Yang Tersisa dari Festival Flores The Singing Island

redaksi - Rabu, 18 Agustus 2021 19:50
Yang Tersisa dari  Festival Flores The Singing IslandYang Tersisa dari Flores The Singing Island Virtual Festival (sumber: Screenshoot Youtube Kemenparekraf)

ACARA  bertajuk ‘Flores The Singing Island Digital Festival’ sudah usai. Jejak di digital masih berbekas, dan masih  bisa disaksikan. Sebuah acara yang hebat. Sudah layak dan sepantasnya kita memberi apresiasi kepada musisi Ivan Nestorman yang menggagas acara ini, dan juga bagi  para pendukungnya, baik pendukung moril, musikal  dan juga  finansial.

Sebagai orang yang tidak paham musik, juga pementasan, kesan saya, ini adalah salah satu acara masal orang Flores yang rapi dan sedap dinikmati. Ada beberapa catatan, untuk itu saya menyetir pendapat mereka yang lebih paham dan serius mengamati.

Pieter Pureklolong, warga Lamaholot yang berdiam di Batam memberi sedikit catatan. “Ya secara umum bagus. Tapi ada sedikit masukan dari saya. Kata sambutan terlalu banyak dalam acara ini, total hampir 20 menit. Lalu, versi Manggarai juga terlalu mendominasi. Jamaica Café terlalu biasa dan ambil dua lagu terlalu banyak, tapi dibawakan dengan tidak menarik. Lagu Mogi e itu bagusnya diyanyikan oleh yang mempopulerkannya, itu yang juara di TV,” demikian Piter.

Masih berlanjut, “Lagu Benggong terlalu lama, hostnya juga menyanyi terlalu gimana begitu. Host ok, tapi ambil porsi terlalu banyak dan tidak perlu ngobrol dengan Jamaica dan da Lopez. Wagub Flotim harus omong jelaskan itu untuk apa? Punya Ende gregetnya ok banget. Lalu porsi untuk 3 penyanyi perempuan hanya satu lagu, harusnya bisa didtambahkan karena bagus sekali mereka. Ngada, Nagekeo dan Sikka mestinya bagus, tapi kurang greget. Keseluruhan terlalu maskulin. Kurang memuliakan Ine, Ina (red. Mama). Dan terakhir, agak Jakartasentis.”

Saya yakin, Ivan Nestorman pasti dengan besar hati menerima masukan Piete di atas. Bisa benar, bisa juga tidak, silahkan diendapkan dalam-dalam dan bisa  menjadi perhatian bagi siapa pun yang kelak akan membuat acara yang serupa. Biar semakin nikmat dan menarik, dan akan lebih bergaung ke seluruh Nsuantara. 

Selanjutnya,mari kita bahas secara enteng tentang apa yang dimaksud dengan julukan untuk Flores sebagai  the singing dan the dancing society seperti tampak dari judul acara ini. Tentang ini pun, saya pun ingin mengutip obrolan dengan seseorang.     

Sekadar Mengenang Band Kampung

Senin pagi, (16/8/2021), sehari sebelum acara ini, orang Flores, termasuk yang di perantauan  sudah mulai heboh. Saya menelpon seorang teman dekat, juga untuk bercakap-cakap perihal festival. Dia seorang pastor SVD yang bertugas di Roma. Namanya Valentinus Beo,  orang Ndona bercampur Wolotopo, Ende Lio.  Hari-hari ini dia sedang berada di Rumah SVD Matraman, Jakarta  mengurus paspor untuk kembali  lagi ke Roma setelah mengambil cuti selama  4 minggu.

Kalau  kontak dengan teman kelas yang satu ini, setelah berbasa basi sedikit, saya biasanya nanya,  apakah dia punya stok tulisan atau renungan untuk media ini. "Ada eja, ini refleksi tentang kemerdekaan RI." "Baik sudah, kirim sudah ko" pinta saya. "Ok, tidak lama.lagi meluncur," kata pastor yang sering dengan Kons ini.
 
Karena dia berbakat dan punya perhatian pada dunia musik, saya tidak mau sia-siakan untuk bertanya soal musik. Tanpa ada introduksi, dia pun sudah paham bahwa akan ada festival Flores My Singing Island  yang digagas Ivan Nestorman bersama Badan Pelaksana Otoritas Pariwisata Flores Labuhan Bajo  dan Para Bupati Flores.  Mesti Lembata dan Alor masuk dalam bagian ini, hanya karena PPKM, kedua wilayah adminsitratif yang didiami orang Lamaholot itu harus bersabar untuk waktu yang lain. 
 

Sebuah Band Kampung di Maumere (Foto: Istimewa)
Sebuah Band Kampung dan Kelompok Penari Tradisional di Ngada (Foto: Isitmewa)

"Eja bisa komentar soal orang Flores yang suka nyanyi dan menarikah?", tanya saya.
“Begini”, dia mulai keluarkan òpininya. “Saya sepakat, orang Flores termasuk masyarakat menyanyi, memang mereka  suka menyanyi dan menari. Pertama, soal menari dulu. Karena alamnya yang bergunung dan berbukit-bukit, orang Flores itu dikenal suka bergerak. Jangan heran, kata dia, mendengar bunyi saja, mereka bisa langsung menari. Dan menari, kata dia, bisa diringi bunyi gong, gendang,  bambu atau nyanyian-nyanyian sederhana. "Tak perlu lagu dengan gubahan yang hebat,hanya dengan pekikkan ooo aaaa  saja  bisa mengiringi mereka menari,” ujarnya.

Lalu soal menyanyi, ada dua hal yang bisa dijelaskan. Pertama orang Flores mengubah lagu dan bernyanyi berdasarkan peristiwa alam. "Ada orang jatuh pohon, mereka bisa mengarang sebuah lagu."

Hal lain, pada masa lalu,  muncul band-band kampung. Fenomena itu mesti dikaitkan dengan ikatan kekeluargaan dalam kampung yang secara genetik punya bakat.

Dia pun mengingat bagaimana muncul  band-band kampung dari kampungnya di Radaara, Ndona atau di Wolotopo.

"Kalau ingat, lagu Mbulu yang sangat terkenal tahun 70-an, itu nuncul dari band keluarga di Kampung Radaara, Ndona. Penyanyi namanya Pius, masih keponakan saya. Para pemainnya masih dalam keluarga yang punya bakat musik," dia bercerita sambil kami mencoba mengingat dan sama-sama manyanyikan lagu Mbulu.

Band musik dari Kampung Radaara di Lio saat itu, jelasnya,  biasanya bersaing dengan band kampung dari Wolotopo dan Nggela, Namun, band-band  kampung itu pelan-pelan meredup bersamaan dengan perkembangaan jaman. Ikatan keluarga yang semakin longgar, banyak orang yang keluar dari kampung untuk ‘melarat’, juga orang menyanyi  mulai dengan kalkukasi uang, kemudian muncul  keyboard dan sound system yang juga menjadi faktor-faktor yang turut berpengaruh.

Cerita Pastor Kons di atas, juga mengingatkan kita pada pengalaman di kampung-kampung masing di seluruh Flores, Lembata, Alor dan seluruh NTT. 

Saya juga mengingat  kejadian di kampung saya, Namanya, Malasera, Utetoto, daerah perbatasan Ende dan Nageleo.  Saat perayaan sambut baru atau pernikahan, keluar dari kapela, anak-anak atau pengantin dijemput pake musik suling yang mengantar para jubilaris itu hingga masuk tenda atau aula pesta. 

Dalam.tenda, ada dua atau tiga band sudah menunggu. Waktu itu misalnya, ada dua band terkenal, satu namanya Paki Sako dari kampung Ute Ola, di atas gunung, dan yang kedua band Masa Muda, dari kampung Ndanga Kapa, kampung di bawah lembah. 

Alat-alatnya hanya berupa gitar, string bas dan giring-giring. Penyanyi berkelimpahan. Biasanya dekat grup  band itu, duduk orang-orang tua dari kampung yang khusus datang untuk mendampingi. Mereka ini semacam penasihat spiritual.  Dari cerita di belakang layar, orang-orang tua ini memiliki kemampuan magis untuk mengirim dan menangkis serangan.

Karena dalam ruangan.pesta, ketika pesta makin hidup, kompetisi melodi gitar  dan menyanyi kian memuncak, bukan tidak mungkin tali-tali gitar bisa terputus dan salah satu band akan menyerah kalah.  Kata orang-orang di kampung, itu karena serang dari band lawan. Padahal, mungkin saja karena kebanyak ‘tuak’, para gitaris memetik gitar terlalu kencang, lalu putus. Entahlah, mereka butuh perlindungan secara magis.

Apa yang tejadi beberapa dekade silam, mungkin jarang ditemukan saat ini. Sekarang, saat pesta sambut baru misalnya, orang berlomba-lomba menyewa sound system. Biasanya untuk mengiiringi menari, bahkan bisa untuk ‘sapu lantai’  semalam.suntuk. Jarang  ada live music lagi di sana.

Mungkin pada  beberapa kelompok di Maumere atau Bajawa, atau di tempat lain, seperti yang berseliweran di media sosial, mereka coba menghidupkan kembaki band kampung, tapi pasti tidak sesemarak dulu. Atau di rumah-rumah adat Ngada, orang masih menyanyi seusai makan bersama sambal menikmati moke. Atau di beberapa kampung, masih ada teriakan dari kebun-kebun di lereng bukit ketika mereka bekerja sambil bernyanyi. Lagi-lagi, kita harus mengakui, bahwa ‘yang seperti itu’ sudah sangat jarang terjadi.

Kalau demikian keadaannya,  tak berlebihan kalau ada yang melontar pertanyaan, apakah orang Flores masih layak menyandang singing society (masyarakat menyanyi?  Dancing society mungkin iya.  Bukankah mereka yang tampil di acara festival kemarin hanya segelintir, kebanyakan dari sanggar-sangar di Ibu Kota Kabupaten, yang juga bisa terhadi di komunitas lain di luar Flores. Lalu, apa yang membedakan, dan kenapa hanya Flores yang menerima gelar kehormatan itu? 

Dalam imajinasi saya, idealnya, orang Flores itu seperti di Meksiko atau Kuba, mereka juga suka pesta, lalu orang-orangnya  menari langsung diiringi pemain musik yang ada di situ, tidak pake rekaman dengan sound system yang memekakkan telinga. Lalu dari ‘kebiasaan’ nyanyi seperti itu mereka brtumbuh hebat dan  menghasilkan lagu-lagu mendunia  semacam La Bamba, Cielito Lindo atau Guantanamera.
 

Max Wilhelm Carl Weber (lahir di Bonn, 5 Desember 1852 – meninggal di Berbeek (Foto: Istimewa)

Kesan Weber dan Sato

Situasi orang Flores sekarang, kalau tidak segera berubah atau diubah, dugaan saya, tidak lama lagi kita cuma mendengar berulang-ulang kesaksian beberapa penulis jaman dulu. Saya mengutip dua kesaksian berikut. 

Pertama dari Max Weber, seorang peneliti botani atau jenis tanaman, yang mulai dari Sumatera, lalu ke Flores, Di pulau ini, rupanya sambil meneliti, dia juga mendengar dan mereka  kebiasaan orang Flores menyanyi. 

Dia menulis: “Of musical instruments I did not see much, although, as a matter of fact, the population of Flores seemed to me to be more musically talented than the kindred Indonesian tribes whose acquaintance I made in Sumatra, Java and Celebes, where I never heard any tolerable voices sing agreeable melodies. It was different in Flores. Many a sonorous male voice, rendering simple songs at the river bank, still sounds in my ears; melodies which might well please the European ear, too. And where is the Florinese who could paddle without singing his pantuns, complete with soli and refrain sung in chorus? Among these soloists there were some voices that might, with better training, have been turned out as good tenor, soprano and bass voices. But this hardly seems to me to apply to the treble voices of the genuine Malay people, including the Buginese and Macassarians. It would seem that we have here to do with a morphological distinction in the vocal means of expression, which may well amount to a support of my view concerning the kinship of the Florinese with tribes living further east”

Artinya: “Tentang musik instrumen saya tidak banyak menemukan, tetapi adalah kenyataan bahwa penduduk Flores memiliki bakat musikal yang lebih dibandingkan suku-suku bangsa Indonesia lainnya yang saya jumpai di Sumatra, Jawa dan Sulawesi. Saya tidak pernah mendengar suara nyanyian yang kompak dan serasi dengan melodinya. Ini berbeda yang ada di Flores. Banyak terdengar suara pria yang dalam, gema nyanyian di sepanjang sungai, tetap terngiang-ngiang di telingaku, melodinya menyenangkan telinga Eropa juga. Dan di manakah orang Flores yang berjalan tanpa menyanyikan pantunnya, lengkap dengan solo dan refrainnya dalam koor? Di antara penyanyi-penyanyi solo ini, terdapat beberapa suara yang, dengan latihan yang lebih baik, akan menjadi penyanyi tenor, sopran dan bass yang baik. Tetapi hal ini jelas hampir tidak terlihat pada suara penduduk Melayu asli, termasuk Bugis dan Makasar. Barangkali inilah pembedaan morfologis dalam ekspresi vokal, yang mendukung gagasanku tentang kekeluargaan di Flores dengan suku-suku yang hidup di timur jauh."

Kalimat-kalimat  Weber inilah yang  kemudian dikutip oleh Jaap Kunst yang juga lama meneliti musik di Nusantara, termasuk di Flores seperti tertera dalam bukunya yang bertajuk  Music In Flores (1942). Tidak ketinggalan Tasuku Sato,Kepala Pasukan Jeopang di Flores,  dalam bukunya Aku Terkenang Flores, terjemahan dari I Remember Flores (1957).

Sato juga memberi kesaksian yang menarik:  Orang-orang Flores mempunyai bakat alam  dalam bidang musik. Mereka dapat mempelajari lagu dengan cepat dan baik sekali. Mereka juga menirukan lagu-lagu Jepang dengan cepat.  Orang-orang Flores juga mudah menangkap lagu-lagu yang mereka dengar dari radio lalu memainkannya . Mereka mempunyai orkes asli yang terdiri atas bermacam-macam drum. Lagunya hidupdan sedap didengar. Di bawah pengawasan komisi kebudyaan , anak-anak diajarka melagukan dan memainkan nanyian-nyanyian Jepang.”

Kesaksian Max Weber dan Tasuku Sato tentu saja benar. Tapi, sekali lagi, ini  untuk kenyataan yang dulu. Sekarang orang Flores lebih suka menari. Lagu dan yanyian pun lebih banyak dibuat atau ‘terpaksa' dibuat hanya untuk melayani mereka menari.

Semoga dengan festival ini, orang-orang Flores bisa diajak untuk  mengenal kembali  kemampuan genetiknya. Pemda dan lembaga-lembaga terkait, mestinya  tidak hanya berhenti dengan festival ini, tapi lebih lanjut mendukung dan menghidupkan sanggar-sanggar musik di kampung, termasuk band-band kampung. 

Juga, kalau benar orang Flores memiliki bakat di bidang musik, maka segera dirikan sekolah-sekolah musik yang berkualitas di Flores. 

Sekadar membandingkan, pasti bukan perbandingan “apel dengan apel’, orang Meksiko yang menyadari bahwa musik adalah  bakat dan anugerah leluhurnya, lalu menjadi way of life, oleh seorang pastor bernama Agustin Caballero pada Juli 1886, sudah mendirikan Conservatory, sebuah sekolah musik.

Caballero sangat sadar  bahwa manusia tidak cukup hanya mengandalkan bakat alam, orang-orangnya  harus diasa melalui latihan dengan disiplin yang ketat  di sekolah-sekolah.  

Kalau kita saja saat ini  bisa mendirikan begitu banyak sekolah agama, sekolah ekonomi, hukum di Flores, mengapa kita tidak segera membangun sebuah sekolah musik yang berkualitas? Kalau tidak dikembangkan dari sekarang, maka setiap kali kita akan mengutip Weber dan Kunst serta mengenang  bersama Sato tentang kehebatan nenek moyang kita.  (Mar/Redaksi) 

Editor: Redaksi

RELATED NEWS