Pemberhentian Tidak Dengan Hormat Kompol Cosmas: Vonis Berat yang Rawan Cacat Keadilan
redaksi - Jumat, 05 September 2025 09:42
Oleh: Kornelius Yoseph Paga Meka, S.H., M.H.
Dosen UNIPA dan Pengacara
Keputusan Komisi Kode Etik dan Profesi (KKEP) Polri yang menjatuhkan hukuman Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) terhadap Kompol Cosmas K. Gae patut dipertanyakan.
Vonis ini terasa terlalu berat dan berpotensi mencederai rasa keadilan, baik dari perspektif hukum pidana maupun etik.
Pertanggungjawaban Hukum Bersifat Individual
Hukum pidana di Indonesia menekankan prinsip pertanggungjawaban individual. Seseorang hanya dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya sendiri, bukan karena jabatan atau posisi yang ia emban.
Pasal 55 KUHP secara tegas mengatur bahwa hanya pelaku, penyuruh, atau pihak yang turut serta yang dapat dimintai pertanggungjawaban.
- Pesan Inspiratif: Yesus dan Ajaran-Nya Menuntut Hati yang Baru
- Bacaan Liturgis, Jumat, 05 September 2025: Tentang Berpuasa
- Dukung Keamanan Siber Nasional, IDCloudHost Luncurkan SafeGov
Fakta yang muncul dalam kasus ini menunjukkan bahwa Kompol Cosmas bukanlah pengemudi kendaraan taktis yang menewaskan seorang pengemudi ojek online, melainkan penumpang.
Oleh karena itu, landasan untuk menjatuhkan sanksi seberat PTDH menjadi lemah dan terkesan dipaksakan.
Asas Proporsionalitas yang Diabaikan
Peraturan Polri Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi (KEPP) secara eksplisit menyebutkan pada Pasal 13 ayat (2) bahwa sanksi etik harus mempertimbangkan asas proporsionalitas.
Sementara Pasal 14 ayat (3) menegaskan bahwa PTDH hanya dapat dijatuhkan jika terdapat kesengajaan serius atau penyalahgunaan jabatan.
Dalam kasus Kompol Cosmas, tidak ditemukan unsur kesengajaan apalagi penyalahgunaan jabatan.
Ia berada dalam situasi darurat, di mana keputusan yang diambil merupakan langkah untuk menyelamatkan diri dan rekan-rekannya dari kemungkinan amukan massa.
Menjatuhkan PTDH tanpa pertimbangan proporsionalitas jelas bertentangan dengan peraturan internal Polri itu sendiri.
Tumbal Atas Perintah Atasan
Kompol Cosmas tidak bertindak atas inisiatif pribadi, melainkan menjalankan perintah atasan. Dengan demikian, rantai komando harus ditelusuri lebih jauh.
Siapa yang memberi perintah? Mengapa keputusan itu diambil? Pertanyaan ini harus dijawab agar jelas siapa sebenarnya yang memikul tanggung jawab hukum dan etik.
Mengorbankan seorang perwira menengah hanya untuk menjaga citra institusi sama sekali tidak adil. Keputusan ini lebih terlihat sebagai upaya mencari kambing hitam ketimbang menegakkan kebenaran.
Jalur Hukum yang Masih Terbuka
Kompol Cosmas masih memiliki hak hukum. Langkah banding administratif melalui Komisi Banding KKEP Polri perlu segera ditempuh.
Apabila langkah itu tidak membuahkan hasil, jalur gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terbuka lebar.
Pasal 53 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 memberi hak bagi setiap anggota Polri untuk menggugat keputusan administratif yang merugikan dirinya.
Penutup
Kasus ini menjadi ujian besar bagi integritas Polri. Jika ingin menjaga marwah institusi, Polri tidak boleh menutup mata terhadap prinsip-prinsip hukum pidana dan asas keadilan etik. Vonis PTDH terhadap Kompol Cosmas harus dikaji ulang secara objektif.
Tanpa koreksi, keputusan ini hanya akan memperdalam krisis kepercayaan publik terhadap penegakan hukum di tubuh Polri.***