (kaum tertindas, objek) dan kaum minoritas yang menikmati jerih payah orang lain (subjek, kaum penindas: para penguasa, tuan tanah, dan gubernur) (Freire, 1984). 

Freire secara lebih jauh membaca kehidupan masyarakat di wilayahnya itu, sebagai sebuah  persoalan dehumanisasi – “keadaan kurang dari manusia atau tidak lagi manusia” (Freire dkk, 2009). Dehumanisasi yang bukan hanya menandai mereka yang kemanusiaannya telah dirampas (kaum tertindas), melainkan juga menandai pihak yang telah merampas kemanusiaan itu (kaum penindas). Dehumanisasi bagi Freire merupakan sebuah pembengkokan (distorsi) cita-cita untuk menjadi manusia yang utuh.

Dalam konteks kehidupan masyarakat Brazil yang demikian, Paulo Freire kemudian mewacanakan pandangan sekaligus perjuangannya akan pendidikan yang membebaskan yang bersifat humanis. Salah satu perjuangan Freire dalam wacana pendidikan yang membebaskan hadir dalam usaha-usaha kreatifnya dalam memberantas buta huruf orang-orang dewasa di seluruh Brazil sebelum kudeta militer 1 April 1964, yang akhirnya menyebabkan dirinya hidup dalam pengasingan (Freire, 1984).

Pendidikan yang humanis Freire merupakan pendidikan yang memanusiakan manusia dan menjadikan pendidikan sebagai proses pembebasan. Pendidikan hendaknya berorientasi pada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri, di mana pengenalan ini tidak hanya bersifat subjektif atau objektif tetapi sekaligus keduanya. 

Kebutuhan objektif untuk merubah keadaan yang tidak manusiawi senantiasa memerlukan kemampuan subjektif atau kesadaran subjektif. Objektivitas dan subjektivitas merupakan proses dialektis yang bersifat “tak berubah” dalam diri manusia dan dalam hubungannya dengan kenyataan yang saling bertentangan yang harus dipahaminya. Berkenaan dengan proses dialektika yang “tak berubah”, maka pendidikan haruslah memenuhi tiga unsur berikut: pengajar, peserta didik (siswa), dan realitas dunia. Pengajar dan peserta didik merupakan subjek sadar, sedangkan relitas dunia merupakan objek yang disadari (Wahid, 2011).

Untuk mencapai visi pendidikan humanis tersebut, Freire menekankan akan pentingnya konsientisasi (conscientization) atau kesadaran – penyadaran (conscientazacao) yang menjadi inti dari pendidikan (Freire, 2007). Konsep konsientisasi dalam pendidikan humanis dimaksudkan untuk mengeluarkan manusia dari masifikasi: penjajahan harga diri; penjinakan kemampuan kritis manusia oleh situasi yang membuat manusia dijadikan massa, di mana kebebasan memilih hanya merupakan ilusi (Freire, 1984). Konsep konsientisasi menempatkan manusia sebagai subyek dalam kehidupan, artinya mampu mengekspresikan keinginan dan kreatifitasnya. Sehingga manusia mampu hidup sesuai denga kodratnya yaitu manusia merdeka.

Pendidikan yang Membebaskan di Tengah Pandemi Covid-19

Pelaksanaan pembelajaran daring menjadi hal yang esensial dalam dunia pendidikan di masa pandemi Covid-19. Pembelajaran daring sebagaimana dijelaskan oleh Sofyana dan Abdul (2019) merupakan sistem pembelajaran yang dilakukan dengan tidak bertatap muka langsung, tetapi menggunakan platform yang dapat memungkinkan proses belajar-mengajar dapat dilakukan dari jarak jauh. 

Pelaksanaan pembelajaran daring di masa pandemi dilihat menciptakan celah (persoalan) yang harus diperbaiki. Benar bahwa di satu sisi, pelaksanaan pembelajaran daring dalam dunia pendidikan di masa pandemi telah menjawabi tantangan zaman, dengan adanya pemanfaatan teknologi digital dan tanpa melanggar protokol kesehatan. Namun, di sisi lain pelaksanan pembelajaran daring menciptakan celah  persoalan penindasan, persoalan dehumanisasi – kemunduran dalam kemanusiaan. Pembacaan dehumanisasi pembelajaran daring di tengah pandemi terlihat dengan adanya penggunaan berbagai platform pembelajaran, seperti Google Classroom, Zoom Meeting, Google Meet, WhatsApp group, YouTube dan lain sebagainya yang terhubung dengan perangkat handphone (Arta, 2021). 

Penggunaan platform-platform pembelajaran tersebut, terlihat lebih terbatas pada proses pembelajaran satu arah, yang menjadikan siswa sebagai objek didik. Pemberian materi dan pengerjaan tugas sering tidak seimbang. Dengan adanya alasan terbatasanya waktu pembelajaran, siswa sering hanya diperintah dan mengikuti kemauan guru dalam belajar serta dalam mengerjakan tugas. 

Hal ini tampak dalam pelaksanaan proses pembelajaran dan waktu pengerjaan tugas yang diatur secara sepihak oleh guru, dengan tingkatan tugas yang sama antarsiswa yang sebenarnya memiliki kemampuan yang berbeda-beda, baik secara mental maupun fisik. Gaya dan praktik pendidikan yang demikian, dalam pandangan Paulo Freire merupakan gaya dan praktik pendidikan yang mengarah pada dehumanisasi pendidikan. 

Pendidikan di masa pandemi mencitrakan pendidikan dehumanisasi gaya bank seperti yang dikritik oleh Freire dalam perjuangan pendidikan-nya di Brazil (Yunus, 2007). Pendidikan gaya bank menempatkan guru sebagai nasabah dan murid dikesankan sebagai brankas tempat penyimpanan uang nasabah. Uang diposisikan sebagai ilmu yang diletakan di dalam brankas tersebut. 

Materi-materi yang dihadirkan yang semestinya memancing daya kritis, malah menghadirkan beban bagi siswa. Siswa menjadi seperti mesin mekanis (robot) yang “harus” menerima (menghafal) sejumlah materi yang diberikan tersebut – tidak ada ruang kritis, kebebasan mengembangkan pendapat. 

Paulo Freire melihat bahwa pendidikan gaya bank mencerminkan sebuah situasi ketertindasan, di mana terjadi dehumanisasi. Guru hadir sebagai sosok sentral (role model, subyek) yang harus diikuti oleh peserta didik (obyek). Perkataan dan perintah guru dianggap sebagi kebenaran yang harus selalu diikuti, tanpa boleh dibantah.

Melawan konteks pendidikan dehumanisasi ini, Paulo Freire memperjuangakan pendidikan yang membebaskan yang humanis sifatnya. Pendidikan humanis yang membebaskan menempatkan guru dan siswa dalam relasi ko-intensional (Freire dkk, 2009). Artinya guru dan murid hadir secara bersama-sama dalam dunia pendidikan sebagai “subjek-subjek”, yang sama-sama bertindak terhadap kenyataan (sebagai objek).

Dalam konteks pembelajaran daring di masa pandemi, pendidikan humanis yang membebaskan Freire ini, sesungguhnya dapat menampik sistem masifikasi para siswa, karena kebergantungan secara berlebihan terhadap guru dan platform-platform yang digunakan dalam pelaksanaan pembelajaran. 

Pendidikan yang membebaskan Freire menciptakan relasi dua arah, relasi dialogal siswa dan guru. Siswa dan guru sama-sama ada dalam relasi ko-intensional untuk mengetahui sekaligus mengkritisi materi/relitas (objek) yang dipelajari. Melalui relasi yang dialogal (ko-intensional) ini, tentu terciptalah warna kebebasan dalam dunia pendidikan, sebagaimana yang menjadi tujuan dari pendidikan humanis; manusia sejati adalah manusia yang bebas (Freire, 1984). Kebebasan yang memayungi pelaksanaan pembelajaran dalam dunia pendidikan, akan memampukan siswa dan juga guru dapat hadir dalam kreativitas (kritis-progresif) untuk memiliki atau pun mengembangkan pengetahuan yang dipelajari, tanpa ada bayangan “rasa takut” (Freire, 2007).

Untuk tujuan pendidikan humanis yang membebaskan, Paulo Freire menekankan akan pentingnya keberadaan konsientisasi (conscientization) atau kesadaran – penyadaran (conscientazacao) yang menjadi inti dari pendidikan (Freire, 2007). Kesadaran dalam pendidikan humanis haruslah merupakan kesadaran yang kritis (critical consciousness) yang lebih menekankan pada aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. 

Kesadaran ini tentu penting dalam konteks pembelajaran daring di tengah pandemi, yang terkungkung oleh sistem pemanfaatan sejumlah platform yang dehumanisasi. Guru dan siswa atau pun juga sejumlah pihak yang berkepentingan dalam pendidikan, harus kritis pada sistem dan situasi yang terjadi. 

Pendidikan yang dijalankan haruslah merupakan pendidikan yang membebaskan yang mesti menempatkan guru dan siswa sebagai subjek dalam pendidikan, sehingga tercipta manusia yang utuh (humanis).***

*Bayu Tonggo, Mahasiswa STFK Ledalero, tinggal di Seminari Tinggi Ritapiret

RELATED NEWS