Paleoanthropologist AS, John Hawks: Menguntit Ebu Gogo Yang Liar

Redaksi - Selasa, 02 Maret 2021 23:39
Paleoanthropologist AS, John Hawks: Menguntit Ebu Gogo Yang LiarLegenda Ebu Gogo (sumber: 2021/03/1614677934066.jpeg)

Dalam Anthropology Today beberapa waktu lalu terdapat sebuah artikel bagus buah pena Gregory Forth dari University of Alberta, Kanada. Artikel tersebut membahas soal legenda Ebu Gogo dari daerah Nage, Flores Tengah. Legenda tersebut dikaitkan dengan Homo florensis, sepsis manusia yang ditemukan di Liang Bua, Manggarai,  dan dampaknya terhadap masyarakat  Flores. 

Tertarik pada artikel Gregory Forth tersebut, John Hawks membuat komentar  blog pribadinya atas Ebu Gogo. John Hawks, pria  asal Madison, Wiscosin Amerika Serikat memperkenalkan dirinya sebagai paleoanthropologist yang fokus mempelajari fossil hominin dan ilmu genetika. 

Ethnografer Greg Forth dan Ebu Gogo

Forth, tulis Hawks, adalah seorang etnografer yang pernah bekerja di Flores, dan diposisikan secara unik untuk meneliti dampak non-ilmiah dari karya arkeologi di sana.  Menurut Hawks bagian terbaik dari artikel tersebut adalah deskripsi penulis tentang legenda Ebu Gogo. 

Forth, lanjut Hawks, memberikan sketsa otobiografi tentang cara dia pertama kali menemukan mitos Ebu Gogo , dan bagaimana hal itu ditampilkan sebelum penggalian Liang Bua. Forth juga merinci bagaimana dia menjadi sadar akan penemuan fosil,  dan bagaimana temuan itu mempengaruhi eksposisi publik tentang cerita Ebu Gogo.

“Apakah Ebu Gogo sebenarnya adalah kenangan yang terpelihara dari populasi peninggalan Homo floresiensis?” tanya Hawks.  “Jawabannya, memang tak jelas!,” tulisnya. Namun, memandang legenda Ebu Gogo, seperti  melihat makhluk legendaris lainnya, "bigfoot", dan mengaggapnya sebagai sebuah fantasi belaka, rasanya sikap yang terlalu gegabah. 

Betapapun, tandas Hawks,  Ebu Gogo mungkin mengingat Homo floresiensis (atau sebaliknya. Namun, menilik ciri dan karakter Ebu Gogo yang ‘rakus dan pelahap segala’ sebagaimana digambarkan warga lokal, kita jadi sulit menentukan bahwa karakter tersebut muncul setelah ditemukan Homo floreseiensis yang bertubuh mungil, alias Hobbit. 

“... Tentu ada masalah dalam menafsirkan Ebu Gogo sebagai cerminan langsung ingatan lokal tentang Homo floresiensis. Namun apa pun asal usul representasi orang Nage, Ebu Gogo benar-benar tampak berbeda dari berbagai kategori roh yang digambarkan orang Nage dengan kepercayaan yang sama - dan sejauh itu, saya yakin kemungkinan [bahwa mereka mewakili hewan nyata] harus ditanggapi dengan serius . Sebagaimana dicatat, Nage sendiri membedakan Ebu Gogo dari "roh" (kategori umum yang secara kontekstual ditetapkan sebagai nitu) dan mereka melakukannya secara eksplisit dengan mengacu pada kurangnya kekuatan luar biasa makhluk berbulu itu - misalnya, kemampuan untuk menghilang, berubah bentuk, bertransformasi menjadi hewan, dan seterusnya “(Forth 2005: 15).

Bagi Forth, asumsi bahwa Ebu Gogo adalah "hanya mitos lain" sama dengan asumsi bahwa "masyarakat skala kecil non-Barat tidak mampu membedakan kategori empiris, objek intuisi biasa, dari gambar fantastis yang didiktekan oleh tradisi agama" ( ibid.).

Sedangkan untuk diri saya sendiri, tulis Hawks, saya tidak yakin untuk melangkah sejauh itu. Berbicara sebagai penduduk asli Midwesterner, ada banyak cerita yang diceritakan orang tentang masa lalu yang jelas-jelas tidak benar secara harfiah, tetapi juga kekurangan unsur supernatural. Menceritakan tentang Pecos Bill, yang jelas memiliki kekuatan super (memanfaatkan tornado, misalnya) adalah satu hal, dan menceritakan kisah tentang bagaimana kerabat jauh berinteraksi dengan orang India selama masa perintis. 

Jelas yang terakhir terjadi, tetapi detailnya tidak dapat dianggap sebagai representasi sebenarnya dari fakta. Bahkan jika itu diterima sebagai sejarah keluarga (atau komunitas) yang valid. Ini untuk cerita yang hampir berumur 120 tahun, dan telah melewati tiga atau empat telinga generasi manusia. Hal tersbut berbeda denga napa yang terjadi di Flores. Legenda Ebu Gogo dapat bertahan dengan kualitas kebenaran yang baik, sudah lebih dari beberapa abad tahun lamanya. 

“Orang Nage percaya bahwa Ebu Gogo masih hidup pada saat kedatangan kapal dagang Portugis di abad ke-17, dan beberapa berpendapat bahwa mereka bertahan hingga abad ke-20, tetapi sekarang tidak lagi terlihat. Ebu Gogo diyakini telah diburu hingga punah oleh manusia penghuni Flores. Mereka percaya bahwa pemusnahan yang mencapai puncaknya sekitar tujuh generasi lalu itu dilakukan karena Ebu Gogo mencuri makanan dari tempat tinggal manusia, dan menculik anak-anak.

Sebuah artikel di New Scientist (Vol. 186, No. 2504) menulis kisah bahwa pada abad ke-18, penduduk desa di daerah nage menjebak kawanan Ebu Gogo dengan dengan serat ijuk, sebagai pakaian. Dan ketika Ebu Gogo membawa serat itu ke dalam gua mereka, penduduk desa melemparkan api untuk membakarnya. Menurut cerita, semua penghuninya terbunuh, kecuali mungkin satu pasangan, yang melarikan diri ke hutan belantara, dan keturunannya mungkin masih tinggal di sana.”. (https://itsmth.fandom.com/wiki/Ebu_Gogo).

Tetapi, lanjut Hawks, para antropolog rupanya memilih bagian-bagian yang sesuai dengan kerangka pemikiran mereka, dan membuang bagian-bagian yang tidak sesuai, misalnya, soal payudara Ebo Gogo yang panjang sehingga dapat disampirkan di bahu, lengan dan jari yang panjang, dan ketakmapuan menggungkan peralatan, serta berbagai elemen-elemen yang saling berkontradiksi. Forth melakukan pekerjaannya dengan yang sangat baik dalam menunjukkan konsistensi dan kontradiksi ini, dan sebagai hasilnya, ia membuat cerita Ebu Gogo menjadi sangat menarik.

Mengenai topik efek penemuan terhadap masyarakat lokal, Forth mengisahkan tentang seorang reporter Daily Mail yang tiba di Flores seminggu setelah pengumuman temuan Liang Bua pada Oktober 2004. Dia melaporkan cerita dari penduduk setempat tentang pertemuan baru-baru ini dengan orang-orang berbulu kecil, termasuk kisah tentang seorang pria yang mengaku memiliki sisa-sisa fisik makhluk seperti itu pada suatu waktu, sekarang hilang.

Wartawan ‘Daily Mail’ itu  menunjukkan kepada penduduk desa, antara lain mengenai  ilustrasi hominid yang direkonstruksi yang telah muncul di berbagai publikasi. Dan tentu saja, apa yang mereka klaim telah mereka saksikan (atau, dalam satu kasus, diperoleh) tampak persis seperti ini! Oleh karena itu, orang bertanya-tanya peluang apa yang sekarang ada untuk membedakan representasi pribumi dari interpretasi paleoantropologis, terutama di wilayah Manggarai di mana minat populer pada Homo floresiensis secara alami paling kuat ... (Forth 2005: 17).

Yang menarik, tak lama setelah penemuan itu, tiba-tiba ada operator tur yang menawarkan paket di internet, mengiklankan ekspedisi lima hari ke situs dari Bali .... Jika itu belum terjadi, orang juga dapat membayangkan aka ada "Hotel Hobbit." 

Terlepas dari upaya komersialisasi yang cepat, Forth meragukan bahwa masyarakat lokal akan mendapatkan banyak manfaat dari pembangunan ekonomi, berdasarkan pengalaman terkini pembangunan yang terkait dengan Taman Nasional Komodo, dengan komodo unggulan.

Pertanyaan yang muncul kemudian, "Bagaimana jika Homo floresiensis benar-benar masih ada?" Mengenai hal ini, Forth menulis begini:

“Tetapi orang segera diarahkan untuk bertanya: seberapa siapkah antropolog sosial atau budaya (seperti berbeda dari, katakanlah, ahli primata atau antropolog biologi) untuk menanggapi tantangan ini? Beberapa mungkin tidak terlalu tertarik - mungkin cenderung pada pandangan konstruksionis yang ekstrim tidak hanya budaya tetapi juga spesies, dan kemudian menyangkal bahwa ada banyak hal baru sama sekali di sini. Terutama karena saya tidak benar-benar tahu jawabannya (atau, jika ternyata negatif, mengapa harus demikian), saya akan membiarkan pertanyaan itu terbuka. Namun, ada pertanyaan yang kurang hipotetis dan lebih langsung, yaitu apakah disiplin antropologi lain (seperti paleoantropologi) - dan dalam hal ini media - mengenali relevansi antropologi sosial atau budaya dalam semua ini? Indikasi  yang tampaksejauh ini mungkin tidak” (Forth 2005: 17).

Sebuah kesalahan

Hawks kemudian menduga, para antropolog sosial dan budaya telah keluar dari ‘gelanggang permainan’.  Mereka tampaknya belum atau tidak lag memberi  perhatian utama isu kemanusian dalam kajiannya.  memang, beberapa dari mereka telah menulis tentang evolusi budaya.  Namun, tak sedikit  dari mereka yang mempertanyakan relevansi konsep budaya itu sendiri, atau bahkan sudah membuangnya sama sekali.

“Saya pikir ini adalah sebuah kesalahan. Menurut saya,  antropolog ekonomi dan politik akan memiliki banyak peluang untuk mempelajari interaksi sosial di antara Neanderthal atau manusia purba lainnya. Ingat, bagi manusia, ekologi bukan hanya masalah kontak lingkungan tetapi juga negosiasi sosial. Permulaan proses ini pada manusia purba akan menjadi subjek yang matang bagi antropolog ekologi. Dan tidak perlu dikatakan lagi, konstruksi sistem simbolik yang baru jadi akan memberikan subjek yang sangat menarik bagi antropolog kognitif. Saya mempelajari hal-hal ini, dan saya menggunakan wawasan antropologi budaya secara teratur. Tapi kemudian saya diarahkan  untuk menjadi seorang  pemain cadangan (four-fielder) dari penelitian atas suku yang telah menghilang dalam antropologi Amerika,” ungkap Hawks. (BS/MAP)

RELATED NEWS