Reorientasi Pendidikan

redaksi - Senin, 11 Juli 2022 10:42
Reorientasi PendidikanYergo Gorman (sumber: Dokpri)

Oleh: Yergo Gorman
 
BADAN Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah pengangguran di Indonesia ada sebanyak 8,40 juta orang per Februari 2022. Jumlah itu turun sekitar 350.000 orang dari posisi per Februari 2021 yang mencapai 8,75 juta orang. (Dikutip dari Kontan.co.id).

Data ini memperlihatkan pengangguran meski mengalami penurunan tetap berpotensi menjadi ancaman di dalam pembangunan. Dunia kerja erat kaitannya dengan kualitas lulusan atau produk sekaligus sistem pendidikan yang telah diterima suatu kelompok generasi. 

Terlepas dari problem keberuntungan individu, sistem pendidikan yang baik pada komunitas pendidikan tertentu berbanding lurus terhadap kompetensi dan produktivitas lulusan. 

Pasca sekolah formal, mereka berhenti pada opsi mencari kerja atau membuat lapangan kerja mandiri. Realitas maupun dinamika dunia kerja Indonesia ke depan ditentukan salah satunya melalui sistem dan konsep pendidikan di institusi-institusi pendidikan kita hari ini. Pendidikan yang salah arah bakal menciptakan generasi yang kacau.

Memasuki era 4.0, beberapa sektor dunia kerja dimatikan pola kerjanya oleh kuasa teknologi. Fakta ini memaksa generasi muda baik para pelajar lulusan Sekolah Menengah Atas maupun Universitas perlu berpikir serius. 

Pada tahap ini kompetensi SDM, skill, kreativitas dan kemampuan analisis menjadi mutlak. Apalagi Indonesia diprediksi bakal mengalami Bonus Demografi di tahun 2030 dan seterusnya. Suatu situasi di mana kelompok usia produktif 15-64 tahun akan mendominasi dunia kerja dan sektor penting dalam pembangunan. 

Generasi pelajar di jenjang pendidikan SMA saat ini akan menjadi salah satu kelompok penentu berhasil tidaknya Bonus Demografi ketika itu. Maka lingkungan pendidikan tempat mereka berproses saat ini, SDM pendidik terutama leadership kepala sekolah menjadi aspek vital. 

Tanpa metode pembelajaran yang tepat dan leadership yang kuat, lulusan-lulusan di setiap level pendidikan hanya akan jadi benalu di masa depan. Sudahkah sistem pendidikan kita menjawab kebutuhan dan tantangan pembangunan Indonesia masa depan? 

Potret pola belajar administratif masih jadi kecenderungan akut gerogoti sistem belajar di institusi sekolah secara umum. Hal itu termanifestasi dalam sikap seorang pendidik yang enggan peduli dengan perkembangan peserta didik, mengajar asal-asalan, prinsip asal kasih tugas, tak peduli mutu lembaga, kepemimpinan kepala sekolah yang pasif dan sebagainya.

Pola belajar ini berdampak signifikan pada produk lulusan yang tidak unggul dan produktif serta daya saing yang rendah. 

Program “Sekolah Penggerak” di satuan pendidikan Sekolah Menengah Atas merupakan kebijakan kekinian untuk menjawab keresahan produk pendidikan di masa depan. 

Program Sekolah Penggerak memiliki fokus dan tujuan pada pengembangan hasil belajar siswa secara holistik yakni kompetensi (kemampuan literasi dan numerasi) dan karakter dengan diawali SDM yang unggul yaitu kepala sekolah dan guru. 

Para pendidik ialah jalan keselamatan bagi kompetensi peserta didik. Lebih dari itu, kepemimpinan kepala sekolah ialah kunci keberhasilan bagi implementasi nilai-nilai dan visi sekolah penggerak. Tanpa kepemimpinan yang baik, visi maupun proyeksi sekolah penggerak tak bakal mendarat secara optimal.

Potret Ideal Kepemimpinan Sekolah Penggerak
Hemat penulis, kepemimpinan kepala sekolah di sekolah penggerak mesti memiliki 4 (empat) karakter berikut. Pertama, visioner. Kepala sekolah selaku pemimpin di lingkungan sekolah penggerak mesti memiliki kemampuan dan analisis melihat masa depan. 

Pertanyaan penting yang perlu diajukan adalah generasi macam apa yang mau diciptakan di masa depan? Dengan sikap visioner, lingkungan sekolah penggerak didesain untuk mampu mempersiapkan generasi muda yang unggul di masa depan.

Kedua, out of the box. Perkembangan teknologi yang mempengaruhi pola kerja masyarakat, tuntutan zaman yang terus berubah, dan sektor dunia kerja yang semakin beragam, membuat kepala sekolah penggerak dipaksa untuk adaptif dan merancang konsep pendidikan di lingkungan sekolah dengan sedikit melampaui jebakan administratif.

Membangun kemitraan dengan komunitas-komunitas yang concern pada pendidikan generasi muda untuk terlibat membangun. Jangan sampai zaman terus berubah, lingkungan sekolah tetap tenggelam di dalam rutinitas administratif.

 Ketiga, kemampuan manajerial. Kemampuan manajerial di sini bertalian dengan kemampuan memanajemen sumber daya manusia (SDM) pendidik dan peserta didik di lingkungan sekolah penggerak melalui desain pembinaan dan pelatihan tertentu.

Keempat, lingkungan belajar inovatif. Kemampuan seorang kepala sekolah penggerak untuk mendesain lingkungan belajar yang memacu tumbuhnya kemampuan berpikir kritis, mengasah skill dan kreativitas yang relevan dengan perkembangan di era 4.0 saat ini.

Rutinitas pola belajar yang cenderung administratif di lingkungan sekolah perlahan mesti diubah. Manajemen di lingkungan sekolah ke depan mesti secara serius menjawab tantangan maupun kebutuhan pembangunan masa depan. 

Oleh karena itu menciptakan generasi terkait mesti menjadi diskursus mutlak baik di lingkungan sekolah penggerak sendiri maupun para policy makers di sektor pendidikan. Kepala sekolah selaku pemimpin memainkan peran sentral. ***

*Yergo Gorman adalah Lulusan Studi Kebijakan Publik, Minat Literasi dan Kajian Pembangunan Desa. ***

RELATED NEWS