PUISI Justin L. Wejak: Suara Makam
redaksi - Sabtu, 28 Agustus 2021 12:09Suara Makam
Ada suara sayup terdengar dari dalam sebuah liang makam eksekutif. Aku sudah selesai. Akan tiba pula saatmu. Kalian rajin berziarah ke makamku, menyalahkan lilin di atasnya. Mulutmu komat kamit, entahlah apa lagi yang kalian minta dariku. Belum cukupkah yang kuberikan kepada kalian saat aku masih hidup?
Kalian suka memekikkan kata fenomenal dalam lagu dan puisi mengenangku. Padahal kalian sendiri tahu apa yang kuperbuat dan capainku. Banyak proyek gagal. Tapi aku tak gagal dua hal: membangun istana kerajaanku dengan segala kemewahannya. Aku tak pula gagal merekrut pasukan penjilat yang siap menjadi pesuruh handal.
Kesetiaan kalian memujaku teruji usai kepergianku. Kalian setia berziarah ke makamku. Mungkin sekadar melepas rasa rindu. Aku gagal, tapi menurutmu aku fenomenal. Aku tahu maksudmu. Aku paham motif dan agendamu. Ingin kuberontak menyobek kepura-puraanmu memujiku.
Hai kalian pemuja dan penyembahku! Tugas kalian memang belum selesai. Butuh kerja lebih keras lagi tanpa kenal malu dan kemaluan sendiri. Jagalah semua harta bendaku: harta bergerak dan tidak bergerak. Pastikan bahwa warga sesuku bangsaku melanjutkan jejak langkah kekuasaanku di nagari nenek moyangmu.
Kalian kaki tanganku.
Kalian adalah pewarta
bahwa aku sosok fenomenal. Kalian menyembahku hingga makamku.Tapi aku tahu kenapa kalian melakukan itu: bukan demi aku, tapi demi diri kalian sendiri.
Ingat! Saatmu akan tiba, seperti diriku. Dan mungkin saat itu tiada orang melantunkan kata fenomenal untuk diri kalian, seperti diriku. Karena cuma aku, si asing, yang menyimpan remah-remah roti, yang kalian sembah dan sujud.
Suara dari dalam liang makam eksekutif itu masih sayup terdengar. Aku sudah selesai. Akan tiba saatnya kalian diselesaikan. Lambat laun kalian senasib dengan diriku: dicemooh, ditertawakan. Karena seperti diriku, kalian lupa merasakan nestapa rakyat.
(J.L. Wejak, Melbourne: Saturday, 28 August 2021)