REFLEKSI: Kawin Vanila, Detukeli & Pastoral Turun Gunung

redaksi - Minggu, 29 Agustus 2021 12:42
REFLEKSI: Kawin Vanila, Detukeli & Pastoral Turun GunungPater Charles sedang mengawinkan vanili, di Detukeli, Flores (sumber: Dokpri)

Pater Charles Beraf SVD

SUDAH seminggu ini, pagi-pagi, seteleh meneguk susu coklat segelas di Mbei Kajuoto Detukeli, saya mengawinkan vanila (vanili), yang pada musimnya seperti sekarang ini, hampir setiap hari berbunga. Konsistensi, kesabaran, dan kehatihatian amat dibutuhkan dalam urusan kawin Vanila: selalu tepat pada waktunya, pelan-pelan, dan masukkan putik secara tepat, lalu sedikit buka ruang untuk dihangatkan matahari.

Untuk urusan kawin vanila, saya baru mengalaminya pertama kali di sini, di Detukeli. Lahir dan bertumbuh di dunia para nelayan tentu bukan hal mudah ketika saya harus masuk kebun, berbaur dengan para petani dan belajar dari mereka. Tidak dengan maksud menjadi seorang profesional dalam hal bertani vanila, tetapi sekurang-kurangnya saya bisa mengerti dunia para petani vanila. Dan untuk menumbuhkan pengertian ini, saya perlu belajar dan belajar: belajar untuk keluar dari kenyamanan dunia lama saya, dan belajar untuk mengawinkan dunia saya sebelumnya dengan dunia baru, dunia para petani.

Memaksakan diri untuk mengembik di kandang kuda itu sama dengan memaksakan ikan untuk panjat pohon atau memaksakan kera untuk berenang di lautan. Percuma! Kalau ini yang terjadi maka yang bakal dituai adalah kegagalan. 

Saya malah sedang mencari tahu mengapa di NTT, di Flores khususnya, masyarakat masih tetap miskin, padahal geliat dunia usaha sudah berlangsung sangat lama. Misi dan Zending (sebelum pemerintah gencar dengan urusan pemberdayaan) sudah lama menunjukkan taringnya di bumi Flobamora dalam perbengkelan, koperasi, perkebunan, pendidikan kejuruan, dll, tetapi mengapa masyarakat masih juga terbilang miskin. Atau justru sebaliknya gereja turut mempermiskin masyarakat di sini misalnya dengan usaha yang tanpa berakar pada konteks hidup masyarakat di sini, atau dengan kebanyakan kotbah saleh tanpa diimbangi dengan cara hidup yang tepat dan benar?

Kalau evangelisasi, kata dokumen Evangelii Nuntiadi, harus diimbangi dengan hal dievangelisasi, atau dengan bahasa yang lebih sederhana, menginjili harus diimbangi dengan diinjili, maka urusan pastoral gereja harus juga diimbangi dengan perkara belajar dari konteks, belajar dari budaya, ya belajar juga dari para petani dan nelayan di NTT. 

Ini yang pernah dibuat Yesus juga di Danau Galilea: untuk menarik banyak orang masuk dalam kerajaanNya di sini dan sekarang, Yesus harus masuk melalui konteks hidup para nelayan. Apa yang dibuat Yesus bukan hanya teologi keselamatan dengan konteks tertentu, tetapi malah dengan sosiologi keselamatan. Kalau jala para murid itu koyak karena banyaknya ikan, maka sebenarnya yang juga dibuat Yesus adalah ekonomi keselamatan.

Bagaimana sosiologi keselamatan atau ekonomi keselamatan itu mungkin dalam misi besar Yesus? Ya, masuk ke dalam konteks! Yesus sudah buat itu.

Kalau kita mengendus jejak gereja di NTT dalam urusan ekonomi, maka kita menemukan bahwa telah banyak dunia usaha dirintis gereja. Namun barangkali yang terlalu dikedepankan adalah "maunya" hirarki gereja, "maunya" tokoh gereja, tapi tak cukup diimbangi atau dikedepankan adalah geliat hidup orang orang NTT sendiri yang bersinggungan dengan banyak hal: kebudayaan, mentalitas, cara pandang, dll. Akibatnya kemudian: pengkultusan tokoh, pengkultusan masa lalu yang jaya tapi sudah menguap pergi, sementara masyarakat tetap berkutat dalam kubangan kemiskinan.

Mengentas kemiskinan memang bukan perkara mudah untuk gereja. Tetapi kalau gereja tetap berada dalam cangkang sempit keyakinannya sendiri, tetap meninabobokan orang dengan kotbah saleh tanpa dibarengi dengan cara hidup yang benar, tetap berupaya tanpa dibasiskan pada konteks hidup masyarakat, maka kita akan tetap berputar dalam lingkaran kemiskinan yang sama.

Mungkin yang dibutuhkan sekarang oleh gereja (mungkin juga pemerintah) adalah social cultural engineering demi misi yang berkonteks, demi program yang berkonteks. Mungkin yang dibutuhkan sekarang bukan sekadar ekspansi pastoral, tetapi keberanian turun gunung dan belajar dari bawah. Bukan hanya sekadar going in dan coming back, tetapi going in between.

Kalau denikian urusan pastoral sebenarnya bisa juga dimulai dari perkara belajar kawin vanila.

Salam dari Mbe'i Kajuoto Detukeli.

Editor: Redaksi

RELATED NEWS