OPINI: Geothermal, Gamal dan Inkarnasi Roh 'Entete Inc’
redaksi - Sabtu, 12 April 2025 10:45
Abraham Runga Mali*
SEMARAK aksi penolakan eksplorasi geothermal di NTT, khususnya Flores, menyambut kepemimpinan Gubernur Melki Lana Lena dan Wagub Joh Asadoma di provinsi tersebut.
Adalah para uskup se-Provinsi Gerejawi Ende di bawah komando Uskup Agung Ende, Mgr Paulus Budi Kleden, SVD secara tegas menolak kehadiran pemanfaatan panas bumi di wilayah tersebut.
Dengan demikian pupus sudah misi pemerintah pusat membaptis Flores sebagai Pulau Geothermal sejak 2017.
Lupakan dulu polemik geologis soal geothermal, penolakan itu berangkat dari kenyataan bahwa pengelolaan panas bumi di sejumlah wilayah Flores meninggalkan jejak kerusakan pada lahan pertanian, mengganggu kesehatan masyarakat dan merusak deposit air tanah.
Mungkin saja sebenarnya tak ada masalah dengan geothermal. Namun, kontur Flores yang berbukit dan minim air dengan luas lahan pertanian yang sempit, demikian hasil pantauan gereja lokal, membuat proyek geothermal yang sukses dioptimalkan di pinggiran Sungai Waikato, Selandia Baru misalnya, tak layak hadir di punggung-punggung bukit Flores seperti di Mataloko. Kabupaten Ngada dan di Sokoria, Kabupaten Ende.
Idealnya --walaupun mungkin sudah terlambat-- pemilik ulayat dalam cakupan geothermal harus ikut terlibat dalam kepemilikan saham perusahaan yang mengelola panas bumi tersebut.
Keterlibatan ulayat sebagai pemilik membuat mereka lebih awas pada pengelolaan dan selektif dalam pemilihan mitra, serta juga mendapatkan manfaat lebih optimal.
Menarik disimak adalah respon dari Gubernur di awal kepemimpinannya menghadapi penolakan gereja atas geothermal.
"Saya mengikuti semua apa yang dikatakan Bapak Uskup soal geothermal, " demikian Gubernur Melki usai berdialog dengan Mgr Budi saat kunjungan kerja ke Kabupaten Ende pekan lalu.
Sikap Gubernur mengingatkan saya pada kata-katanya dalam obrolan ketika mengunjungi ruang kerjanya di hari pertama memulai kepemimpinannya.
"Saya ingin membangun propinsi ini dengan visi NTT Incorporated (baca: entete incorporated). Semua harus dilibatkan untuk bangun propinsi ini."
Dia ingin mengajak semua elemen yang ada di propinsi ini untuk terlibat dalam pembangunan di wilayah itu.
Melki paham betul, gereja sebagai institusi keagamaan yang dominan di NTT bersama para pemilik ulayat (para tuan tanah) sebagai pemilik modal kultural dan simbolik—dalam diferensiasi kelas ala Pierre Bordiau-- harus dilibatkan dalam derap langkah pembangunan di wilayahnya.
Bisa saja Melki juga terinpirasi oleh ilmuwan sosial AS, Ezra Feivel Vogel, dalam bukunya Japan as Number One: Lessons for America (1979).
Sekadar mengingat kembali, saat menulis bukunya, --itu terjadi booming industri di Jepang -- Vogel coba menjawab mengapa Jepang mengungguli negara lain, termasuk Amerika Serikat.
Ternyata, demikian Vogel, keberhasilan itu karena Jepang menampilkan diri seperti sebuah perusahaan besar, lalu pemerintah bergerak bersama swasta dan semua pihak secara multi-sinergis dalam mengembangkan ekonomi secara terpadu. Itulah Japan Inc. atau Entete Inc dalam bahasa Gubernur Melki.
Artinya, semua kekuatan modal, baik itu modal sosial, modal finansial, kultural dan intelektual dipakai untuk mewujudkan pembangunan yang sudah dicanangkan bersama.
Mengapa Gamal?
Ketika gereja dan Pemda setali tiga uang menolak geothermal, apa solusi alternatifnya? Mungkin kita dengan enteng menyebut beberapa pilihan energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, tenaga air dan arus laut.
Namun, semuanya itu membutuhkan modal yang besar dan terkonsentrasi pada satu dua orang.
Dalam kebingungan itu, beruntung NTT memiliki seorang senator muda sekaligus berjiwa entreprenial. Namanya Angelius Wake Kako.
"Saya ini aktivis gereja. Kalau gereja menolak saya harus ikut berpikir mencarikan alternatif, " ujarnya kepada penulis.
Itu yang mendorong dia untuk mulai menginisiasi tenaga listrik menggunakan biomassa, yakni bahan organik yang berasal dari hewan dan tumbuhan yang dapat digunakan sebagai sumber energi rerbarukan.
Sebagai langkah awal, Angelo melalui PT Flores Inti Pangan, meneken kontrak dengan PT PLN Epi mamasok biomassa untuk co-firing pada sejumlah PLTU di NTT seperti Ropa dan Bollok.
Upaya itu seiring dengan kebijakan pemerintah untuk mengurangi bahan bakar fosil seperti batu bara di PLTU.
Saat ini, Flores Inti Pangan sedang bekerja sama dengan Dinas Pertanian dan para petani untuk mengumpulkan dan mengolah limbah pertanian seperti sekam, tongkol jagung, cangkang kemiri dan serbuk kayu yang akan dikirim ke Ropa dan Bollok.
Per bulan ribuan ton biomassa harus disiapkan untuk memuluskan langkah itu.
Sebagai catatan, salah satu biomassa yang paling cocok untuk bahan bakar berasal dari kayu gamal (Bdk. Dedi Hudaedi, Hariyadi dan Syaiful Nawar, 2018).
Menyadari hal itu, seperti juga dirasuki oleh spirit 'Entete Incorporated', Senator Angelo Wake Kako bersama Flores Inti Pangan mengajak pihak ulayat, Pemda dan Gereja untuk terlihat dalam penanaman gamal secara masif di NTT.
Gamal atau geliri (Gliricidia sepium) adalah sejenis perdu cocok untuk NTT yang sebagian besar wilayahnya berlahan kritis. Gamal disinyalir dapat menyuburkan tanah dan dapat membasmi alang-alang.
Sekadar diketahui, Gamal dipopulerkan oleh mendiang Frans Seda saat menjabat sebagai Menteri Pertanian yang berniat membasmi alang-alang di daerah asalnya, Nusa Tenggara Timur.
Setelah berkonsultasi dengan Presiden Soekarno nama pohon sejenis perdu itu mendapatkan makna baru: GAMAL sebagai akronim dari ‘Ganyang Mati Alang-Alang’.
Angelo yang tentu saja berada di barisan Uskup Budi Kleden kemudian lebih senang menyebut tanaman itu sebagai ‘Ganyang Mati Geothermal’.
Dalam sosialisasi yang singkat, Pemda TTU dan Sikka sudah menyediakan aset tanahnya untuk penanaman gamal.
Tak mau ketinggalan, beberapa ulayat dari Lio Utara seperti Ekoae dan Ratewati dengan lahan tidur ratusan hektar menyatakan komitmennya untuk menjadi bagian dari Flores Inti Pangan untuk menanam gamal secara masif.
Angelo juga mendorong agar beberapa lahan paroki yang masih tidur bisa juga dipakai untuk penanaman lahan. Bahkan, dia mendorong partisipasi masyarakat luas untuk serius melakukan penanam gamal.
Ke depan, bukan tidak mungkin, umat membayar donasi ke gereja dengan gamal. Demikian juga orang tua bisa membiayai anak sekolah dengan membawa gamal.
Kalau saja penanaman gamal merata dan massif di NTT, bukan tidak mungkin biomassa tidak lagi hanya sekadar menjadi co-firing di PLTU, tapi akan menjadi bahan untuk pembangkit sendiri yang dikenal sebagai Perusahaan Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm).
Kalau akhirnya terbangun sebuah tenaga listrik biomassa, terpatri sebuah kenyataan bahwa narasi gamal bukan hanya bahan biomassa yang efektif pengganti geothermal, tapi juga membangunkan tanah sebagai aset yang mati dalam pengertian ekonom asal Peru, Hernando de Soto.
Bahkan, lebih dari itu, gamal diharapkan segera menjadi ‘kabar gembira’ bagaimana roh NTT Incorporated akhirnya bisa juga menjelma menjadi 'daging kenyataan'. (*)
*Penulis adalah mantan Wartawan Bisnis Indonesia dan Koordinator Indonesia Financial Watch, JAKARTA. ***