Re-imagine 'Bikon Blewut', Museum di Ledalero

redaksi - Jumat, 17 September 2021 21:19
 Re-imagine 'Bikon Blewut', Museum di LedaleroRe-Imagine Bikon Blewut (RIBB) (sumber: Museum Blikon Blewut)

LEDALERO (Floresku.com) - Komunitas KAHE bekerja sama dengan Museum Bikon Blewut dan Senat Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat (STFK) Ledalero menyelenggarakan pameran seni rupa bertajuk Re-Imagine Bikon Blewut (R-IBB). 

Kegiatan ini dirancang sebagai bagian dari rangkaian Docking Program Biennale Jogja XVI Equator 6, sebuah pameran seni rupa yang telah dikenal luas baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Re-Imagine Bikon Blewut (R-IBB) menampilkan koleksi dan arsip Museum Bikon Blewut yang didialogkan dengan arsip sejarah Gereja di Flores. 

R-IBB membawa visi refleksi dan diseminasi pengetahuan tentang Museum Bikon Blewut beserta segala produksi pengetahuan yang berlangsung di dalamnya. Pada saat yang sama, R-IBB dimaksudkan untuk membuka cakrawala pembacaan dan pemaknaan atas sejarah kolonialisme dan modernisme di Flores. 

R-IBB dimulai dengan sejumlah riset intensif yang dilakukan oleh tim riset Komunitas Kahe. Riset ini dimaksudkan untuk mengetahui dan memahami persilangan kebudayaan Flores dan modernisme yang turut hadir bersamaan dengan kolonialisme dan evangelisasi yang dipelopori oleh para misionaris Gereja Katolik. 

Dalam pelaksanaannya, R-IBB menyelenggarakan tur dan literasi, seminar, pemutaran dan diskusi film, bincang proses kreatif, dan beragam pertunjukan seni. Rangkaian kegiatan ini berlangsung selama seminggu yang dibuka dengan seminar bertema ‘Gereja, Kolonialisme, dan Modernisme’ pada Sabtu (18/9/2021), dan diakhiri atau ditutup dengan acara pentas seni pada Jumat (24/9/2021). 

Pameran seni rupa R-IBB ini akan terpusat di Musem Bikon Blewut yang terletak di kampus Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero. Museum Bikon Blewut merupakan milik Societas Verbi Divini (SVD), sebuah kongregasi religius-misioner yang hadir setelah kedatangan Ordo Dominikan serta Serikat Jesuit dan dalam banyak aspek menjadi peletak dasar pendidikan, pembangunan, dan kemajuan kebudayaan di Flores dan sekitarnya. 

Salah satu koleksi Museum Blikon Blewut, Ledalero (Foto: istimewa)

Menurut Ketua Komunitas KAHE, Eka Putra Nggalu, membayangkan kembali (re-imagine) Bikon Blewut sekurang-kurangnya membawa tiga tahapan penting. Pertama, mengusahakan diseminasi pengetahuan seputar Museum Bikon Blewut dan rangkaian konteks (agama, budaya, dan tradisi) yang turut hadir di dalam dan di balik berdirinya museum tersebut dalam dialektikanya dengan isu-isu sekarang ini. 

Kedua, membaca kembali Museum Bikon Blewut sebagai situs wisata budaya. Untuk menunjang tujuan ini, dilakukan penataan manajemen pameran, strategi publikasi, dan dokumentasi agar lebih relevan dengan dinamika dan perkembangan aktual dalam dunia seni rupa. 

Ketiga, dalam kerangka estetika yang kontekstual dengan seni rupa, R-IBB menjadi semacam ‘dekonstruksi’ konsep galeri yang mapan tetapi sekaligus semu dan stagnan. Untuk mewujudkan proses ketiga ini, Komunitas Kahe menggalang partisipasi dan kontribusi dari sejumlah seniman rupa di sekitar Maumere. 

Kehadiran mereka tidak hanya berhenti pada pentas seni, tetapi untuk merespons ruang, narasi sejarah, dan koleksi-koleksi yang terdapat di dalam Museum Bikon Blewut. Dalam risetnya, Komunitas KAHE menemukan dua sisi tilik yang menandai berdirinya Museum Bikon Blewut. 

Di satu sisi, Bikon Blewut mulai exist sejak proses penemuan, penggalian, dan pengumpulan koleksi yang dilakukan oleh Dr. Th. Verhoeven pada tahun 1965 di Todabelu, Mataloko, Flores. Namun, kedua sisi tilik tersebut tidak dimaksudkan untuk menempatkan Bikon Blewut dalam dua proses historis yang terpisah. 

Justru, keduanya saling terkait dan mengandaikan satu terhadap yang lain. Museum Bikon Blewut lahir dari kerja-kerja geologi, antropologi, dan etnologi yang dikembangkan dalam beberapa periode ekspedisi. Periode pertama dimotori oleh para misionaris asing yang turut memberi warna pada perkembangan teori-teori kebudayaan, mulai dari Dr. Th. Verhoeven, SVD; Paul Arndt, SVD; W. Koppers, SVD; M. Guisinde, SVD; W. van Bekum, SVD; dan P. Mommersteeg, SVD. 

Beberapa dari antara mereka adalah murid-murid awal Wilhem Schmidt (1868-1954), seorang pencetus teori difusi kebudayaan dengan salah satu publikasi terkenal berjudul Der Usprung Der Gottesdee. Tahapan pertama ini berlangsung pada 1965 di Todabelu, Mataloko, Flores. Pada periode berikutnya mulai terlibat beberapa misionaris lokal, di antaranya Darius Nggawa, SVD; Piet Petu, SVD; Frans Nurak, SVD; dan Rokus Due Awe SVD. Pada perkembangannya, Piet Petu, SVD kemudian menjadi salah satu tokoh penting dalam pendirian Museum Bikon Blewut. 

Sebagai sebuah museum yang mendekati standar museum modern, Bikon Blewut baru mulai beroperasi dan dikenal sebagai museum berkat direksi dan kurasi Piet Petu, SVD, sejak tahun 1983 di Ledalero, Maumere, Flores. Bikon Blewut mengoleksi artefak-artefak yang merepresentasikan kehidupan dan kebudayaan Flores dalam dialektika sejarah. Pengetahuan yang tercermin dan beririsan dengan koleksi-koleksi museum Bikon Blewut perlu terus menerus diberikan konteks agar berdaya sebagai sumber informasi yang hidup. 

Namun, perlu juga ditekankan bahwa museum Bikon Blewut sendiri adalah sebuah artefak. Sejarah kehadirannya beririsan langsung dengan sejarah misi dan modernisasi yang domotori oleh Gereja, bias-biasnya, tegangan-tegangan di sekitar kolonialisme dan evangelisasi, pemberadaban dan alienasi budaya, pemberdayaan dan kapitalisasi pengetahuan yang berlangsung di sekitar itu. 

Dengan R-IBB ini, Komunitas KAHE berusaha menghadirkan wacana seni budaya ke ruang publik agar dengan cara demikian publik menjadi semakin akrab dengan identitas kebudayaannya yang secara historis merupakan hasil persilangan dari berbagai konteks. R-IBB juga diharapkan mampu menstimulasi metode pengelolaan Museum Bikon Blewut agar semakin relevan dengan masyarakat. (SP/MAR)

Editor: Redaksi

RELATED NEWS