OPINI Petrus Selestinus: Akrobatik Politik yang Tak Terukur Bisa Merusak Sistem Demokrasi di NTT

redaksi - Jumat, 28 Januari 2022 21:15
OPINI Petrus Selestinus: Akrobatik Politik yang Tak Terukur Bisa Merusak Sistem Demokrasi di NTTPetrus Selestinus., Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) & Advokat Peradi. (sumber: Istimewa)

MENTERI Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian dan kewenangannya telah dijadikan ajang spekulasi dan tempat berjudi bagi pihak-pihak yang ingin bersepkulasi dan berjudi guna mendapat- kan SK Pengesahan dan Pengangkatan seorang Bupati atau Wakil Bupati hasil Pilkada yang cacat hukum.

Kewenangan Mendagri Tito Karnavian, dijadikan ajang spekulasi dan perjudian oleh "Makelar SK" guna mendapatkan kekuasaan secara melawan hukum,  etika, dan moral nyaris berhasil dengan mulus.  

Hal itu tampak kasat mata  pada kasus pelantikan Wakil Bupati Ende.  Acara pelantikan yang semula dijadwalkan terjadi pada Jumat, 28 Januari 2022, secara mendadak dimajukan ke Kamis, 27 Januari 2022, pukul19.00 WITA. 

Langkah akrobatik ini diduga karena adanya Surat Penarikan SK Pengesahan Pengangkatan Wakil Bupati Ende sudah masuk ke Pem Provinsi NTT.

Meskipun Gubernur NTT telah melantik Wakil Bupati Ende, pada Kamis (27/1), tetapi  pelantikan itu dipastikan tidak memiliki pijakan hukum  karena Mendagri melalui Dirjen OTDA, pada Kamis, 27 Januari 2022 lebih awal menarik dua SK Mendagri yaitu SK No.132.53/879/OTDA tanggal 25/1/ 2022 dan SK No. 132.53-67, Tahun 2022, tanggal 19/1/202 yang jadi dasar pelantikan Wakil Bupati Ende.

Di tengah problematik yuridis yang serius terkait ketidaklengkapan dokumen administrasi Calon Wakil Bupati Ende yang sejak awal sudah disoal, segala skenario pelantikan terus diekspose ke publik, meski kemudian berantakan dengan masuknya informasi Surat Dirjen OTDA, tanggal 27/1/2022, pagi hari bahwa Mendagri menarik kembali SK Pengesahan Pelantikan Wakil Bupati Ende. 

Pagi Dibatal, Malam Dilantik

Gubernur NTT melakukan akrobatik politik yang tidak terukur dan keluar dari jalur hukum dan hanya berpacu dengan waktu.   Dengan  alasan Gubernur ada agenda penting lain pada Jumat, 28 Januari 2022,  maka jadwal pelantikan mendadak dimajukan sehari lebih cepat yaitu Kamis, 27/ Januari 2022. Hal itu dilakukan agar tampak lebih logis dalam berpacu dengan waktu dalam hitungan jam, siapa yang lebih gesit: apakah melantik Wakil Bupati Ende atau penarikan SK Mendagri?

Padahal secara hukum, masalahnya tidak terletak pada pelantikan yang dipercepat, tetapi pada wewenang Mendagri sesuai  prinsip "Contrarius Actus" mencabut SK-nya baik sebelum atau sesudah pelantikan, dan dalam hal ini Mendagri memilih menarik kembali SK-nya kemudian baru menentukan sikap, mencabut SK Nomor : 132.53-67 Tahun 2022, tanggal 19 Januari 2022, sambil menunggu perbaikan.

Harga paling tinggi yang harus dibayar tentu bukan pada seremonial Pelantikan Wakil Bupati Ende, melainkan pada Surat Penarikan SK Pengesahan Pengangkatan Wakil Bupati Ende, karena menyangkut  alasan penting dan substantif yuridis, yaitu kekuranglengkapan dokumen pengusulan Pengesahan Pengangkatan Wakil Bupati Ende yang tidak lengkap dan sejak awal sudah disoal tetapi diabaikan.

 Penyalahgunaan Wewenang

Surat Dirjen OTDA Nomor : 132.53/956/OTDA, tanggal 27 Januari 2022, Hal Penarikan Keputusan Mendagri pada tanggal 27 Januari 2022, telah mengungkap bagaimana model Tata Kelola Pemerintahan ala Premanisme sudah masuk ke dalam struktur kekuasaan secara vertikal dan horizontal mulai dari Kemendagri hingga Pemda Kabupaten Ende dan DPRD Ende.

Manajemen Tata Kelola Pemerintahan dengan mengedepankan arogansi kekuasaan dan perilaku congkak serta mengabaikan substansi hukum (norma, standar dan prosedur) sebagai manifestasi dari nilai-nilai Pancasila yang digali oleh Bung Karno di Kota Ende, merupakan bentuk lain dari kepemimpinan berbasis premanisme yang mengingkari nilai-nilai Pancasila.

Karena itulah, maka menyangkut anomali dalam tertib hukum dan dalam Tata Kelola Pemerintahan tidak boleh terjadi di Ende, karena di Ende-lah Bung Karno menggali dan merumuskan nilai-nilai yang dikenal sebagai Pancasila dan dimanifestasikan pada sikap taat kepada Etika, Moral dan Hukum sebagai pandangan dan pedoman hidup.

Semestinya Gubernur NTT  menahan diri dan tidak melantik Wakil Bupat Ende hingga seluruh persyaratan kelengkapan adminsitrasi dipenuhi.  Namun, ia bertidak nekad atau memaksakan diri untuk melakukan pelantikan. Sikap arogansi ini  berimplikasi buruk karena melahirkan tindakan insubordinasi terhadap atasan yaitu Mendagri bahkan Presiden. ***

* Oleh: Petrus Selestinus,  Koordinator TPDI & Advokat PERADI.

Catatan: Opini ini tidak mewakili sikap dan pendapat redaksi!

RELATED NEWS