Renungan Katolik, Selasa, 23 Maret 2021: "Et Qui Me Misit, mecum Est"

redaksi - Senin, 22 Maret 2021 19:20
Renungan Katolik, Selasa, 23 Maret 2021: "Et Qui Me Misit, mecum Est"P Kons Beo (sumber: 2021/03/1616416121372.jpeg)

Oleh: P. Kons Beo SVD

(Pekan Prapaskash V - St Alfonsus Toribo)

Bacaan I Bilangan 21:4-9
Mazmur 102:2-3.16-18.19-20.
Injil Yohanes 8:21-30

Dan IA yang telah mengutus Aku, menyertai Aku (Yoh 8:29)

KETAKUTAN, itulah rasa hati manusiawi yang kerap teralami. Kita takut akan nasib tak pasti di masa datang. Cemas akan kesehatan kita. Kita kuatir akan segala 'kehilangan' yang mesti dialami. Kita galau, kepikiran serta serba baperan atas segala situasi simpang siur. Tanpa ada kejelasan. Tetapi terutama bahwa kita menjadi takut karena merasa sendiri atau disendirikan.

SEKIAN banyak orang kini jadi terkucil. Tanpa apa dan siapa. Mereka adalah manusia-manusia terasing dalam dunia yang justru makin ramai dan modern. Sekian banyak orang jadi manusia bisu dalam kebisingan. Tanpa sapaan. Tanpa percakapan. Tanpa cerita penuh spontan dan polos. Karena setiap orang bisa saja terserap dalam lalu lintas kesibukannya. Apakah manusia kristiani perlu merasa cemas, galau dan takut yang berlarut?

ADA yang diyakini St Katarina dari Siena, "Hanya mereka yang takut sajalah yang mengira bahwa mereka sendirian." Iman kristiani dirayakan dalam komunio. Dalam persekutuan sukacita penuh harapan di dalam Tuhan serta bersama yang lain. Karena itulah, misalnya, Sheila Provencher, seorang rasul awam Dominikan, sedikitpun tak pernah merasa takut walau dalam situasi perang di Irak. Justru keadaan pilu rakyat Irak meneguhkan dan menyakinkan bahwa ia tak pernah sendirian. Mereka hadir baginya seperti iapun hadir bagi mereka (Radcliffe, 2005).

ADA sapaan mulia penuh makna dalam liturgi dan dalam doa bersama. Renungkan dalam batin teduh sapaan itu: TUHAN BERSAMAMU.  Tuhan itu sesungguhnya: Kapan, di mana, dan dalam situasi apa saja senantiasa menyertai kita. Karenanya, tak ada yang perlu ditakutkan dan dicemaskan berlebihan.

BAPA mengutus Yesus, PuteraNya ke dunia itu selalu dalam perelasian yang kokoh. Tak terputuskan. Bapa menyertai AnakNya sebagai jaminan ilahi dalam melaksanakan kehendakNya. Dalam ujian berat yang dihadapi Yesus, saat Ia dicobai iblis di padang gurun, ketika di taman Getsemani, dan terutama di atas tiang salib. Kehadiran dan penyertaan Bapa adalah kekuatan yang tak ternilai. Dalam segala kisah hidup Yesus, pandanganNya ke langit adalah kekuatanNya.

TAK ada yang perlu dicemaskan. Kita tak pernah berjalan sendiri. Tuhan selalu beserta kita. Kata-kata jaminanNya penuh kekuatan, "Sesungguhnya Aku selalu menyertai kamu sampai akhir zaman" (Mat 28:20). Tak perlu terlalu kuatir pula. Ziarah hidup kita dibentengi oleh ungkapan penuh harapan dari sesama. Tak perlu merasa terbantai oleh rasa takut karena toh di dalam doa sesama "Namaku disebut."

SEBAGAIMANA Tuhan senantiasa ada, hadir dan menyapa kita, maka adalah tugas dan panggilan kita untuk hadir dan menyapa dunia dan sesama. Sesama membutuhkan kehadiran kita yang menyapa dan memberikan harapan. Kehadiran yang membawa keteduhan dan membawa pesan damai. Itulah kehadiran yang dirindui. Dan bukannya ketiadaan kita yang dianggap sebagai kenyamanan dan keteduhan hati bagi sesama!

Verbo Dei Amorem Spiranti

Tuhan memberkati.
Amin

RELATED NEWS