OPINI: Jalan Politik, Sebuah Jalan Ikhtiar

redaksi - Kamis, 08 Juni 2023 20:42
OPINI: Jalan Politik, Sebuah Jalan IkhtiarDion Pare (sumber: Dokpri)

Oleh: Dion Pare*

SEORANG teman menelpon saya. Dia bercerita dan meminta pendapat saya tentang rencananya untuk bergabung dengan satu partai politik baru. Partai itu sudah menempatkannya menjadi satu calon anggota DPR dari Dapil Flores atau NTT I.  Dia mencoba meyakinkan saya tentang alasan dan prospek dari pilihannya. 

Lalu, saya berusaha menantang dia dengan mengemukakan analisis dan argumen yang berlawanan dengan pilihannya. Saya mengatakan bahwa pilihan itu tidak memiliki landasan yang cukup kuat. 

Saya mencoba menjelaskan  tentang peta partai politik, peta calon anggota yang akan bertarung, dan kekuatan calon anggota petahana. 

Salah satu tantangan atau keberatan yang saya ajukan kepadanya adalah bahwa politik, khususnya politik di Indonesia, merupakan suatu spekulasi yang sangat spekulatif. 

Bisnis juga adalah suatu spekulasi, tapi masih bisa dijelaskan dan hasilnya masih cukup bisa diprediksi. Hasil dari bisnis tidak bersifat sekali terjadi, tetapi bertahap, dan terakumulasi dalam waktu. 

Nah, dalam politik, berhasil atau tidak berhasil hanya diukur dalam suatu ajang. Kalau mau, orang bisa masuk lagi dalam ajang politik berikutnya, lima tahun yang akan datang, dengan pertarungan yang hasilnya tetap saja tidak pasti. Karena itu, kata saya berkelakar, kalau dia punya uang, lebih baik buka bisnis.

Diskusi berakhir. Dia tetap mau maju. Saya katakan, saya bisa mengerti karena dia berasal dari dunia pergerakan (activist) dan dia menemukan kegairahan di sana. 

Saya juga tidak mau mengganggu lagi keputusannya dengan pandangan saya. Jikalau dia meminta bantuan, saya pun mau membantunya. Mengapa? Saya akan kemukakan di bawah nanti.

Politik Penuh Gosip 
Kurang dari setahun menjelang pemilihan umum 2024, politik menjadi gosip atau bahan obrolan yang menarik dalam kumpulan dengan teman-teman. 

Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang, dengan satu cara tertentu atau sedikit tidaknya, bersentuhan dengan politik dan isu-isu seputar itu. Mereka mengenal siapa saja yang masuk dalam daftar calon anggota DPR, yang akan bertarung nanti. 

Bahkan mereka mengenal satu sama lain. Mereka tahu kekuatan dan kelemahan masing-masing. Dalam hal ini, kritikan diberikan kepada mereka yang terdaftar sebagai calon itu.

Menurut kritikan ini, para calon baru dan juga dari partai baru sulit mendapat suara electoral yang cukup untuk membawa mereka mendapat kursi di Senayan atau DPR. 

Pasalnya, suara-suara pemiliha dari seluruh Daerah Pemilihan di Indonesia sudah terkapling untuk para anggota DPR yang sekarang duduk di Senayan. 

Jika mereka ikut lagi dalam Pemilihan Umum, mereka dipastikan akan melenggang lagi masuk ke Senayan. Kecil sekali harapan bahwa calon anggota baru akan lolos seleksi ini. 

Bahkan, demikian bumbu gosip politiknya, para petahana ini tidak melakukan apa pun, mereka tetap akan menjadi anggota DPR. Soalnya, semua sudah diatur. Entah benar atau tidak.

Saya sebetulnya setuju dengan kritik atau gosip ini. Dalam arti, para anggota ini sudah memelihara suara elektoral mereka selama lima tahun. 

Mereka sudah memiliki suara dasar, semacam penumpang dasar. Belum lagi, ada pengaturan di dalam partai bahwa suara-suara yang tidak mencapai jumlah yang cukup dikonversi menjadi kursi dari calon anggota akan diserahkan kepada satu calon yang paling difavoritkan oleh partai. Calon favorit adalah mereka yang paling berpengaruh dan bisa mempengaruhi partai. 

Kenyataan ini tentu saja menjadi kesulitan bagi para calon yang baru ikut dalam ajang ini. Waktu sosialisasi mereka terbatas. Jika tidak ada ide-ide yang sungguh berbeda untuk memenangkan suara pemilih, sulit bagi mereka untuk menyalip para petahana. 

Soal partai baru, saya melihat bahwa partai yang lahir sebagai pemisahan dari partai yang telah ada sebelumnya biasanya, tidak selalu, sulit menembus parliament threshold. 

Mereka harus menunjukkan sesuatu yang sungguh berbeda untuk menarik suara pemilih. PSI, satu partai yang dalam pemilihan umum 2019 cukup menarik perhatian publik karena diferensiasi dan positioning-nya belum berhasil masuk Senayan. 

Sayangnya, entah karena gagal ke Senayan atau karena sebab lain, sebagaimana terjadi pada semua partai, beberapa anggotanya keluar dari partai dan ada yang bermigrasi ke partai lain yang sudah lebih mapan.

Politik sebagai Medan Ikhtiar
Terlepas dari gosip politik yang sering dipakai untuk mengisi obrolan berjam-jam, saya harus mengapresiasi mereka yang tetap setia pada jalur politik walaupun hasilnya sangat tidak pasti. 

Maksud saya, mereka tahu bahwa mereka belum tentu mencapai akhir dengan gemilang. Bahkan, mereka harus berdarah-darah dan kelimpungan sesudahnya. 

Terlepas dari alasan atau tujuan mereka untuk terjun dalam politik, saya harus katakan, saya salut dengan mereka yang bersedia mengambil jalan ini. Jalan ini ibarat lari maraton yang melibatkan ribuan orang, tetapi hanya menghargai 10 besar. Sisanya hanyalah penggembira. 

Sadar atau tidak, politik merupakan dunia yang berdampak pada semua orang. Keputusan-keputusan politik, yang kelak menjadi kebijakan, akan memberi manfaat atau pun mudharat pada setiap orang. 

Melek politik dan sadar akan dampaknya sangatlah penting. Namun demikian, terlibat di dalamnya agar bisa mengetahui dan mempengaruhi arah politik serta keputusannya jauh lebih penting. 

Dalam hal ini, saya setuju dengan pendapat Basuki Cahaya Purtama, mantan Gubernur DKI, yang mengatakan bahwa dari dirinya sendiri, ia hanya bisa membantu sedikit, tetapi jika dia menjadi pejabat, dia bisa berbuat banyak bagi warga masyarakat. 

Dengan menjadi pejabat, ada kewenangan untuk menggunakan anggaran negara. Menjadi pejabat hanya mungkin terjadi ketika orang berenang di lautan politik.

Dia tidak boleh menafikkan kenyataan ini. Dia harus berada di sana, bermain di sana, berkumpul di sana, dalam semacam jaringan di mana keberadaannya bisa dijejaki. Politik adalah permainan yang asyik ketika orang menikmati ketegangan di dalamnya. 

Ada seorang tokoh dari Flores, yang saya suka sebut ketika berbicara tentang kehadirannya dalam jaringan: Markus Mali (Alm.) Pada era pergerakan di tahun 1998-1999, saya senantiasa bertemu dengannya dalam diskusi kecil, di ruang kecil maupun dalam pertemuan yang besar, dengan sejumlah tokoh representatif. Kadang-kadang ia berbicara, kadang-kadang ia diam saja. Tetapi, ia hadir. 

Menurut saya, kesediaannya untuk selalu hadir itu membuatnya mendapat perhatian. 

Demikianlah, saya mengapresiasi orang-orang yang berani terjun dalam pertarungan politik. Mereka terus berikhtiar untuk melakukan sesuatu sekalipun mereka tahu, hasilnya tidak pasti. Menariknya, para politisi selalu bersikap optimis. 

Politik bagi mereka memberi kegairahan atau kegembiraan yang berbeda bagi mereka yang pernah mengenyamnya.  Kegairahan itu merupakan suatu hal positif karena passion semacam itu mendorong mereka untuk mencapainya walaupun mereka tahu ada banyak sekali kendala dan tantangannya. 

Mereka tetap maju dan menerjang. Ibarat puisi Chairil, luka dan bisa dibawa berlari. Sekali lagi, mereka, para politisi ini, memasuki dunia politik ibarat merambah hutan baru. 

Mereka menduga-duga, meraba-raba peta. Mereka bagaikan menjejak kaki di atas tanah berlumpur, yang bisa bergeser setiap saat.  

Kemenangan atau keberhasilan itu merupakan nasib atau garis tangan. Keberhasilan tidak kita kendalikan, tidak bisa kita prediksi. Tetapi, berada di jalur politik merupakan satu pilihan yang harus diambil. 

Berada di jalur itu memang tidak selalu menjanjikan hasil yang pasti. Mungkin berhasil, mungkin tidak. Tetapi, jika tidak berada di jalur ini, dipastikan, tidak ada hasil yang bisa diharapkan.*

*Dion Pare, Almunus STFK Ledalero, peminat masalah sosial-politik. ***

RELATED NEWS