OPINI Steph Tupeng Witin: Mewaspadai Korupsi di Balik Status Wabup Bodong

redaksi - Kamis, 31 Maret 2022 11:49
OPINI Steph Tupeng Witin: Mewaspadai Korupsi di Balik Status Wabup Bodong Steph Tupeng Witin (sumber: Dokpri)

SATU-satunya kabupaten di bawah kolong langit yang wakil bupatinya ilegal alias bodong adalah Ende. Substansi sederhana di balik status ilegal alias bodong adalah tidak adanya SK Mendagri terkait pengangkatan Wakil Bupati Ende. 

Basis dari SK Mendagri adalah tidak lengkapnya berkas pencalonan Wabup Ende khususnya SK DPP dari tujuh partai koalisi sebagai syarat mutlak berdasarkan regulasi negara: UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada dan Peraturan Pelaksananya PKPU Nomor 1 tahun 2020. Jika tidak terpenuhi, itu amat pasti cacat hukum.

DPRD Ende khususnya Panitia Pemilihan (Panmil) Wabup Ende dan Bupati Ende, Achmad Djafar tahu bahwa berkas-berkas pencalonan tidak ada namun tetap menjalankan proses pemilihan. Artinya, proses pemilihan pun cacat hukum.

Publik mesti tahu bahwa Panmil Wabup Ende yang diketuai Muhamad Orba K. Ima harus menjadi pihak yang dituntut pertanggungjawaban “lebih” karena di tangan dialah proses yang catat hukum itu tetap berlangsung dengan sadar.

Jika Orba K. Ima rasional, kritis dan punya hati untuk Ende, mestinya proses pemilihan wakil bupati dihentikan. Apa yang sesungguhnya menggerakkan Panmil Wabup Ende melanjutkan proses pemilihan yang sudah pasti cacat hukum? 

Ketika borok cacat hukum dalam proses pemilihan terkuak ke ruang publik, DPRD, Panmil dan Bupati Ende tidak pernah menggelar konferensi pers secara terbuka untuk menjelaskan masalah ini kepada publik sebagai bentuk bagian dari mekanisme pertanggungjawaban kuasa dan terkait erat dengan penggunaan anggaran publik.

Rakyat Ende mesti marah kepada anggota DPRD Ende yang menghabiskan anggaran publik dengan sebuah proses dan mekanisme  politik abal-abal. 

Publik Ende khususnya elemen kritis mesti turun ke DPRD untuk berdialog dengan Panmil untuk menguji pemahaman mereka dalam membaca UU. 

Orang-orang yang katanya terhormat ini justru tampak sangat tidak terhormat ketika omong sesuka mulut dan hasratnya di banyak media sosial yang sejujurnya semakin menyadarkan publik kritis bahwa mereka tidak memahami substansi UU yang mereka langgar dengan serius di Ende ini.

Fakta yang terjadi di Ende adalah kebohongan demi kebohongan terus saja ditumpuk ke ruang publik oleh DPRD, Panmil, kelompok pagar dungu dan barisan berslogan “maju tak gentar membela yang bodong.”

Beberapa waktu lalu ada kelompok yang berdemo di Kemendagri yang sibuk meraba “kulit luar yang primordialistik” tapi tidak berani menembus substansi status Wabup Ende Bodong.

ingga hari ini, Wabup bodong dan Bupati Djafar Achmad dalam banyak kesempatan terus menerus mencoba membohongi publik Ende bahwa SK Mendagri sudah ada di “kantong.” Tapi hingga detik ini “kantong” itu tidak pernah dibuka untuk diketahui isinya. 

Artinya, pernyataan Wabup Bodong Erik Rede dan Bupati Djafar patut diduga hanya omong kosong. Sekadar “pele-pele angin” saja, kata orang Nagi. Orang Ende-Lio punya ungkapan yang sarkastik: wora. 

Maka, terjadilah: biar pun ilegal alias bodong, Erik Rede tetap berpakaian dinas wakil bupati, masuk kantor dan pesiar ke kampung-kampung dengan rombongan “kerabat” dekatnya. Mungkin juga gerombolan tim sukses pagar dungu.

Publik mesti diberitahu kenapa status ilegal alias bodong kok pakai mobil dinas, tentu ada biaya perjalanan, sopir dan sebagainya. Biaya-biaya itu datang dari sumber keuangan yang mana? 

Status ilegal alias bodong berarti sang wabup bodong itu hanya sekadar lopas-lopas ringan di depan pintu gerbang kantor Bupati Ende dan belum masuk ke halaman kantor Bupati Ende. Anehnya, justru wabup bodong ini “nyelonong” masuk ke ruangan kerja wakil bupati yang seharusnya legal.

Beberapa waktu lalu ada berita: orang tak dikenal (OTK) merenovasi rumah jabatan bupati Ende.  Pejabat urusan rumah tangga menginformasikan bahwa kerabat wakil bupati bodong yang merenovasi rumah. Artinya, kerabat wabup bodong ketiban rezeki siang bolong.

Saat elemen warga Ende berdemo mempertanyakan status wakil bupati Ende, ada OTK tanpa seragam Garda Nasdem yang berkoar akan melaporkan elemen warga yang berdemo ke polisi. 

Katanya, satu dua hari tapi hingga detik ini oknum yang masuk dalam lingkaran OTK itu malah sibuk kampanye mendirikan universitas negeri di Ende. Kalau gagasan ini lahir dari profesor pendidikan, masuk akal. Tapi kalau gagasan ini keluar dari mulut “profesor kulit kemiri” ibarat buang emas ke mulut babi.

Publik harus melawan orang-orang yang masuk lingkaran pagar dungu ini agar tidak semakin dalam merusak peradaban kemanusiaan dan mengotori langit politik Ende.

Riak-riak politik sempalan ini ibarat buih ombak yang pecah di pantai jelang tahun politik 2024. Sepintas tampak di mata tapi tergesa menghilang di selam-sela pasir. Kelompok pagar dungu memang akan berkelebat seperti kelelawar di tengah malam kelam.

 Kepak sayap terdengar menderu tapi tubuhnya tertelan kegelapan dengan moncong menggigit mangsa. Ternyata banyak orang jadi gelisah: “Mau makan apa pasca 2024?” 

Itulah narasi para gelandangan yang ketiban rezeki di rimba dunia politik. Atas nama perut yang lapar, kawan dan lawan beda tipis. Saat gelap mata, tak ada sahabat lagi di dunia politik yang memang teramat kejam di tangan politisi haus kuasa tanpa integritas. Apalagi politisi yang hanya berorientasi perut sendiri. Akan tiba saatnya: yang pernah makan semeja, akan angkat senjata untuk saling membunuh.

Publik Ende mesti membangun kesadaran kritis untuk mewaspadai sebuah bahaya besar yang berada di balik keberadaan wakil bupati Ende yang hingga detik ini berstatus ilegal alias bodong di Kantor Bupati Ende.

Fakta ini sangat aneh karena seseorang yang tidak diakui secara formal berbasis regulasi negara justru diakomodasi dengan “murah meriah” oleh Bupati Ende seolah memaksa seluruh rakyat Ende untuk mengikuti arus permainan politik yang tidak benar.

Keberadaan Wabup Ende yang bodong ini tentu saja berdampak pada alokasi penggunaan anggaran publik. Status ilegal alias bodong berarti wakil bupati Ende tidak berhak menerima gaji dari APBN maupun APBD II sekalipun. Orang kampung pasti langsung bilang: wakil bupati bodong ini hanya kerja prodeo alias tanpa gaji.

Republik ini terbagi ke dalam daerah propinsi dan daerah propinsi dibagi atas kabupaten dan kota. Tiap-tiap propinsi dan kabupaten/kota mempunyai pemerintahan daerah yang berfungsi untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pengaturannya termaktub  dalam UUD 1945 hasil amandemen IV Bab VI, pasal 18 mengatur tentang Pemerintahan Daerah.

Secara hierarki, penjabaran dari amanah Undang-Undang Dasar ini kemudian dituangkan ke dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Bahwa untuk mengurus dan mengatur jalannya pemerintahan daerah, harus ada penyelenggara pemerintahan daerah yang terdiri dari Kepala Daerah, DPRD dan dibantu oleh Perangkat Daerah yakni Dinas/Badan/Sekretariat, Kantor/UPTD dan Kecamatan. Hal ini bisa dibaca di dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Bab VII, Bagian Kesatu Pasal 57 dan seterusnya.

Setiap daerah dipimpin oleh kepala pemerintahan daerah yang disebut Kepala Daerah, untuk daerah kabupaten disebut Bupati (UU 23/2014 di pasal 59 ayat 1 dan 2). Dan kepala daerah sebagaimana dimaksud, dapat dibantu oleh Wakil Kepala Daerah, untuk daerah kabupaten disebut Wakil Bupati (UU 23/2014 di pasal 63 ayat 1 dan 2). Lebih lanjut UU ini pun mengatur soal tugas, wewenang, kewajiban dan hak bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Penyelenggaraan pemerintahan daerah berjalan berdasarkan asas desentralisasi dalam bentuk otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. 

Dalam rangka penyelenggaraan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab tersebut, maka Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah mempunyai peranan yang sangat strategis di bidang penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat serta bertanggung jawab sepenuhnya terhadap jalannya roda pemerintahan daerah.

Bupati merupakan jabatan Kepala Daerah yang dibantu oleh seorang Wakil Bupati yang memimpin suatu kabupaten. Keduanya disebut pejabat negara. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pejabat negara, keduanya diberikan hak keuangan dalam bentuk gaji pokok dan tunjangan yang dibiayai melalui pos APBN.

Gaji pokok Bupati adalah sebesar Rp2.100.000 (dua juta seratus ribu rupiah) sebulan, sedangkan gaji pokok Wabup sebesar Rp.1.800.000 (satu juta delapan ratus ribu rupiah) sebulan (pengaturannya tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administratif Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dan Bekas Kepala Daerah/Bekas Wakil Kepala Daerah Serta Janda/Dudanya Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1993, pada pasal 4 ayat 1 huruf c dan d).

Selain gaji pokok, Bupati dan Wabup juga diberikan tunjangan jabatan dan tunjangan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil. Besarnya Tunjangan Jabatan Bupati adalah Rp.3.780.000 (tiga juta tujuh ratus delapan puluh ribu rupiah), sedangkan Wabup sebesar Rp.3.240.000 (tiga juta dua ratus empat puluh ribu rupiah), (pengaturannya ada di Keputusan Presiden Nomor 68 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 168 Tahun 2000 tentang Tunjangan Jabatan Bagi Pejabat Negara Tertentu pada Pasal 1 ayat 2, huruf j dan k).

Sedangkan yang dimaksudkan dengan tunjangan lain seperti mendapatkan tunjangan beras, keluarga (istri/anak), kesehatan dan ketenagakerjaan. Setiap tahun, keduanya juga mendapatkan Tunjangan Hari Raya dan Gaji ke-13 yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah. 

Contoh untuk tahun 2021 penetapannya tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2021. Sedangkan teknis pemberiannya biasa diatur dalam Peraturan Daerah, dengan besaran yang bervariasi.

Bupati dan Wakil Bupati juga mendapat sarana dan prasarana dalam bentuk rumah jabatan beserta perlengkapan dan biaya pemeliharaan, kendaraan dinas untuk sarana mobilitas serta biaya operasional dalam rangka koordinasi, penanggulangan kerawanan sosial, perlindungan masyarakat dan kegiatan-kegiatan lain yang berkaitan dengan pembinaan kesatuan dan persatuan bangsa dibiayai melalui pos APBD (pengaturannya tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, pada pasal 6, 7, 8 dan 9) yang meliputi:

  1. Biaya rumah tangga dipergunakan untuk membiayai kegiatan rumah tangga Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah;
  2. Biaya pembelian inventaris rumah jabatan dipergunakan untuk membeli barang-barang inventaris rumah jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
  3. Biaya Pemeliharaan Rumah Jabatan dan barang-barang inventaris dipergunakan untuk pemeliharaan rumah jabatan dan barang-barang inventaris yang dipakai atau dipergunakan oleh Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah;
  4. Biaya pemeliharaan kendaraan dinas dipergunakan untuk pemeliharaan kendaraan dinas yang dipakai atau dipergunakan oleh Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah;
  5. Biaya pemeliharaan kesehatan dipergunakan untuk pengobatan, perawatan, rehabilitasi cacat dan uang duka bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah beserta anggota keluarga;
  6. Biaya Perjalanan Dinas dipergunakan untuk membiayai perjalanan dinas dalam rangka pelaksanaan tugas Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah;
  7. Biaya Pakaian Dinas dipergunakan untuk pengadaan pakaian dinas Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berikut atributnya;
  8. Biaya penunjang operasional dipergunakan untuk koordinasi, penanggulangan kerawanan sosial masyarakat, pengamanan dan kegiatan khusus lainnya guna mendukung pelaksanaan tugas Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Melihat kondisi dan keadaan jumlah penduduk, geografis, luas wilayah dan potensi ekonomi daerah yang relatif berbeda antara daerah yang satu dengan daerah lainnya, maka pengaturan biaya operasional biasanya disesuaikan dengan kondisi keuangan daerah yang mengacu pada Pendapatan Asli Daerah/PAD dengan tetap memperhatikan prinsip efisiensi, efektivitas, kehematan dan dapat dipertanggungjawabkan.

Besarnya biaya penunjang operasional Kepala Daerah Kabupaten/Kota, ditetapkan berdasarkan klasifikasi Pendapatan Asli Daerah (pengaturannya tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, pada pasal 9 ayat 2) antara lain sebagai berikut:

  1. Sampai dengan Rp.5 milyar paling rendah Rp.125 juta dan paling tinggi sebesar 3%;
  2. Di atas Rp.5 milyar s/d. Rp.10 milyar paling rendah Rp.150 juta dan paling tinggi sebesar 2%;
  3. Di atas Rp.10 milyar s/d. Rp.20 milyar paling rendah Rp.200 juta dan paling tinggi sebesar 1,50%;
  4. Di atas Rp.20 milyar s/d. Rp.50 milyar paling rendah Rp.300 juta dan paling tinggi sebesar 0,80%;
  5. Di atas Rp.50 milyar s/d. Rp.150 milyar paling rendah Rp.400 juta dan paling tinggi sebesar 0,40%;
  6. Di atas Rp.150 milyar paling rendah Rp.600 juta dan paling tinggi 0,15%.

Dampak Status Wabup Bodong

Mengacu pada uraian berbasis regulasi negara di atas, bagaimana dengan realitas sosial yang terjadi di Kabupaten Ende terkait dengan status Wakil Bupati yang masih ilegal alias bodong? 

Berapa kerugian negara yang akan ditimbulkan apabila negara dan daerah membayarkan haknya dengan tanpa mengantongi sebuah legal standing yang jelas/sah secara kedudukan hukum?

Komponen keuangan bagi kepala daerah/wakil kepala daerah diatur dalam Peraturan Bupati Kabupaten Ende Nomor 8 Tahun 2021 tentang APBD Tahun Anggaran 2022 yang ditetapkan dan diundangkan pada 28 Desember 2021, Perbup itu menyebutkan bahwa PAD Kabupaten Ende yang terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan Lain-lain PAD yang sah ditetapkan sebesar Rp.80.445.342.400 Miliar (item ini sebagai dasar ditetapkannya dana operasional bagi kepala daerah/wakil kepala daerah).

Selanjutnya dijabarkan ke dalam Peraturan Bupati Ende Nomor 65 Tahun 2021 tentang APBD Tahun Anggaran 2022 yang ditetapkan dan diundangkan pada 29 Desember 2021 sebagai instrumen teknis pelaksanaannya. Dalam ringkasan penjabaran APBD yang diklasifikasikan menurut kelompok, jenis, obyek, rincian obyek, sub-rincian obyek pendapatan, belanja dan pembiayaan Tahun Anggaran 2022, disebutkan bahwa anggaran yang diperuntukkan bagi Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah selama 1 tahun anggaran dengan rincian sebagai berikut:

  1. kode rekening 5.1.01.05.01.0001 uraiannya Belanja Gaji Pokok KDH/WKDH sebesar Rp.361.740.008
  2. kode rekening 5.1.01.05.02.0001 uraiannya Belanja Tunjangan Keluarga KDH/WKDH sebesar Rp.17.287.200
  3. kode rekening 5.1.01.05.03.0001 uraiannya Belanja Tunjangan Jabatan KDH/WKDH sebesar Rp.211.132.012
  4. kode rekening 5.1.01.05.04.0001 uraiannya Belanja Tunjangan Beras KDH/WKDH sebesar Rp.8.391.600
  5. kode rekening 5.1.01.05.05.0001 uraiannya Belanja Pph/Tunjangan Khusus KDH/WKDH sebesar Rp.3.431.988
  6. kode rekening 5.1.01.05.07.0001 uraiannya Belanja Luran Jaminan Kesehatan KDH/WKDH sebesar Rp.7.606.368
  7. kode rekening 5.1.01.05.08.0001 uraiannya Belanja Luran Jaminan Kecelakaan Kerja KDH/WKDH sebesar Rp.148.176
  8. kode rekening 5.1.01.05.09.0001 uraiannya Belanja Luran Jaminan Kematian KDH/WKDH sebesar Rp.444.500
  9. kode rekening 5.1.01.06.02.0001 uraiannya Belanja Dana Operasional KDH/WKDH sebesar Rp.399.900.000

Pertanyaan kritisnya: apakah pengaturan tersebut sudah mengakomodasi kedudukan keuangan Wakil Bupati Ende yang berstatus ilegal alias bodong itu? Kalau iya, lalu dasar apa yang dipakai oleh Pemerintah Kabupaten Ende apabila terbukti telah mengalokasikan anggaran untuk Wabup dan membayarkan kepada yang bersangkutan setiap bulannya?

Hal berikutnya, merujuk pada regulasi yang mana terkait dengan penetapan alokasi anggaran untuk item KDH/WKDH (9 item) karena ketika merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2000, Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2000 dan Keputusan Presiden Nomor 68 Tahun 2001 sebagaimana sudah dijelaskan diatas maka terdapat ketidaksesuaian dengan apa yang dijabarkan ke dalam Peraturan Daerah Kabupaten Ende Nomor 8 Tahun 2021 dan Peraturan Bupati ENDE Nomor 65 Tahun 2021 (dalam hal besaran Gaji Pokok, Tunjangan Jabatan dan Biaya Operasional untuk KDH/WKDH).

Pembohongan Publik

Pertanyaan-pertanyaan kritis publik di atas bukan suatu hal yang tabu dan harus dijawab oleh pemerintah dengan jujur dan terbuka. 

Soal keterbukaan infomasi publik oleh pemerintah ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan dijabarkan ke dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Dikatakan bahwa setiap informasi publik bersifat terbuka/transparan dan dapat diakses oleh setiap pengguna informasi publik secara cepat, tepat waktu, biaya ringan dan cara yang sederhana termasuk dalam hal ini mengetahui soal keabsahan SK Wabup yang masih kontroversi.

Hingga detik ini, keberadaan SK Wabup Ende yang bodong itu sepertinya hanya menjadi rahasia pribadi Bupati Ende dan elite di sekitarnya. Bupati Djafar saat pelantikan para pejabat di Ende selalu omong bahwa SK Mendagri sudah di “kantong” tapi kantong yang mana tidak jelas. 

Apakah di dalam “kantong” itu benar-benar ada SK Mendagri, malah semakin kelam. Dalam konteks UU No 14 tahun 2008 tentang KIP, publik Ende patut menduga bahwa Bupati Djafar telah berulangkali melakukan pembohongan publik terkait keberadaan SK Mendagri dalam “kantong.”

Tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dapat diwujudkan dalam sistem pemerintahan yang merefleksikan tatanan hukum yang responsif sesuai dengan kehendak masyarakat. 

Asumsi ini merujuk pada konsep Plato yang dikenal dengan “nomoi” bahwa penyelenggaraan negara yang baik didasarkan pada pengaturan hukum yang baik. Artinya, good governance hanya dapat diwujudkan dalam negara hukum sebagai panglima, bukannya berdasar pada kepentingan politik semata.

Salah satu asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah asas pertanggungjawaban/akuntabilitas. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar 1945”, dalam sistem Ketatanegaraan Indonesia, UUD 1945 merupakan landasan konstitusional atau pedoman hukum bagi pertanggungjawaban implementasi kekuasaan oleh pejabat pemerintah kepada rakyatnya. 

Bukan opini pejabat yang kebenarannya nol besar tapi diulang terus menerus sehingga membangun kesadaran palsu di otak publik yang terbatas bahwa kebohongan yang direfrein oleh mulut pejabat itu adalah kebenaran.

Hakikat pertanggungjawaban pemerintah daerah mengharuskan pemerintah daerah untuk mempertanggungjawabkan seluruh tindakannya dalam penyelenggaraan pemerintahan agar mencegah terjadinya penyalahgunaan kewenangan (detournement de pouvoir).

Pertanggungjawaban dimaksud terdiri atas pertanggungjawaban politik, hukum dan ekonomi. Pertanggungjawaban politik meliputi pertanggungjawaban dalam bentuk penyampaian laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah (LPPD) yang wajib dilakukan satu kali dalam setahun kepada Pemerintah Pusat melalui Mendagri sebagai dasar evaluasi dan bahan pembinaan kepada Pemerintah Daerah (Raport Bupati), laporan keterangan pertanggungjawaban penyelenggaraan pemerintahan kepada DPRD/LKPJ dan menginformasikan hasil penyelenggaraan pemerintahan kepada masyarakat/ILPPD sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas publik.

Pertanggungjawaban hukum adalah pertanggungjawaban atas tindakan pemerintah daerah (pejabat pemerintah) yang merugikan masyarakat/pihak lain. Pertanggungjawaban hukum terbagi dua yakni pertanggungjawaban pribadi yang berfokus pada pendekatan fungsional atau perilaku yang dapat mengakibatkan terjadinya tindakan penyalahgunaan wewenang dalam bentuk mal-administrasi dan pertanggungjawaban jabatan yang berfokus pada pendekatan legalitas (keabsahan) mengenai penggunaan wewenang, prosedur dan substansi.

Perbedaan pertanggungjawaban pribadi dan pertanggungjawaban jabatan, konsekuensinya pada pertanggungjawaban pidana, perdata dan administrasi. Pertanggungjawaban pidana hanya berkaitan dengan tanggung jawab pribadi, pertanggungjawaban perdata berkaitan dengan tanggung jawab pribadi dan tanggung jawab jabatan serta pertanggungjawaban administrasi lebih berkaitan dengan tanggung jawab jabatan. Sedangkan pertanggungjawaban ekonomi dilaksanakan bersamaan dengan pertanggungjawaban politik.[MLA21] 

Lord Acton mengatakan bahwa kekuasaan atau wewenang sangat potensial untuk disalahgunakan. “Power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely”

Semakin besar kekuasaan, akan semakin besar pula kecenderungan untuk disalahgunakan. Maka rakyat Ende harus peka dan peduli terhadap setiap gejala dan fenomena pemerintahan yang terjadi.

Kritik yang kita utarakan, entah melalui tulisan, penyampaian pendapat melalui dialog, demonstrasi maupun aksi-aksi teatrikal demokratis lain tentu sangat jauh dari konteks dangkal-sempit sekadar ingin menjatuhkan wibawa pemerintah atau menyerang personal pejabat pemerintah. 

Lebih dungu lagi kalau kritik substantif ini dilihat dengan sederhana sebagai bentuk iri hati atau cemburu. Apa untungnya iri hati untuk sebuah jabatan yang ilegal atau bodong?

Kritik adalah sebentuk partisipasi dalam ruang demokrasi dan politik untuk membangunkan kesadaran publik agar tetap kritis dan elite penguasa (legal) agar tetap “terjaga” dalam menjalankan kekuasaan. Dalam konteks Ende, kritik konstruktif adalah bentuk ungkapan kecintaan terhadap kemajuan daerah dengan slogan: Ende, Lio, Nage, sare pawe. *

*Steph Tupeng Witin ADALAH Penulis Buku “Politik Dusta di Bilik Kuasa” (JPIC OFM, 2019).

**Catatan: Artikel ini terbit atas persetujuan penulis. Artikel yang sama pernah terbit di Korantimor.com, Rabu, 30 maret 2022.

 

RELATED NEWS