Riwu Ga, Kisah Pejuang Kemerdekaan RI Yang Terlupakan

Redaksi - Jumat, 05 Maret 2021 08:44
Riwu Ga, Kisah Pejuang Kemerdekaan RI Yang Terlupakan Robinson R Ga (sumber: 2021/03/1614942206657.jpeg)

 JAKARTA (Floresku.com) - Akhir Agustus 2018, sejumlah warga Flobamora (Flores, Sumba, Timor, Alor) diaspora yang berdomisili di Jakarta dan sekitarnya berkumpul di Sekretariat Relawan Flobamora, Jl. Alternatif Cibubur No. 18A, Harjamukti, Cimanggis Depok, Jawa Barat. 

Dipimpin oleh Ketua Umum Relawan Flobamora, Mikael Umbu Zasa, S.E., dan Sekretarisnya Drs. G.F. Didinong Say,  mereka bermusyawarah mengenai persiapan deklarasi Relawan Jo’mari atau Jokowi-Ma’ruf Amin, yang tertunda akibat peristiwa besar, penutupan Asian Games, 2018. 

Menurut Didi Say, deklarasi Relawan Jomari adalah  manifestasi dari aspirasi dalam bentuk kebersamaan masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) yang berdomisili di Jakarta dan sekitarnya. 

Oleh ajakan seorang sahabat lama, Mikhael Kleden, penulis nimbrung dalam acara yang penuh nuansa kekeluargaan itu. Ya, sekalian bertemu dengan sejumlah sahabat lama, dan berkenalan dengan sesama warga Flobamora yang belum dikenal, sembari menikmati suguhan makanan dan minuman khas ala Flobamora, singkong rebus, pisang, ikan bakar dan erwe, B2 dan arak.

Menjelang tengah hari,  datang sekelompok orang muda yang belum pernah penulis kenal sebelumnya. Setelah bersalaman, diketahui, salah satu dari orang mud aitu, adalah cucu dari Riwu Ga. Pemuda 20-an tahun itu tipikal Flobamora – lebih khusus Sabu- asli. Berbadan tinggi, ramping -kalau tak mau dikatakan kurus, berkulit hitam manis, berambut lurus, berwajah lonjong dengan hidung yang mancung, lagi dengan bibir yang murah senyum. Ya,Anda bisa bayangkan sendiri, tipikal pria asal Sabu umumnya.

Yang menarik, tangan pria yang ramah ini, menggenggam sebatang tongkat  dari kayu yang di kepalanya terdapat ukiran wajah monyet. 

“Ini tongkat warisan dari Bung Karno untuk kakek Riwu Ga,” jelas Riwu Ga yunior itu sambari tersenyum bangga.

Diajak membantu di rumah Soekarno

Pada  1934 saat Bung Karno baru saja sampai di tempat pembuangannya di Ende, Flores, NTT. Ada seorang anak remaja yang senang melihat kedatangan orang buangan dari Jawa itu. Anak berumur 14 tahun itu bernama Riwu Ga . Saban hari pada waktu  pagi sekali, ia  berjalan sekitar 3 kilometer untuk mengarah ke rumah kediaman Bung Karno di menjajakan pisang goreng. Selain itu, ia memang sengaja berdagang ke jalan tersebut untuk melihat Bung Karno yang terkenal itu.

Riwu Ga  adalah pria kelahiran Mei 1918 di Raijua, Sabu, wilayah paling selatan Indonesia. Da diajak Gadi Walu, sepupunya ke Ende. Di Ende inilah remaja yang bernama lengkap Robinson Riwu Ga akhirnya berjumpa dan menjadi orang kepercayaan  tokoh yang memproklamirkan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda dan Jepang.

Konon, suatu siang saat Bung Karno sedang mengerjakan potongan kayu untuk ganjel pintu, Riwu Ga datang membawa jajanannya, pisang goreng. Ketika melihat Bung Karno asyik bekerja memperbaiki pintu rumah, Riwu Ga  memberanikan diri bertanya-tanya tentang caranya memperbaiki pintu rumah.

Sukarno adalah seorang Insinyur. Namun ia menjawab pertanyaan anak desa itu dengan bahasa yang mudah dipahami. Rupanya, lewat pertemuan pertama itu, Sukarno merasa senang dengan anak yang suka  ingin tahu itu. 

Pada suatu hari,  Sukarno dan Riwu Ga tampak duduk berdua. Entah apa yang mereka perbincangkan, tak da yang tahu. Rupanya, bahan perbincangan mereka sangat menarik, sehingga mereka berdua bisa duduk berjam-jam lamanya, mulai kira-kira pukul 10.00 hingga  sore hari. Di ujung perbicangan, rupanya Sukarno meminta Riwu Ga membantu di rumahnya. Riwu Ga tampak sumringah, senang. Apalagi, dia tak sendirian. Sea badan beberapa pemuda Flores yang membantu di rumah Sukarno.

Saat minta Riwu Ga  tinggal bersamanya, Bung Karno meminta izin ke Gadi Walu, kakak sepupu Riwu Ga yang di Ende.

Dibandingkan dengan para pembantu lainnya, Riwu Ga punya kebiasaan yang unik. Sebelum Soekarno shalat shubuh selama di Ende, Riwu Ga bangun lebih dulu dan mempersiapkan segelas air putih dicampur kapur. 

“Biar suara Bung Karno lebih menggelegar”, kata Riwu Ga polos.

Ikut main Tonil

Selama kurang lebih empat tahun di Ende, Flores, Soerkarno sering menyelenggarakan pertunjukan seni sandiwara yang kala itu disebut Tonil. Sedikitnya ada 13 naskah tonil yang dibuat Bung Karno di Ende, yakni Dokter Setan, Rendo, Rahasia Kelimutu, Jula Gubi, Kut Kutbi, Anak Haram Jadah, Maha Iblis, Aero Dinamit, Nggera Ende, Amoek, Rahasia Kelimutu II, Sang Hai Rumba, dan 1945

Soekarno melibatkan Riwu Ga ikut main Tonil itu. Bahkan, Riwu Ga dipercayakan membenahi kostum para pemain Tonil sambil belajar lagu Indonesia Raya dengan caranya yang gembira.

Riwu Ga juga sangat senang dan melompat-lompat sambil tertawa ketika Bung Karno melawak dan menceritakan hal-hal yang seru.

Begitu akrab dan sibuk Bung Karno bersama Riwu Ga dan para pemuda Flores di kala itu, sehingga Seokarno beban angat berat yang dipikul dipundaknya hilang, beralih  menjadi suka cita dan riang gembira.

Ikut Bung Karno ke Jawa

Saat hendak kembali ke Jawa, Bung Karno meminta agar Riwu Ga ikut serta. Bung Karno kembali meminta izin kepada  Gadi Walu, kakak sepupu Riwu Ga.

“Boleh, tapi Bung Karno harus berjanji tidak menelantarkan Riwu Ga di tanah rantau,” jawab Gadi Walu.

“Kalau Riwu Ga mati, saya juga akan mati,” demikian janji Bung Karno.

Perihal hal ini Peter A. Rihi mengaku bersama jurnalis Yusak Riwu Ga Rohi melakukan konfirmasi langsung pada nenek Gadi Walu yang sudah dalam usia lanjut, tapi ingatannya masih kuat.

“Bung Karno datang pada saya pakai baju dan celana putih,” kata nenek Gadi, seperti ditirukan Peter.

"Saya minta Bung Karno datang lagi, karena Riwu Ga harus pulang ke Sabu minta dukungan dengan ritual Jingitiu. Ketika Riwu Ga sudah pulang dari Sabu, saya minta Bung Karno datang lagi, baru saya izinkan Riwu Ga mengikuti Bung Karno."

Saat Sukarno dibuang ke Bengkulu Riwu Ga dengan setia mengikutnya.  Bahkan, suatu ketika  Sukarno, Inggit,dan Riwu Ga mengungsi ke kota Padang dan harus berjalan kaki  melalui hutan lebat. Di Padang mereka tinggal  beberapa bulan sebelum akhirnya  kembali ke Jakarta.  

Ketika Bung Karno Akan “Dibuang ke Australia

Pada 1942 Jepang tiba di Indonesia,  dengan alasan kesemalatan, Belanda berencana  mengungsikan Bung Karno t ke Australia. Waktu itu pesawat yang akan mengangkut Bung Karno pun telah disiapkan. Tapi saat di pinggir pesawat Riwu Ga minta ikut. Bung Karno memaksa Belanda agar Riwu Ga ikut ke Australia, tapi Belanda menolak. Bung Karno juga menolak bila Riwu Ga tidak diajak.  Oleh karena ngotot membawa serta Riwu Ga,  Bung Karno tidak jadi diberangkatkan ke Australia.  Tentu saja, sejarah Indonesia akan berubah total andai Riwu Ga tidak memaksa dirinya ikut Bung Karno

Pembawa Berita Kemerdekaan

Saat teks Proklamasi 1945 dibacakan dan Fatmawati isteri baru Sukarno berada di samping Bung Karno ketika akan membacakan Proklamasi, mata Riwu Ga berkaca-kaca. Dalam hatinya ia bergumam, “Mestinya Ibu Inggit yang ada disana.  Mestinya Ibu Inggit yang berdiri di bawah kibaran merah putih, karena Inggitlah yang tau susah dan jerih payah Sukarno.”

Beberapa jam setelah Proklamasi, Sukarno memanggil Riwu Ga dan menyuruhnya untuk mengabarkan ke seantero Jakarta, bahwa Indoensia sudah merdeka. Riwu Ga mencari mobil Jeep dan mengajak seorang bernama Sarwoko untuk menyetir.

Di sepanjang jalan yang mereka lalui, Riwu Ga berteriak  keras, “Kita sudah merdeka, kita sudah merdeka!” Merdeka…Merdeka…Merdeka!!!!!!!” sambil mengepalkan tangan kanannya, dan tangan kirinya  memegang  galah kayu berbendera merah putih.

Orang-orang Jakarta yang menyaksinya heran dan bingung  melihat kelakuan Riwu Ga. Setelah bertanya ke sana ke mari dan mendengar siara radio,  mereka kemudian menyadari bahwa Soekarno dan Hatta telah memerdekaan bangsa Indonesia.

Memang, selain Riwu Ga yang berteriak-teriak di jalanan menyampaikan kabar kemerdekaan, ada pria pemberani lain yang mewartakan berita kemerdekaan RI melalui  medium elektronik berupa radio dan telefraf di tengah pengawasan pasukan Jepang.

Diketahui, Jusuf Ronodipuro menyiarkan berita kemerdekaan RI secara heroik melalui stasiun radio yang dikuasai Jepang. Berita proklamasi tersebut kemudian disiarkan secara berulang-ulang di berbagai daerah dan pelosok Nusantara. 

Berpisah dalam senyap

Tidak banyak informasi soal Riwu Ga  setelah peristiwa Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1935. Namun, rupanya tiga tahun setelah itu Riwu Ga pamit pulang ke kampung halamannya, di Ende. 

Tak da yang meliputi perpisahannya dengan keluarga  Proklamator RI. Satu-satunya, saksi acara perpisahan itu adalah tongkat kayu berukiran kepala monyet yang hingga kini selalu digenggam oleh cucunya.

Apakah Riwu Ga menceritakan secara detil seluruh kisahnya kepada anak-anak dan cucu-cucunya? Entalah! Penulis berharap dapat menjumpai mereka untuk mendengar kisah itu.  Atau, barangkali ada dari kalangan pembaca yang sempat mendengar langsung penuturan mereka, silahkan membagikan kisah itu melalui kanal Heritage di media online ini.  

Ketika kembali dari tanah Jawa,  Riwu Ga tidak disambut meriah. Semuanya berlalu biasa saja. Bahkan, berlalu dalam kesunyian yang sangat senyap.

Lewat   blog SalamdariTimur, penulis bisa masuk ke sebuah artikel bertajuk “Riwu Ga, pemuda NTT yang jasa besarnya untuk Indonesia terlupakan.” Rupanya artikel tersebut mengacu ke www.kluget.com/baltyra.com/iyaa.com, edisi 18 April 2012. Dari artikel tersebut penulis menduga bahwa seorang jurnalis dari www.kluget.com (penulis belum berhasil mengakses portal ini) mengunjungi rumah putra Riwu Ga Ga di di Jl. Advokat No 4 RT 15/RW 6 Kelurahan Naikoten 1, Kecamatan Kota Raja, Kupang.

Dalam blog SalamdariTimur tertulis demikian:

“Ketika ke matahari tepat di atas ubun-ubun, saya berkunjung ke sebuah rumah di bilangan kelurahan Naikoten I, Kota Kupang. Atapnya pendek, sehingga untuk masuk ke dalam, harus sedikit jongkok.

‘Rumah ini dibangun oleh almarhum ayah saya. Dia bangun rumah ini sekembalinya dari Jakarta, tahun 1948,’ ujar Yance Riwu Ga  salah seorang putra Riwu Ga. 

‘Rumah ini sederhana, walau atapnya rendah, namun tidak panas. Apalagi kalau buka pintu belakang, angin banyak yang masuk sehingga rumah ini dingin,’ tuturnya lagi.

Dia mengurai, sebagai satu dari delapan anak Riwu Ga, mereka sering diceritakan oleh ayahnya tentang kisah perjuangannya bersama Bung Karno baik itu di Ende lokasi pengasingan Soekarno maupun di Jakarta.

‘Kami dengar banyak cerita. Mulai dari masa pembuangan, hingga kemerdekaan. Kami sangat bangga pada ayah kami. Malah, ketika hendak dibuang ke Australia, Bung Karno tidak mau jalan kalau Riwu Ga  tidak dibawa. 

‘Tapi kami bangga pada bapa,’ ungkap Yance.”

Nasib Riwu Ga memang tidak seindah orang dekat Bung Karno lainnya. Maklum, sebagai anak kampung, Riwu Ga  tak pernah mengenyam pendidikan tinggi. Andaikata ia bersekolah, Bung Karno sudah  tentu mengarahkan dia untuk melakoni suatu tugas di pemerintahan. 

Nah, karena tak punya ijazah, Riwu Ga  kembali ke Ende dan menjalani kehidupan seperti orang Sabu pada umumnya di Ende yaitu memelihara babi, menjagal dan menjual daging babi serta menjanjakan tua nasu (gula aren kental). 

Dan, rupanya belakangan setelah mendengar kiprahnya sebagai ‘orang dekat'  Presiden pertama RI, pemerintah Kabupaten Ende mengkaryakannya sebagai seorang penjaga malam pada kantor Dinas PU Kabupaten Ende hingga pensiun pada 1974.

Di usia senjanya, Riwu Ga pindah ke Naikoten, Kota Kupang .Kemudian, pada 1992,  pindah lagi ke Nunkurus,  di Kabupaten Kupang.

Masyarakat NTT Protes Film Soekarno Karya Hanung Bramantyo - Kompasiana.com
Riwu Ga pada hari tuanya

Meninggal Dunia pada  HUT RI ke-51, 17 Agustus 1996, pukul 17.00 Wita

Bersama isterinya Belandina Riwu Ga-Kana, Riwu Ga pun meniti hidup sebagai petani di Nunkurus, tepat di sebuah area pertanian yang dipadati gewang dan jati, di depan markas TNI Naibonat.

“Di sana bapa dan mama menetap selama beberapa waktu, hingga bapa sakit dan dirawat di RSU Kupang selama hampir dua minggu. Dia dirawat di ruang kelas tiga. Sakitnya sakit orang tua. Bapa mengeluh ada sakit di bagian perut,” ungkap Yance polos.

Setelah dirawat beberapa lala, akhirnya tepat pukul 17.00 Wita, di Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke-51 pada 17 Agustus 1996, ketika masyarakat Indonesia sedang menyanyikan lagu Indonesia Raya, dalam prosesi penurunan bendera, Riwu Ga  pun meninggal dunia.

Wafatnya ibarat penanda, bahwa ‘Bendera Merah Putih’ yang pernah berkibar itu, akhirnya harus diturunkan  oleh pasukan pengibar untuk disimpan. Jenazahnya kemudian  dimakamkan di TPU Kapadala, Kelurahan Airnona, Kecamatan Kota Raja, Kupang pada 19 Agustus 1996.

“Saat itu hadir ribuan orang datang melayat. Mereka ingin datang dan mendengar langsung kisah bapa. Sebagai anak, ketika dengar cerita bapa, kami terharu dan bangga. Karena seorang buta huruf, dia sudah berarti. Walau tidak diingat jasa-jasanya, tapi  dia sudah banyak berbuat untuk Indonesia,” ujar Yance yang adalah pengajar di SMPN 2 Kupang itu sembari menyeka bulir air mata di sudut matanya.

Saat www.kluget.com merilis wawancara pada 18 April 2012, isterinya Belandina Riwu Ga-Kana yang sudah berusia 70 tahun lebih itu masih menempati rumah mereka di Nunkurus. Tak tahu bagaimana nasibnya saat ini.

Diusulkan menjadi Pahlawan Nasional

Riwayat Riwu Ga kini tinggal sebuah kenangan.  Ia layak dikenang karena pernah melayani tokoh terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Ia turut berjasa bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Selama 75 tahun merdeka, pemerintah dab bangsa  Indoensia rupanya sangat sibuk dengan urusan politik dan usaha pembangunan.  Sayangnya, pemerintah dan bangsa ini  lupa memberi penghargaan yang pantas kepada Riwu Ga yang sudah bertaruh nyawa untuk kemerdekaan bangsa ini. 

“Pemerintah Indonesia harusnya proaktif.  Dalam  hal seperti itu, Pemda harus bergerak cepat dan berbuat sesuatu bagi pejuangnya,” ujar Peter A. Rohi, sebagaimana dikutip Timor Express, Rabu (15/8/2012).  

Pernyataan senada disampaikan Pembina Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) NTT, Irjen Pol (Purn) Y. Jacky Uly.  Mantan Kapolda NTT ini mengurai bahwa dalam sejarah perjuangan dan di veteran, ada dua jenis pejuang. Yakni pejuang kemerdekaan, contohnya adalah Riwu Ga. Walau tidak mengangkat senjata, namun dia berada sangat dekat, dan malah terjun langsung dalam perjuangan kemerdekaan.

Berikutnya, adalah pejuang pembela kemerdekaan, seperti pejuang yang terlibat dalam operasi Trikora, Dwikora dan beberapa lainnya.

“Saya minta, kita jangan berpikir sempit bahwa yang namanya pejuang itu adalah mereka yang mengangkat senjata. Tidak begitu,” tegasnya lagi.

Dengan definisi seperti itu, maka Riwu Ga sepantasnya diberi pengharagaan dijadikan pahlawan kemerdekaan. Namun, entah mengapa, penghargaan seperti itu tak kunjung diberikan. Padahal, sebuah bangsa yang besar adalah bangsa yang tahu menghargai jasa para pejuangnya.! (Maxi Ali/Dari berbagai sumber). 

RELATED NEWS