Santo Nikolas, Pribadi yang Selalu Menjiwai Para Alumni SMA St. Klaus Kuwu

redaksi - Sabtu, 25 September 2021 12:33
Santo Nikolas, Pribadi yang Selalu Menjiwai Para Alumni SMA St. Klaus KuwuPater Igo Reldy, SVD, alumnus SMA St. Klaus, misionaris di Jerman Selatan (sumber: Dokpri)

Artikel ini ditulis oleh alumni SMA St. Klaus Kuwu. Sekolah ini didirikan oleh Pater Pater Ernst Wasser SVD, misionaris asal Swiss pada 1988.empat tahun sebelumnya, yaitu pada 1984 Patet Ernst Wasser, SVD mendirikan SMP St. Klaus Kuwu. 

Kesalehan dan keteladanan hidup Nikolas, orang kudus berkebangsaan Swiss yang akrab disapa Burder Klaus  menginspirasi Pater Wasser memilih nama Santo Klaus  sebagai pelindung SMP dan SMA Katolik, di Kuwu, Kecamatan Ruteng, Manggarai. 

SMA St. Klaus Kuwu telah melahirkan ribuan lulusan yang berkarya di berbagai bidang pelayanan, termasuk sebagai imam misionaris. Berikut catatan kenangan dua alumni SMA St, Klaus, Kuwu: Nana Melky Sobe Rengka, dan Pater Igo Reldy SVD, misionaris di Jerman Selatan

Santu Nikolas dari Flue, Pengaku Iman    

Santo Klaus adalah nama lain dari Santo Nikolas. Ia lahir di Kanton Obwalden, Swiss pada tahun 1417 dari sebuah keluarga Katolik yang saleh. 

Masa kecilnya berlangsung dalam situasi perang berkepanjangan. Ketika berumur 15 tahun, ia sudah mampu memainkan pedangnya seperti seorang prajurit perang. Empat tahun kemudian ketika berusia 19 tahun, ia pun turut dalam pertempuran untuk membela Swiss, tanah airnya. 

Ibunya heran bahwa anaknya yang saleh itu memiliki jiwa patriotik yang besar. Ia mengharapkan agar Nikolas menjadi seorang imam, bukan seorang prajurit perang. Harapan ini pupus ketika Nikolas menikah dengan Doretea Weiss.

Karena keberaniannya dan kelincahannya dalam berperang, Nikolas dipilih sebagai komandan pasukan tempur.

Seusai perang, ia dipilih menjadi anggota Dewan Kotapraja, anggota Pengadilan Kota dan akhirnya menjadi wakil rakyat di Kanton Unterwalden. Kepribadiannya yang menarik dan saleh itu membuat rakyat senang padanya dan memilih dia untuk memangku jabatan-jabatan itu.

Tetapi Tuhan rupanya mempunyai rencana khusus atas diri Nikolas. Pada usianya ke-50 tahun, Nikolas sekonyong-konyong meninggalkan segala-galanya untuk menjalani hidup menyendiri sebagai seorang pertapa. Suatu kekuatan ajaib yang tak kuasa diatasinya menggerakkan dia untuk menjalani cara hidup itu. Mula-mula ia menjadi seorang peziarah. 

Kemudian ia menetap di sebuah gubuk yang tersembunyi di sebuah jurang di pegunungan Swiss. Di tempat yang sunyi itu, ia menjalani hidup doa dan tapa yang mendalam selama 20 tahun. Maksudnya ialah ingin membina suatu pergaulan yang mendalam dan erat mesra dengan Allah.

Tuhan menganugerahkan kepadanya anugerah-anugerah yang luar biasa. Ia mengalami banyak penglihatan dan ketenangan batin yang penuh kebahagiaan dan penghiburan rohani. Mujizat besar yang dialaminya ialah bahwa selama bertahun-tahun lamanya, ia mampu hidup dalam puasa mutlak tanpa makan suatu apapun kecuali komuni suci. Doa dan renungan-renungan suci adalah pekerjaannya sehari-hari.

Menyaksikan kesucian Bruder Klaus - demikian ia disebut orang banyak orang datang kepadanya untuk meminta bimbingan rohani. Kepada orang-orang itu ia menasihatkan agar mereka selalu sabar dan suka akan perdamaian.

Pada tahun 1461 Federasi Swiss terancam perpecahan karena perselisihan antara negeri-negeri itu. Banyak orang berbondong-bondong pergi kepada Bruder Klaus untuk meminta pandangannya tentang masalah itu. Pemerintah pun mengutus beberapa orang kepada Bruder Klaus. Kepada mereka Bruder Klaus berpesan: "Jagalah kesatuan negara dan usahakanlah perdamaian." Nasehat ini berhasil membawa kembali Federasi Swiss ke dalam persatuan dan perdamaian. Nikolas meninggal dunia pada tahun 1487 dan dihormati sebagai Rasul perdamaian. 

Kompleks SMP dan SMA St. Klaus, Kuwu (Sumber: Instimewa)

Bangga, pernah belajar di SMA St. Klaus Kuwu

Saya bangga pernah menikmati iklim pendidikan pada di salah satu lembaga yang berpelindungkan St. Klaus, tepatnya di SMA Katolik St. Klaus Kuwu. 

Sudah sangat lama saya meninggalkan panti pendidikan yang dirintis Pater Waser SVD tersebut. Kini yang tersisa hanyalah  kenangan. 

Kenangan terkuat dalam ingatan saya adalah di sana saya pernah dididik dan bentuk menjadi insan akademis yang kokoh secara intelektual dan matang secara spiritual. Untuk itu, satu kata sederhana yang tepat saya ucapkan: Terima kasih Almamaterku. 

Plang nama,  St. Klaus, Kuwu (Sumber: IJivansi)

Waktu belajar di SMA St. Klaus saya tidak mengetahui dengan baik sosok Santo yang merupakan pelindung negara Swiss ini. Yang saya tahu cuma nama istrinya Dorothea karena memang nama sang istri diabadikan sebagai nama pelindung asrama putri SMA St. Klaus Kuwu. 

Saya masih ingat, di depan dan di pojok kanan asrama putri Dorothea ini tidak sedikit orang melakukan aktivitas yang bernama "kuncar", istilah yang melukiskan perjumpaan penuh romantis dari dua insan yang mabuk cinta. 

Untuk memahami lebih jauh istilah ini bisa tanya pakar cinta “kraeng” Eras Baum, Charles Talu, Vian Nase, Tus Jeharut, Ardi Perwira, Yohan Gelmanius, dan Very Arsi. Ada juga sahabat yang memilih panggilan eks-;ada Rikar, Nuno, Vian, Melky yang memaknai hidup cinta itu. 

Jadi, tentang St. Klaus saya hanya tahu kala itu nama kekasih hatinya, Ibu Dorothea. 

Sementara itu, narasi lengkap hidupnya dan spiritualitas andalannya sebagai seorang kudus, santo dalam Gereja Katolik berada jauh dari horison pengetahuan saya. Meski demikian, ada rasa ingin tahu yang berkecamuk kuat dalam jiwa saya saat itu untuk mengetahui dengan baik kiprah hidup pria yang populer dengan sapaan Bruder Klaus.

Gerbang  SMP dan SMA St. Klaus, Kuwu (Sumber: Jivansi

Berziarah ke Flüeli

Suatu momen yang tak terduga, pada 2016 lalu saya mendapat kesempatan untuk berziarah ke kampung halaman sang pertapa sejati (einsiedler), sebuah kampung sederhana, hening nan indah beranama Flüeli. 

Di sana saya mengunjungi rumah kelahiran, rumah kediaman, tempat pertapaan yang letaknya tidak jauh dari rumah kediamannya hampir sejarak dengan Asrama Putra SMP ke Kapela St. Klaus Wae Balak. 

Saya juga sempat mengunjungi tempat pemakamannya di dalam salah satu Gereja Paroki di Sachseln. 

Melalui visitasi ke tempat-tempat tersebut saya kemudian memahami sekaligus merasakan narasi dan kebajikan hidup dari orang kudus yang diperingati Gereja setiap tanggal 25 September. 

Inspirasi

Bercermin pada riwayat lengkap hidup  Santo Klaus, saya menyuguhkan beberapa kebajikan mendasar yang dimilikinya untuk dijadikan inspirasi bagi setiap orang yang mengaguminya.

Pertama, mencintai perdamaian. Pada masa muda Santo Klaus pernah bekerja sebagai tentara. Namun sebagai tentara ia tidak pernah menggunakan pedang, kekerasan sebagai instumen menyelesaikan masalah apalagi melenyapkan nyawa orang. 

Dia adalah tentara yang sungguh menjaga perdamaian dan tidak memakai kekerasan dalam bertindak. Dikisahkan bahwa pernah pada suatu kesempatan, bersama dengan teman-temannya dia diutus untuk sebuah misi merebut satu daerah tertentu, sebagai daerah jajahan. 

Ada yang menganjurkan supaya daerah itu diserang dengan cara dibakar lalu seluruh ternak dan kekayaan lainnya dijarah. Akan tetapi, Santo Klaus tidak menginginkan hal demikian, dia malah meminta sahabat-sahabatnya untuk menanggalkan pedang dan memilih jalan perdamaian.

Mencintai dan mengabdi perdamaian sungguh sebuah kebajikan yang melengket erat dalam kepribadiannya. Justru itu, dia kemudian dinobatkan sebagai Santo Perdamaian, pelindung negara Swiss. 

Mengakar keyakinan bahwa tidak terlibatnya Swiss dalam perang dunia I dan II karena berkat doa dari Santo Klaus. Keyakinan ini terpancar jelas dalam sebuah lukisan pada salah tembok kapela untuk para peziarah di pinggiran sungai Melchaa. 

Pada lukisan itu, negara Swiss tampak damai, tidak ada perang, anak-anak bermain tanpa rasa takut, orang bekerja dengan bebas, bernyayi dan menari dengan sukaria, lalu pada bagian atas dari negara Swiss sosok St. Klaus sedang berdoa dengan mata menatap ke arah langit. 

Sementara itu, negara-negara lain di sekitar Swiss tampak gaduh, orang sementara berperang, dan ribuan tubuh tanpa jiwa tergeletak di atas tanah, mereka adalah korban perang. Sederhananya, lukiskan itu mengekspresikan bagaimana St. Klaus punya peranan penting dalam membangun-rancang atmosfer perdamaian di negara Swiss, negara yang kemudian menjadi ikon perdamaian.

Sekarang mari kita melongok pada situasi konkret kehidupan kita. Di tengah masyarakat, di lembaga pendidikan, di dalam keluarga, bahkan di dalam tubuh Gereja dan tembok megah biara, kekerasan menjadi drama yang kerap dipertontonkan entah itu kekerasan fisik maupun kekerasan yang mengarah kepada pembunuhan karakter. 

Setiap gesekan entah gesekan pikiran, gesekan bahasa, atau gesekan gestur selalu direspon dengan kebencian. Tumpulnya nurani dan bengkoknya budi dalam merajut perdamaian membuat ruang ada bersama menjadi runyam, penuh kecurigaan dan sarat dengan balas dendam. 

Sebuah contoh sederhana dari lembaga pendidikan. Kalau seorang adik kelas melakukan kesalahan, kesalahan apa saja, pada umumnya kakak kelas memberi “catatan kesadaran” dalam bentuk dibully atau dipukul.  Peristiwa ini terus terperlihara sehingga membentuk semacam regenerasi “tendes-menendes”. 

Pada aras ini, citra hidup Santo Klaus menjadi sebuah gugatan. Dia mengajarkan kita untuk mengembangkan hidup sebagai perisai perdamaian. Hidup bukanlah sebuah permainan tinju untuk menumbangkan lawan demi meraih medali, tetapi hidup adalah sebuah atraksi kasih, di dalamnya orang mengalami damai dan sukacita. 

Oleh karena itu yang terpenting untuk diperjuangkan dalam hidup menurut Santo Klaus adalah kebijaksanaan, kelemahlembutan hati, dan damai yang mengalir keluar dari hati Allah, sang damai sejati.

Kedua, mencintai keheningan dan doa. Santo Klaus adalah seorang pertapa ulung. Sebagai pertapa keheningan dan doa merupakan menu utama yang dikonsumsinya setiap saat. 

Dia sadar kalau keheningan itu ibarat musik yang menghibur jiwa berkecamuk, momen suci mengintrospeksi diri, merenungkan tindak-tanduk hidup, mempertimbangkan sebuah keputusan, dan mengarahkan pandangan kepada Sang Ilahi. Dia juga yakin kalau doa merupakan sebuah keheningan dan keheningan adalah sebuah doa demi membangun kontak abadi dengan Pencipta.

Doa itu menara kerinduan melaluinya kita berkisah, berkeluh kesah, berceloteh, bersendagurau, tertawa, menangis, bersyukur, dan mengajukan protes kepada Allah. Karena itu, Santo Klaus tanpa ragu mengungsi, menarik diri dari hiruk pikuk dunia ke sebuah tempat yang sunyi, di dalam sebuah ruangan senyap. 

Ruangan kecil pada salah satu kapela tempat pertapaannya di tepi sungai Melchaa menjadi saksi bisu, di sana ia pernah bercumbu dengan Allah dalam keheningan dan doa. 

Selain berdoa ‘Bapa Kami’ sebanyak 50 kali sehari, berikut ini salah satu rumusan doa yang meletup keluar dari jiwanya: Mein Herr und mein Gott,nimm alles von mir,was mich hindert zu dir.Mein Herr und mein Gott,gib alles mir,was mich führet zu dir.Mein Herr und mein Gott,nimm mich mir und gib mich ganz zu eigen dir ---- “Tuhanku dan Allahku, jauhkanlah dariku apapun yang menjauhkanku dari-Mu. Tuhanku dan Allahku, anugerahkanlah kepadaku apapun yang membuatku dekat dengan-Mu. Tuhanku dan Allahku, bebaskanlah aku dari diriku dan jadikanlah aku milik-Mu seutuhnya.”

Kembali kepada konteks kehidupan harian kita. Satu krisis besar dunia modern adalah hilangnya keheningan. Tuntutan pekerjaan yang begitu banyak dan aneka macam kegiatan yang sifatnya sekedar menghabiskan waku seperti otak atik handphone membuat orang lupa akan keheningan, lupa berdoa, lebih tragis lagi lupa dengan dirinya sendiri (lupa makan atau lupa tidur misalnya).

Tanpa keheningan orang bisa menjadi gegabah, tergesa-gesa, hura-hura, tidak reflektif dan linglung untuk menentukan sebuah pilihan atau keputusan yang tepat dalam hidup. Kesanggupan Maria menjawabi panggilan Tuhan menjadi Bunda Allah dan kesetiaannya dalam mengikuti Sang Putra yang berpuncak pada misteri salib justru berakar dalam keheningan.  

Atau juga rahasia kesuksesan seorang seniman dunia Michael Angelo justru lahir dari keheningan, dia mendapat ide melalui sebuah kontemplasi. Karena itu, St. Klaus menggerakkan manusia modern untuk mencintai keheningan dengan menarik diri sejenak dari kegaduhan dunia. Pepatah klasik mengatakan silence is golden – keheningan adalah emas, maka mari kita merawat keheningan itu paling tidak 1 jam dari 24 jam ziarah sehari hidup kita. 

Dan dalam hening, riwayat sebuah doa menjadi mungkin, sebab doa adalah sebuah kehingan dan keheningan adalah sebuah doa. 

Ketiga, memiliki spirit kemiskinan. Keluarga Santo Klaus dari segi ekonomi tergolong makmur. Mereka memiliki rumah bagus, penghasilan memadai, pekerjaan mapan, kebun luas dan ternak banyak. 

Namun semua itu tidak membuat Santo Klaus menjadi budak kekayaan, hamba mamon dengan bermental konsumeristis dan bergaya hedonistis. Sebaliknya, atas cara yang radikal dia melepaskan semua kekayaan itu dan membangun semangat hidup miskin dengan menjadi seorang pertapa yang berjubah sederhana dan hidup di dalam sebuah gubuk kecil, tempat tidur berukuran minim layaknya sebuah bangku dan kepala beralaskan sebongkah batu sebagai bantal. Pilihan ini memang sangat radikal tetapi bukan tanpa kesadaran.

Santo Klaus sungguh sadar bahwa ziarah hidup di dunia hanyalah sementara dan segala kekayaan yang dimiliki sifatnya fana, bisa rusak dimakan ngengat atau dicuri orang. 

Oleh karena itu yang paling urgen adalah mengumpulkan harta surgawi yang sifatnya kekal, tidak dimakan ngengat dan sulit dirampas orang. Bertapa dengan mengandalkan hidup sepenuhnya pada Allah sambil dengan setia melayani orang yang datang berkonsultasi kepadanya merupakan cara nyata seorang Santo Klaus dalam mengumpulkan harta surgawi.

Bagaimana dengan kita? Adalah fakta yang tak terbantahkan bahwa dunia saat ini sedang dilanda wabah individualisme, konsumerisme dan hedonisme, dan bisa jadi kita secara sadar atau tidak sadar sudah tejerembab di dalamnya. Ketiga hal ini merupakan virus yang merusak peradaban manusia. 

Di dalamnya aspek sosialitas dan nilai kemanusiaan tidak dihiraukan, orang hanya hidup untuk dirinya sendiri dan tanpa rasa berdosa menghambur-hamburkan kekayaan demi kenikmatan dan kesenangan pribadi, padahal di dekatnya tidak sedikit orang menderita. Saya kira perilaku korupsi, penipuan, manipulasi harga pasar, dan kejahatan lainnya berakar dalam tiga virus tersebut. 

Namun demikian, kesaksian hidup dari Santo Klaus adalah preseden bagi kita untuk bagaimana bersikap ketika berpapasan dengan ketiganya. Dia menarik kita untuk tidak menjadi dewa mamon, tetapi memanfaatkan kekayaan demi membangun Kerajaan Allah melalui semangat hidup miskin. 

Tentang kemiskinan, Aloysius Pieris memetakannya ke dalam dua jenis yaitu kemiskinan yang dipaksakan dan kemiskinan sukarela. Kemiskinan jenis pertama adalah buah dosa di dalamnya orang terpaksa menjadi miskin karena sistem yang tidak adil, dan kemiskinan yang kedua adalah biji pemerdekaan di dalamnya orang dengan bebas menghayati hidup miskin, sederhana, hidup ada adanya. Yang satu memperbudak dan yang lain membebaskan. 

Menurut Pieris, kemiskinan yang dipaksakan dapat diatasi dengan kemiskinan sukarela. Artinya bahwa nafsu serakah untuk mengakumulasi kekayaan dan menyembah dewa mamon, bisa disiasati ketika orang membangun semangat hidup askese, tapa dan pantang, rela membagikan kekayaan itu kepada mereka yang tidak punya, ada sikap peduli dan solider. 

Kemiskinan sukarela berkenaan dengan komitmen untuk belajar dari Yesus yang menentang dewa mamon. Kemiskinan sukarela adalah sebuah semangat hidup untuk menggunakan kekayaan demi kebahagiaan dan kesejahteraan orang lain. Membagikan kekayaan kepada orang lain membuat kekayaan berhenti sebagai mamon. 

Kekayaan itu adalah sesuatu yang sakramental. Artinya kekayaan kalau digunakan secara baik menjadi sakramen, tanda yang memberikan kesejahteraan dan keselamatan bagi orang lain. Jika demikian halnya, maka benar apa yang dikatakan teolog Leonardo Boff bahwa kemiskinan dapat disembuhkan dengan kemiskinan. Teladan hidup Yesus serta para kudus seperti St. Fransiskus Asisi dan St. Theresa dari Kalkuta atau tokoh India Mahatma Gandhi atau cara hidup Santo Klaus meyakinkan kita bahwa semangat hidup miskin sungguh berdaya menyembuhkan kemiskinan, mengubah kekayaan bukan sebagai mamon tetapi sebagai rahmat. 

Seperti Santo Klaus, marilah kita terus bekerja bukan sekedar mengakumulasi kekayaan untuk kemudian membangun semangat individualisme, konsumerisme dan hedonisme, tetapi bekerja demi membangun Kerajaan Allah, kerajaan cinta, kebenaran, keadilan dan damai sejahtera. 

Demikian ulasan sederhana saya tentang sosok Santo Bruder Klaus. Semoga ulasan ini memberi inspirasi bagi ziarah hidup kita di hari esok. Möge Gott uns segnen und begleiten. Heilige Bruder Klaus, bete du für uns ---- Semoga Tuhan memberkati dan menyertai kita. Santu Bruder Klaus doakanlah kami. ***

Editor: Redaksi

RELATED NEWS