Pesta ‘Sambut Baru’ : Sejarah Pesta dari Masa ke Masa (Bagian 1)
redaksi - Minggu, 02 Juni 2024 12:25HARI ini, Minggu, 02 Juni 2024, ada Pesta ‘Sambut Baru’ di sejumlah paroki di beberapa Keuskupan di Flores. Pesta ini selaras dengan perayaan liturgis gereja Katolik, Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus. Sebuah momen yang sangat istimewa, tentu saja.
Istilah ‘Pesta’ istilah untuk menyebutkan sebuah perayaan. Anda dapat menggunakan kata ‘fiesta’ untuk perayaan apa pun, tetapi kata ini biasanya mengacu pada perayaan besar.
Istilah ini masuk wilayah Nusantara atau Flores khusunya melalui para saudagar dan misionaris berkebangsaan Spanyol dan Portugis yang masuk masuk ke wilayah ini pada abad ke-16.
Dalam bahasa Spanyol, ‘fiesta’ berarti "pesta". Di banyak tempat berbahasa Spanyol, pesta merayakan hari suci atau acara keagamaan lainnya.
Kata itu berasal dari bahasa Proto-Latin ‘fēstos’, lalu menjadi bahasa Latin fēstus, fēsta, atau fēstum artinya, ‘gembira, sukacita, meriah’ atau keceriaan".
‘Pesta’ dalam sejarah
Secara historis, pegelaran ‘pesta’ sudah muncul sejak zaman kuno.
Sejarahwan Wilkinson (2000) mengungkapkan sejak tahun 2500 SM, orang Mesir kuno menempatkan hari libur dalam kalender mereka. Salah satunya hari libut untuk ‘perayaan Obeth’.
Perayaan Opeth di Mesir kuno, atau “pesta Opeth yang indah”, adalah salah satu festival tahunan terpenting di Thebes.
Kata “Opeth” berarti “ruang rahasia” dan mengacu pada ruang pribadi dan rahasia yang bersebelahan dengan kuil atau tempat suci dewa Amon . dan di ruang dalam kuil Amenhotep III.
Perayaan Opeth pada dasarnya adalah perayaan ulang tahun kerajaan dan melalui ritual khusus, yang dirakan selama 27 hari.
Dalam pesta ini ada prosesi para pendeta, pejabat, tentara, anekdot, penari akrobat, penabuh genderang, pemusik, kereta raja dan raja sendiri.
Bangku-bangku berisi makanan, minuman, dan sesaji tersebar di di pinggir jalan mulai dari sungai, titik awal prosesi hingga ke Kuil, titik akhir prosesi.
Pesta juga sudah dikenal oleh orang Yunani kuno. Mereka mengadakan pesta di sekitar tempat suci. Mereka juga berpesta dengan menggelar atraksi dan perlombaan di gedung yang dikenal sebagai Olimpia.
Orang Sparta Kuno mengenal pesta Hyacinthia yaitu perayaan singkat tiga hari pada hari-hari terakhir bulan Mei, atau hari-hari pertama bulan Juni. Pesta ini untuk menghormati Dewa Hyacinth, yang kemudian diganti dengan Dewa Apollo. Perayaan digelar di Amycles, lima kilometer selatan Sparta dekat Eurotia.
Orang Athena Kuno juga mengenal pesta yang didedikasikan untuk Athena. Pesta ini terdiri dari prosesi, pengorbanan, nyanyian pujian, makan kurban, dan perlombaan atletik, berkuda, dan bermain musik. Panathenaia dirayakan pada setiap 28 Juli setiap empat tahun dan berlangsung selama dua belas hari.
Kemudian, pada zaman Kekaisaran Romawi, terutama pada era Kaisar Dionysian dan Bacchian ada tradisi merayakan pesta untuk mengisi hari libur umum.
Bagi orang Romawi, acara perayaan diungkapkan melalui dua istilah yaitu festum (pesta, sukacita), dan feria sebagai hari libur umum yang berarti tidak bekerja untuk menghormati para dewa. (Falassi, 1987: 1-2). Dari istilah ini, kita mengenai istilah ‘frei’ atau hari libur kerja.
Jadi, pada zaman Mesir kuno, Yunani Kuno, dan Roma Kuno, ‘pesta’ lebih banyak untuk tujuan keagamaan. Kemudian pada era Yunani kuno dan di kekasiaran Romawi, ‘pesta’ dikaitkan mulai dengan acara prosesi, kompetisi olahraga atau seni, dan pertunjukan teater.
Buku pesta dari Eropa
Seluk beluk tentang ‘pesta’ kemudian terpartri dalam buku-buku festival yang mulai muncul pada akhir abad kelima belas di Eropa, sekitar tahun 1520-an pada masa pemerintahan kaisar Charles V.
Charles V menerbitkan catatan resmi tentang penobatannya di Aachen pada tahun 1519 sebagai Raja Romawi; perayaan perdamaian di Madrid pada tahun 1526 setelah Perjanjian dengan Francis I; dan perayaan pernikahannya dengan Isabella dari Portugal, masuknya dia ke Bologna pada tahun 1529; dan penobatan ganda di sana pada tahun 1530 sebagai Raja Lombardy dan Kaisar Romawi Suci, serta masuknya dia ke Messina dan Napoli pada tahun 1535.
Selama 200 tahun berikutnya buku-buku festical menjadi elemen penting dari perayaan yang berkaitan dengan kehidupan para pangeran, pemerintahan sipil dan praktik keagamaan. Saat ini, ribuan buku festival dikoelski oleh sejumlah perpustakaan besar di dunia.
Buku-buku festival Eropa modern awal memberi tahu kita banyak hal tentang budaya pesta yang kompleks di istana dan kota modern awal, termasuk konteks sejarah dan pencapaian artistiknya.
Namun apa yang mereka ceritakan kepada kita sering kali tidak sesuai dengan harapan kita.
Alih-alih buku festival menceritakan apa yang sebenarnya terjadi, buku-buku itu justru memberi tahu kita tentang tujuan politik, kesetiaan, dan persaingan serta ketakutan serta kecemasan akan pengadilan, dak keadaan kota tertentu saat mereka mengadakan pesta.
Jadi, buku festival berharap ‘pesta’ dimaknai sebagai sebuah ‘pecintraan’, yaitu keinginan tuan pesta untuk dilihat warga pada masanya dan masa depan. Dengan kata lain, buku itu pun ingin memperlihatkan ‘pesta’ sebagai ‘reputasi’ di mata anak cucu dan ‘gengsi’ di mata masyarakat.
Pesta dalam budaya Asia Tenggara
Pesta juga dikenal dalam budya orang Asia Tenggara sejak jaman purba.
Asia Tenggara adalah tempat perpaduan budaya, agama, dan tradisi. Wilayah ini terkenal dengan festivalnya yang semarak dan penuh warna yang dirayakan sepanjang tahun.
Sebagai misal, ada festival Songkran yang terkenal di Thailand. Pesta ini dirayakan pada bulan April, menandai Tahun Baru Thailand. Air dibuang sebagai simbol penyucian dan penghapusan dosa. Pesta ini meliputi parade jalanan dan pertunjukan tarian tradisional.
Contoh lain adalah pesta Gawai Dayak, Kalimantan. Pesta ini menandai berakhirnya musim panen padi. Pesta untuk menghormat arwah padi dan leluhur ini diisi dengan pertunjukan tarian tradisional, musik, dan suguhan aneka jenis makanan.
Nenek moyang orang Nusa Nipa yang kemudian dikenal sebagai Flores, mengenal pesta adat juga. Pesta adat itu bertahan hingga saat ini seperti Penti di Manggarai, Reba di Ngada, Pa Peo di Nage dan Keo, Jeku Ju di Lio.
Pesta di Flores Zaman Now
Selain menyelenggarakan pesta adat yang diwariskan oleh nenek moyang, orang Flores zaman modern dan zaman now pun menyelanggarakan aneka pesta.
Mulai dari pesta ulang tahun, pesta yang berkaitan dengan kematian, pesta kesuksesan belajar (kelulusan, wisuda) dan berkarir (dapat pekerjaan, naik jabatan) dan pesta-pesta yang berkaitan dengan perayaan sakramental: pesta pembabtisan, pesta komuni pertama, pesta perkawinan dan pesta tahbisan.
Ciri utama pesta orang Flores zaman now adalah pembantaian hewan (makan daging), minum miras, memainkan/mendengarkan musik, dan menari beramai-ramai.
Semua aktivitas ini dilakukan dengan tingakatan paling atau optimal. Artinya, tuan pesta harus memiliki biaya ‘optimal’. Ia harus menyediakan dan memotong hewan (babi, sapi, anjing, kambing/domba, ayam) dalam jumlah optimal sehingga semua peserta pesta bisa makan daging secukupnya, tak ada yang tidak kebagian.
Tuan pesta juga harus menyediakan miras dalam jumlah optimal sehinga semua peserta yang mau meminum miras bisa menenggaknya sebisanya, bahkan sampai mabuk dan tidak tahu diri lagi.
Tuan pesta juga harus menyewa band, atau menyewa operator dan soundsystem terbaik sehingga memainkan musik yang lagi tren dengan volume setinggi mungkin sehingga bisa kedengaran ke seantero kampung/desa atau sebagian wilayah kota. Musik juga harus bisa menggelorakan semangat sebanyak mungkin peserta mau turun untuk menari.
Sekadar informasi, soal musik dan tarian, ada tren perkembangannya sendiri. Era tahun 1970-an, musik yang dimainkan adalah musik pop Barat seperti rock n’ roll dan lagu dansa. Kadangkala diselingi musik lokal, umumnya lagu Lio.
Tarian yang dimainkan selama pesta adalah goyang joget berijingkrak dan berdansa. Dan jika musik lokal yang dimainkan maka peserta pesta akan menarikan tarian Rokatenda.
Kemudian, era 1980-an, genre musik dalam pesta orang Flores beralih ke musik Dangdut. Penulis masih ingat, operator musik Dangdut paling terkenal, kalau tidak keliru, namanya adalah Baba Suling. Orang Maumere kala itu amat gemar bergoyang Dangdut.
Era 1990-an, musik pop Flores mulai bangkit. Yang cukup menonjol adalah lagu pop Ngada dan Ende Lio. Semenjak itu, tarian Ja’i (Ngada) dan tarian Gawi (Ende-Lio) mulai menggusur popularitas Joget, Dansa, Rokatenda dan Goyang Dangdut.
Belakangan bermunculan lagu pop Manggarai, Nagekeo, Maumere dan Flotim. Berbarengan itu, aneka jenis tarian melingkar seperti Teke atau Dero dari Nagekeo, Vera dari Manggarai Timur, dan Dolo-Dolo dari Flores Timur mulai mewabah.
Meski demikian, dalam pantauan Floresku.com, lagu pop Ngada dan tarian Ja’i paling dominan dimainkan dalam banyak acara pesta orang Flores. Makanya, para peserta pesta yang gemar menari mengaku ‘kakinya gatal’ kalau belum turun Ja’i.
“Tanpa lagu dan tarian Ja’i pesta terasa belum lengkap. Setiap kali dengar lagu Ja’i kaki seperti gatal ” Sisco, seorang pemuda Manggarai yang berdomisili di Mbay, Nagekeo.(Bersambung), (Dari berbagai sumber/Tim Floresku.com)***