REFLEKSI: Ketika Listrik Temuan Michael Faraday Menyala Perdana di Desa Tenda-Ondo, Watumite, dan Romarea
redaksi - Kamis, 22 Desember 2022 09:48Oleh: Bayu Tonggo*
Sewaktu belajar sejarah di bangku pendidikan Sekolah Dasar atau pun Sekolah Menengah, kita pasti tidak akan luput dari tilikan akan pertanyaan: "siapa sih yang pertama menemukan listrik?"
Sederet nama seperti Thales cendekiawan asal Yunani (600 SM), ilmuwan asal Inggris Willian Gilbert (1733), Charles du Fay dari Prancis (1739), Benjamin Franklin ilmuwan dari Amerika (1752), Alessandro Volta ilmuwan dari Itali (1800), Michael Faraday (1831), dan ilmuwan asal Amerika Thomas Alfa Edison dan ilmuwan Inggris Joseph Swan yang sama-sama menemukan bola lampu pijar sekitar tahun 1878; mungkin akan menyembul dalam usaha pencarian jawaban atas pertanyaan tersebut.
Namun, terlepas dari ragam kontroversi: siapa tokoh yang sebetulnya pertama kali menemukan listrik(?), dalam ulasan ini, penulis mengambil tokoh Michael Faraday yang dijuluki sebagai "Bapak Listrik Dunia", untuk mencatat satu dua pesan kecil dari peristiwa yang sebagaimana terpampang pada background (baliho) di tenda acara, bertajuk "Penyalaan Perdana Jaringan Listrik Desa - Desa Watumite, Romarea, dan Tenda-Ondo".
Peristiwa itu berlangsung pada Selasa. 20 Desember 2022 dan bertempat di Lapangan Voli, Desa Tenda-Ondo, Dusun Koporombo. Peristiwa yang sebetulnya telah menjadi dambaan lama dari masyarakat di tiga desa tersebut.
Jikalau merunut, perihal hak untuk memiliki (to have) sebuah karya luar biasa yang ditemukan oleh tokoh-tokoh hebat dunia semisal listrik dan dalam kaitannya dengan keberadaan dunia saat ini yang niscaya sangat membutuhkan listrik, rasanya sudah sepantasnya masyarakat di tiga desa yang berada di Kecamatan Nangapanda itu, memperoleh dan merayakan peristiwa tersebut.
Namun, sebelum kita melangkah lebih jauh untuk menilik serpih-serpih pesan dari peristiwa nyala perdana jaringan listrik desa tersebut, pertama-tama kita perlu mengenal lebih dekat Michael Faraday, si "Bapak Listrik Dunia".
Si Bapak Listrik Dunia, Konsep Elektromagnetik, dan Nilai Kebermanfaatan
Michael Faraday lahir di Newington, 22 September 1791 (sekarang: bagian London Borough of Southwark) dan meninggal di Hampton Court pada 25 Agustus 1867. Salah satu temuan Faraday yang sangat terkemuka ialah terkait fenomena elektromagnetik.
Dalam pengamatannya terhadap lilitan tembaga yang terhubung pada baterai yang kemudian menimbulkan medan magnet, ia ber-hipotesis, bahwa "jika listrik bisa menghasilkan magnet, maka magnet juga bisa menghasilkan listrik".
Faraday menggunakan lilitan tembaga tersebut untuk menyelubungi magnet. Alhasil ada sebuah aliran listrik yang terjadi selama magnet bergerak. Dari pengamatannya ini, Faraday menyimpulkan: "jika magnet bergerak dalam lilitan tembaga yang tertutup, maka akan menghasilkan arus listrik".
Melalui eksperimen ini, Faraday menemukan adanya induksi elektromagnetik. Induksi elektromagnetik ini kemudian menjadi cikal bakal lahirnya dinamo, di mana energi listrik bisa dihasilkan oleh energi kinetik/gerak.
Pada tahun 1931, dirinya mendemonstrasikan dinamo hasil dari induksi elektromagnetiknya tersebut. Berkat penemuan yang cemerlang inilah, dirinya dijuluki sebagai "Bapak Listrik Dunia" dan membuat listrik bisa dimanfaatkan secara langsung untuk kepentingan produksi, komunikasi, transportasi, dan sebagainya.
Dari sejumlah tokoh penemu listrik, Faraday boleh disebut sebagai tokoh yang membuat percikan pemikiran tokoh-tokoh penemu listrik sebelumnya, seperti pemikiran Benjamin Franklin soal fenomena kelistrikan, menjadi percikan yang lebih besar, yaitu "listrik untuk kebermanfaatan".
Dari Faraday, kita bisa belajar bahwa sebuah kerja-karya fantastis yang ditemukan berkat semangat ke-ingin-tahu-an, mesti selalu diarahkan kepada suatu nilai kebermanfaatan. Nilai kebermanfaatan yang dipahami di sini, tentu bukan melingkup dalam semangat pragmatisme – ketika aspek prosedural (daya guna) lebih diutamakan dan mengabaikan unsur substansi (hakikat).
Orang yang mengamalkan sifat pragmatis biasanya menginginkan segala sesuatu dikerjakan atau diharapkan segera (cepat-cepat) terwujud, tanpa mau berpikir panjang dan tanpa mau melalui proses yang panjang.
Pragmatisme memang penting untuk mereduksi keruwetan atau pun situasi yang simpang-siur. Namun, paham ini sepantasnya dimiliki oleh orang-orang yang telah lebih dahulu mengetahui esensi atau substansi dari apa yang ingin ditanggapinya secara pragmatis.
Belajar Nilai Kebermanfaatan dari Faraday
Faraday (dan para penemu listrik lainnya) telah memberikan sumbangsih luar-biasa bagi segenap masyarakat dunia.
Dalam semangat ke-ingin-tahu-an yang luar biasa untuk menemukan listrik, ia mempertimbangkan aneka macam hal demi memaksimalkan kesejahteraan (Jeremy Bentham: utilitas) bagi segenap masyarakat dunia.
Masyarakat di tiga desa yang merayakan peristiwa nyala perdana jaringan listrik desa, selain secara resmi memiliki listrik temuan Faraday (dan para tokoh lainnya), mesti pula membawa "nilai kebermanfaatan" ala Faraday tersebut. Nilai ini, bagi penulis penting untuk dimiliki. Sekurang-kurangnya ada dua hal yang menjadi pertimbangan penulis.
Pertama, usaha segenap tokoh masyarakat dan pemerintah Desa untuk mewujudkan momen penuh sukacita pada Selasa (20/12) itu, tidak lepas dari ragam tantangan dan persoalan.
Sependek ingatan penulis, salah satu persoalan yang cukup rumit dialami dalam perjuangan para tokoh tersebut, ialah soal polemik pembebasan lahan untuk jalur pemasangan tiang listrik.
Jikalau kita merunut nilai kebermanfaatan ala Faraday, persoalan seperti itu semestinya tidak perlu terjadi - ketika orang mau menciptakan kerja-karya bela rasa yang bermanfaat untuk kepentingan "sesama" dan bersama.
Namun, jikalau yang dipertimbangkan ialah aspek pragmatis, maka tentu persoalan yang rumit pasti akan tercipta, tatkala semangat materialis-lah yang ditampilkan.
Kedua, perayaan nyala perdana jaringan listrik desa oleh warga masyarakat Desa Tenda-Ondo, Watumite, dan Romarea, boleh disebut sebagai momen transformasi dari "gelap" menuju "terang", sebagaimana menukil judul buku kumpulan surat yang ditulis oleh Ibu Kartini: "habis gelap, terbitlah terang".
Warga masyarakat di tiga desa mesti bergerak dari keterbatasan pertumbuhan hidup dalam segala aspeknya – karena ketiadaan listrik – menuju suasana terang – ketika listrik memberikan manfaat secara langsung bagi pengembangan produksi, komunikasi, dan sebagainya. Pemanfaatan listrik oleh masyarakat di tiga desa, harus membawa kebaikan dan kesejahteraan hidup dalam segala aspeknya.
Selain itu, pihak pemerintah sebagai penata kebijakan tata-kelola listrik negara, sekurang-kurangnya boleh belajar pula dari nilai kebermanfaatan ala Faraday. Kebijakan yang ditetapkan mesti selalu mempertimbangkan aspek kebermanfaatan (Jeremy Bentham: utilitas) yang mesti selalu dijauhkan dari kepentingan-kepentingan tertentu (pragmatis).
Seruan warga masyarakat di Desa Tenda-Ondo, Watumite, dan Romarea untuk memiliki jaringan listrik negara, yang dapat kita lihat di beberapa media selama ini, sesungguhnya telah berlangsung sangat lama.
Syukur bahwa pemerintah melalui Unit Layanan Pelanggan (ULP) PLN Ende, akhirnya berhasil memenuhi janji "kado Natal-nya" untuk memberikan jaringan listrik negara pada Selasa (20/12/2022). Kita patut mengapresiasi kerja keras pemerintah melalui ULP PLN Ende ini.
Namun, sebagai sebuah bentuk refleksi hidup berdemokrasi, penulis perlu mengemukakan pertanyaan ini: "apakah rasanya pantas, seruan kebutuhan dari si tuan (rakyat) sebagai pemilik negara, dibiarkan sampai terserak-serak dalam tenggang waktu yang sangat lama?"
Dari momentum nyala perdana jaringan listrik di Desa Tenda-Ondo, Watumite, dan Romarea, kita semua entah sebagai rakyat dan pemerintah boleh merefleksikan kerja-usaha atau pun sistem-manajemen yang telah ditetapkan.
Ikhtiar refleksi ini menjadi bagian dari pengejawantahan ungkapan khas filsuf Sokrates: "hidup yang tidak direfleksikan (diperiksa), tidaklah layak dijalani".
Ketika listrik temuan Michael Faraday resmi dimiliki oleh masyarakat di Desa Tenda-Ondo, Watumite, dan Romarea, kita pada akhirnya punya pegangan nilai, yakni "kebermanfaatan" untuk terhindar dari kedangkalan pengetahuan dan pengelaman hidup, dengan belajar dari apa yang sudah dilalui sebelumnya. ***
*Bayu Tonggo adalah Mahasiswa Prodi Filsafat IFTK Ledalero, Maumere, Tinggal di Ritapiret