Pesona Wisata di Tanah Sumba: Nuansa 'Marapu' di Kampung Adat Ratenggaro

redaksi - Rabu, 17 November 2021 12:53
Pesona Wisata di Tanah Sumba: Nuansa 'Marapu' di Kampung Adat RatenggaroKampung adat Ratenggaro, Sumba barat Daya. (sumber: Istimewa)

TAMBOLAKA (Floresku.com) - Kampung Adat Ratenggaro adalah  salah satu destinasi wisata budaya terletak Desa Umbu Ngedo, Kecamatan Kodi Bangedo, Kabupaten Sumba Barat Daya.  

Nama ‘Ratenggaro’ sendiri berasal dari dua kata yaitu ‘rate’ yang berarti kuburan serta ‘garo’ yang merupakan nama suku dari desa tersebut. 

Sejarahnya, dahulu terjadi peperangan antar suku yang menyebabkan Suku Garo terbunuh oleh suku lain dan akhirnya dikubur pada lokasi tersebut. Kisah inilah yang menyebabkan kampung tersebut dinamai  Ratenggaro.

Terlepas dari sejarahnya yang cukup menyeramkan,  nyatanya Kampung Adat Ratenggaro menyimpan beraneka macam keindahan alam dan keragaman budayanya. 

Kampung adat ini berada di ujung selatan Pulau Sumba menyuguhkan pesisir pantai yang indah. Pantai tersembunyi adalah bonus yang sempurna yang bisa ditemukan di desa kecil di tanah Sumba ini. 

Pada Desember 1989, oleh Pater Alo Logos SVD (kini almarhum), pastor kapelan di Paroki Homabakaripit,  permah mengajak penulis jalan-jalan ke pantai ini. 

Air di pantai ini tampak jernih dan ombaknya cukup besar dengan gulungan panjang. 

‘Para turis Australia sering melabuhkan kapal di tengah laut di sana. Lalu mereka berselancar di pantai ini. Setelah puas berselancar mereka kebali ke kapal,” katanya sembari menunjuk ke tengah laut.

Rumah dengan atap menjulang tinggi

Tak jauh dari bibir pantai terdapat rumah-rumah tradisional, Kampung Adat Ratenggaro yang luar biasa indahnya.

Desain arsitektur rumah tradisional di Ratenggaro terbilang unik, terutama karena atapnya yang tinggi menjulang hingga 25 meter. Makanya, rumah tradisional tersebut sudah bisa terlihat dengan jelas bahkan dari jarak yang cukup jauh. 

Desain atap yang tinggi terkait dengan kepercayaan utama masyarakat Kampung Adat Ratenggaro yaitu Marapu.

Marapu adalah kepercayaan pemujaan terhadap para leluhur yang masih sangat dipegang teguh. 

Kampung Ratenggaro, foto Paskalis Sumber:www.patahtumbuh.com)

Rumah penduduk didesain dengan konsep rumah panggung dan memiliki menara atap yang menjulang tinggi paling tidak untuk dua maksud utama. Pertama, untuk menghormati arwah para leluhur sehingga fungsi rumah atau sebagai sarana pemujaan. Kedua, sebagai penunjuk status sosial, karena rumah beratap menjulang tersebut digunakan sebagai rumah tinggal.

Rumah Adat di Kampung Ratenggaro memiliki bentuk rumah panggung yang terdiri dari empat tingkat. Tingkat paling bawah digunakan sebagai tempat bagi hewan peliharaan. 

Lalu tingkat kedua adalah tempat pemilik rumahnya tinggal bersama dan setelah itu di atasnya adalah tempat untuk menyimpan hasil panen. Kemudian di atas tempat memasak terdapat sebuah kotak yang merupakan tempat menyimpan benda keramat dan tingkat teratas adalah tempat untuk meletakkan tanduk kerbau sebagai simbol tanda kemuliaan.

Pola pemukiman

Ada empat buah rumah khusus yang sangat disakralkan penduduk setempat, yaitu Uma Katode Kataku, Uma Kalama (sebagai simbol dari ibu), Uma Katode Kuri, dan Uma Katode Amahu (sebagai simbol dari saudara ayah dan ibu). 

Posisi rumah-rumah ini mewakili empat penjuru mata angin dan letaknya saling berhadapan.

Uma Katode berada di bagian paling selatan dan menghadap ke utara. Rumah itu berhadapan dengan Uma Kalama, yang menghadap ke selatan. Uma Katode Kuri berada di timur menghadap ke barat, berhadapan dengan Uma Katode Amahu yang menghadap ke timur.

Pendiri kampung tinggal di Uma Katode Kataku yang berada paling selatan menghadap ke utara untuk mengingatkan bahwa leluhur mereka berasal dari utara. Pada tiang-tiang utama empat buah rumah khusus tersebut di tiang utamanya terdapat cincin atau gelang. 

Posisi dan jumlah rumah-rumah yang terdapat di Desa adat Rateranggo tidak pernah berubah dari dahulu dan semuanya terbuat dari bahan-bahan alami yang terdapat di sekitar mereka.

Awal bulan Juni tahun 2011 terjadi kebakaran besar di Kampung adat Ratenggaro, 13 rumah adat amblas dilalap api.  Namun, atas inisiatif Pater Robert Ramone, CSsR dan didukung bantuan dana dari Yayasan Tirto Utomo, pada bulan Agustus 2011, rumah adat mulai dibangun kembali dengan didahului ritual adat Marapu.

Kuburan batu

Sekitar 500 meter dari kampung, di sepanjang pantai, Anda juga bisa melihat beberapa makam megalitik berukuran besar. Ada yang sebesar rumah kecil, 6x5 m2. 

Kubur batu sendiri bentuknya persegi seperti meja. Total ada 304 kubur batu yang berada di sini.

Kuburan di Ratenggaro, foto Martha Lamanepa (Sumber:www.patahtumbuh.com)

Di antara kubur-kubur tua tersebut terdapat enam titik yang dikeramatkan, yaitu Makam pendiri Ratenggaro yakni gaura dan Isterinya Mamba dan empat buah tugu yakni tugu pertama sebagi segel kampung sebagai penanda teritori kampung, tugu kedua Katode yaitu batu bertuah yang dipercaya mendatangkan kemenagan dalam berperang, tugu ketiga adalah kubur Ambu Lere Loha, yang dipercaya mempunyai kekuatan guntur kilat dan yang terakhir adalah tugu untuk meminta hujan

Konon, kuburan batu itu sudah sangat tua. Ada peneliti budaya yang menduga bahwa beberapa dari kuburan batu  itu berasal dari 4500 tahun yang lalu.

Oleh karena itu tidak heran bila Kampung Adat Ratenggaro sangat diminati oleh wisatawan lokal maupun mancanegara. 

Fasilitas dan amenitas Desa Adat Ratenggaro juga dinilai sudah baik. Terdapat wisata naik kuda serta penyewaan baju adat Sumba. Wisatawan pun dapat berbelanja kain tradisional khas Ratenggaro.

Cara mencapai Desa Adat Ratenggaro

Untuk dapat mencapai Kampung Adat Ratenggaro ini, wisatawan dapat menggunakan jasa travel atau sewa kendaraan. Jaraknya sekitar 56 km dari Tambolaka, ibukota Kabupaten Sumba Barat Daya. Atau sekitar 50 km dari Weetabula dengan waktu tempuk antara 1-1,5 jam. 

Atau Anda bisa naik bus ke Bondokodi, lalui menyewa ojek ke Desa Ratenggaro.  (ET/MA)***

RELATED NEWS