Pokir ‘Tenda Pesta’: Isyarat Nyata Arah Pembangunan yang Kian Meleset

redaksi - Rabu, 24 September 2025 09:36
Pokir ‘Tenda Pesta’: Isyarat Nyata Arah Pembangunan yang Kian Meleset Ilustrasi: Pokir Tenda Pesta (sumber: Floresku.com)

Oleh: Maxi Ali  Perajaka*

ASPIRASI rakyat dijanjikan jadi program, tapi yang lahir justru proyek instan: dari tenda pesta hingga bantuan seragam. DPRD pun kian dipertanyakan, wakil rakyat atau makelar proyek?

Pokir: Aspirasi atau Jatah Politik?

Istilah Pokok Pikiran atau Pokir mungkin terasa asing bagi sebagian masyarakat. Tetapi di ruang-ruang DPRD, Pokir adalah kata kunci yang nyaris selalu hadir setiap kali anggaran daerah dibicarakan. 

Konsepnya sederhana: aspirasi rakyat dititipkan kepada wakilnya, lalu ditindaklanjuti dalam bentuk program pembangunan. Aturan ini sah, tercantum dalam Pasal 178 Permendagri Nomor 86 Tahun 2017.

Secara ideal, Pokir adalah jembatan antara suara rakyat dan kebijakan daerah. Lewat reses, anggota DPRD mendengar keluhan warga: jalan rusak, sekolah reyot, puskesmas tanpa dokter, air bersih yang tak pernah mengalir.

Semua catatan itu lalu dibawa ke meja anggaran, diterjemahkan ke dalam program yang menyentuh kehidupan masyarakat.

Namun realitas tidak seindah teori. Pokir, yang seharusnya menjadi pintu aspirasi, sering berubah menjadi pintu korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah berulang kali mengingatkan agar DPRD tidak memperlakukan Pokir sebagai “uang jatah.” 

Tetapi di banyak daerah, anggapan bahwa Pokir adalah hak pribadi anggota dewan masih begitu kuat. Akibatnya, Pokir kerap diselewengkan: proyek dibagi-bagi, penerima ditentukan sesuai kedekatan politik, bahkan harga pengadaan di-mark up.

Ketika Pesta sebagai Prioritas

Mari kita lihat contoh nyata di Kabupaten Sikka. Tahun anggaran 2025, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi menerima kucuran dana Specific Grant sebesar Rp 4 miliar. 

Dari jumlah itu, Rp 1,2 miliar justru dipakai hanya untuk membeli tenda pesta. Alasannya sederhana: masyarakat sering mengadakan hajatan dan kedukaan, sehingga kebutuhan tenda dianggap penting. Agar lebih meyakinkan, proyek ini pun dibungkus dengan embel-embel “pelatihan usaha.”

Sekilas, alasan itu terdengar masuk akal. Tapi mari kita jujur: apakah benar tenda pesta lebih mendesak daripada jalan desa yang rusak, sekolah tanpa ruang kelas, atau petani yang kesulitan pupuk? 

Di sini kita bisa melihat bagaimana urgensi pembangunan sering dipelintir. Pembangunan direduksi jadi proyek instan, gampang difoto, mudah dipamerkan, tapi minim dampak jangka panjang.

Padahal, tenda pesta tidak akan mengeluarkan masyarakat dari jerat kemiskinan, tidak menyiapkan anak-anak menghadapi masa depan, dan tidak memperkuat layanan dasar.

Sebaliknya, ia bisa memperkuat budaya konsumtif dan bisa bikin keluarga rela berhutang demi gengsi, anak-anak terabaikan, masa depan tergadai. Pesta yang sejatinya simbol syukur justru bergeser jadi ajang pamer status.

Pesta tentu  saja tidak boleh dilarang, karena ia bagian sah dari budaya. Namun, masalah muncul ketika pesta kehilangan makna. Dan di NTT—tempat tradisi pesta sangat kuat dan cenderung kian bergeser maknanya—alokasi dana pokir untuk tenda pesta hanyalah bentuk lain dari ‘manipulasi aspirasi publik’ dan salah urus prioritas pembangunan.

Pola Nasional: Pokir sebagai Ladang Transaksi

Fenomena serupa bukan hanya di Sikka. Di Jawa Timur, beberapa tahun lalu, KPK membongkar kasus suap terkait Pokir di DPRD Malang. Puluhan anggota dewan ditangkap karena menerima fee dari proyek infrastruktur hasil usulan Pokir.

Di Sumatera Utara, kasus hibah fiktif juga terbongkar: dana Pokir disalurkan ke organisasi bentukan politisi sendiri. Sementara di sejumlah kabupaten di NTT, Pokir diarahkan untuk pengadaan seragam kelompok, bantuan ternak tanpa pendampingan, atau distribusi alat olahraga yang akhirnya mangkrak.

Polanya jelas: Pokir dijadikan kendaraan politik jangka pendek, bukan instrumen pembangunan jangka panjang.

DPRD: Wakil Rakyat atau Makelar Proyek?

Dalam konstitusi, DPRD punya tiga fungsi utama: legislasi, anggaran, dan pengawasan. Namun dalam praktik, fungsi itu kabur. Banyak anggota dewan lebih sibuk mengatur siapa yang mendapat proyek ketimbang mengawasi jalannya pembangunan.

Dengan hadirnya Pokir, citra DPRD makin tergerus. Alih-alih dipandang sebagai pengawas rakyat, DPRD kini lebih sering disebut “makelar proyek.”

Rakyat memilih wakilnya bukan untuk jadi pengusaha tenda pesta atau distributor bantuan instan, tetapi untuk memperjuangkan kebijakan yang adil, transparan, dan berpihak pada kepentingan bersama.

Arah Pembangunan yang Meleset

Pokir tenda pesta dan wujud Pokir bernuansa instan  lainnya menjadi isyarat nyata bahwa arah pembangunan kita yang sedang tersesat. Orientasi seharusnya adalah peningkatan kualitas hidup masyarakat jangka panjang. Tetapi Pokir sering memaksa pemerintah daerah menuruti keinginan pragmatis, instan, bahkan remeh.

Mari kita bayangkan dua pilihan jalan pembangunan yang dihadapkan pada kita.
Di satu sisi, ada Pokir untuk tenda pesta. 

Anggaran miliaran rupiah digelontorkan hanya untuk membeli tenda, yang penggunaannya terbatas pada kelompok tertentu. Manfaatnya terasa sesaat: hari ini dipakai untuk hajatan, besok dilipat dan disimpan. 

Tidak ada nilai tambah jangka panjang, tidak menciptakan peluang kerja baru, dan tidak mengangkat harkat hidup masyarakat.

Di sisi lain, ada Pokir untuk beasiswa atau pelatihan kerja. Dengan jumlah dana yang sama, ratusan anak muda bisa melanjutkan kuliah, ribuan tenaga kerja bisa mendapat keterampilan baru. 

Dampaknya tidak berhenti pada satu acara, tetapi berlanjut ke masa depan. Anak muda yang bersekolah hari ini akan menjadi tenaga terampil esok hari, sementara masyarakat yang dibekali keterampilan akan lebih siap menghadapi dunia kerja dan persaingan global.

Pertanyaannya sederhana: apakah kita ingin pembangunan yang hanya hadir seumur jagung, atau pembangunan yang menanam benih masa depan? 

Apa yang Sebenarnya Mendesak bagi Rakyat?

Jika kita sungguh-sungguh berbicara tentang urgensi pembangunan daerah, maka ada tiga hal pokok yang seharusnya menjadi pusat perhatian.

Pertama, infrastruktur dasar. Jalan, jembatan, air bersih, listrik, hingga akses internet bukanlah kemewahan, melainkan kebutuhan mendesak agar roda ekonomi berputar.

Tanpa jalan yang layak, hasil panen petani tak bisa keluar dari desa. Tanpa internet, anak-anak di pelosok tak mungkin bersaing dengan teman sebayanya di kota besar.

Kedua, pendidikan dan kesehatan. Dua sektor ini adalah kunci untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. Sekolah yang roboh dan puskesmas tanpa tenaga medis hanya akan melanggengkan ketertinggalan. 

Sebaliknya, investasi pada pendidikan berkualitas dan layanan kesehatan yang terjangkau adalah investasi pada manusia—pembangunan yang paling berharga dari semuanya.

Ketiga, ekonomi produktif. Dukungan pada UMKM, pertanian, perikanan, hingga pariwisata adalah cara nyata untuk menciptakan lapangan kerja, memperkuat kemandirian, dan menumbuhkan daya saing daerah.

Inilah prioritas yang seharusnya diperjuangkan lewat Pokir. Bukan untuk membeli tenda pesta, bukan untuk seragam kelompok, apalagi proyek instan yang sekadar memperindah baliho politisi. 

Aspirasi rakyat mestinya diterjemahkan menjadi kebijakan yang membangun masa depan, bukan sekadar memenuhi kepentingan sesaat.

Jalan Keluar: Transparansi dan Ketegasan

Untuk mengembalikan marwah Pokir agar kembali pada tujuan awalnya—sebagai jembatan aspirasi rakyat—ada sejumlah langkah penting yang harus ditempuh.
Pertama, transparansi harus menjadi prinsip utama. 

Setiap usulan Pokir wajib dipublikasikan secara terbuka, lengkap dengan alasan pengusulan, besaran anggaran, serta siapa penerimanya. Dengan begitu, publik dapat menilai apakah usulan itu sungguh lahir dari kebutuhan rakyat atau sekadar proyek titipan politisi.

Kedua, partisipasi publik tidak boleh diabaikan. Masyarakat harus diberi ruang untuk mengkritisi, menilai, bahkan menolak usulan Pokir yang dianggap tidak relevan. Aspirasi rakyat sejati hanya mungkin hidup ketika rakyat sendiri dilibatkan dalam prosesnya.

Ketiga, penguatan eksekutif mutlak diperlukan. Kepala daerah dan perangkat daerah (OPD) tidak boleh menjadi pelayan kepentingan DPRD. Mereka harus berani menolak usulan Pokir yang tidak sejalan dengan rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD), sekalipun tekanan politik begitu kuat.

Keempat, pengawasan ketat dari lembaga independen. BPK, inspektorat, hingga KPK perlu menelusuri realisasi Pokir bukan hanya di atas kertas, tetapi sampai ke lapangan: siapa penerima manfaat sebenarnya, bagaimana kualitas proyeknya, dan sejauh mana dampaknya bagi masyarakat.

Kelima, pendidikan politik bagi para anggota DPRD. Mereka harus disadarkan bahwa Pokir bukanlah dana jatah pribadi, melainkan amanat rakyat yang harus dipertanggungjawabkan. Tanpa pemahaman ini, Pokir hanya akan terus diperlakukan sebagai bancakan politik.
Dengan langkah-langkah inilah, Pokir bisa kembali ke jalurnya: bukan pesta proyek jangka pendek, melainkan sarana memperjuangkan kebutuhan rakyat secara adil, transparan, dan berkelanjutan.

Demokrasi Lokal di Persimpangan

Pokir lahir dari niat baik: agar pembangunan lebih partisipatif. Tetapi niat baik saja tidak cukup. Tanpa transparansi, Pokir berubah jadi ladang korupsi. Tanpa visi jangka panjang, ia berubah jadi proyek populis.

Kasus Pokir tenda pesta di Sikka, suap di Malang, dan hibah fiktif di Sumut adalah cermin betapa kita masih gagal menempatkan aspirasi rakyat di jalur yang benar.

Jika DPRD ingin kembali dipercaya, mereka harus kembali ke mandat sejati: legislasi bermutu, anggaran berpihak pada rakyat, dan pengawasan kritis. 

Jika tidak, DPRD hanya akan dikenang sebagai biang pemborosan, sementara rakyat terus menunggu pembangunan yang tak kunjung tiba. ***

*Penulis adalah pemimpin redaksi Floresku.com. ***
 

RELATED NEWS