Siapa yang Akan Menggulingkan Batu dari Pintu Kubur bagi Kita? (Mrk 16,3) Sebuah Reaksi atas Kasus di Paroki Kisol

redaksi - Jumat, 03 Mei 2024 15:55
Siapa yang Akan Menggulingkan Batu dari Pintu Kubur  bagi Kita? (Mrk 16,3) Sebuah Reaksi atas Kasus di Paroki KisolIlustrasi: Kubur dan batu penutup kubur Yesus. (sumber: Istimewa)

Saudara-saudari terkasih, umat Paroki Kisol, para konten kreator: ahli TI, tiktokers, bloggers, facebookers, instagrammers dan semua orang yang dalam beberapa hari ini hiruk pikuk mencari dan mengonsumsi berita tentang permasalahan “seorang pastor paroki dan seorang ibu di dalam wilayah parokinya.

 Kami yakin, rumah-rumah kita, kelompok-kelompok atau grup-grup, hp kita, media-media sosial kita, intinya ruang percakapan kita hari-hari ini dipenuhi dengan berita tentang permasalahan atau skandal antara Pastor Paroki Kisol GI dan Ibu H. 

Selain itu, ada begitu banyak postingan di berbagai media yang memantik beragam tanggapan dari Netizen. 

Berita-berita dan postingan-postingan itu sudah ditulis, entah melalui klarifikasi terlebih dahulu dengan pihak pertama, atau kepada siapa yang paling dekat dengan peristiwa itu entah ditulis begitu saja tanpa mengedepankan cara-cara kerja jurnalistik yang baik. 

Obsesi viralisme, daya kecepatan share dan forward berlari melewati batas kemampuan pihak-pihak yang terkait untuk mengontrol berita ini beredar viral. 

Dari semua berita yang muncul, kami menyoroti lima di antaranya. 

Pertama, tanggapan dari Keuskupan Ruteng yang dimuat di Florespostnet  tanggal 26 April 2024 dengan Judul “Keuskupan Ruteng Berupaya Selesaikan Kasus Pastor Paroki Kisol Sesuai Ketentuan Hukum Gereja”. 

Dalam berita ini tanpak bahwa pihak keuskupan, menahan diri untuk tidak banyak berkomentar dan menyampaikan apa yang perlu dikatakan pada saat seperti ini serta mencoba berdiri "di tengah-tengah" dan mengimbau agar semua tetap tenang menanggapi berita dari kejadian itu. 

Kedua, klarifikasi dari seseorang dengan nama RD GI yang menyampaikan 16 poin, mulai dari latar belakang relasi mereka, sampai dengan peristiwa itu terjadi.  

Klarifikasi ini menambah lagi versi cerita tentang kejadian itu tetapi tampak lebih dekat dengan peristiwa; dilengkapi dengan latar belakang relasi yang bersangkutan denga keluarga itu. 

Rupanya klarifikasi ini menjadi acuan dari banyak pembaca (juga dari netizen) untuk memperoleh gambaran tentang peristiwa itu, juga bagi sebagian orang menjadi acuan untuk mengadili perkara ini. 

Ketiga, klarifikasi dari salah satu karyawati yang bekerja di pastoran paroki Kisol. Adapaun klarifikasi ini disertai dengan opini pribadi dan dugaan-dugaan tentang adanya perencanaan dari pihak keluarga Bapak V untuk menjebak RD GI. 

Keempat, klarifikasi dari Bapak V beberapa hari setelah kejadian. Dalam Klarifikasinya, bapak V menyampaikan poin-poin yang berbeda tentang kronologi peristiwa, baik dengan apa yang disampaikan dalam klarifikasi RD GI maupun klarifikasi dari karyawati tersebut. 

Poin-poin dalam Klarifikasi ini menyampaikan bahwa benar telah terjadi perbuatan yang tercela antara RD GI dan Ibu H. 

Munculnya klarifikasi ini tentu sedikit mengubah pandangan kita terhadap masalah ini.

Kemudian, tidak sedikit yang bertanya, sebenarnya mana cerita yang benar? Siapa yang salah/benar? 

Kelima, tanggapan resmi dan pernyataan sikap yang disampaikan keuskupan Ruteng yang berisi tentang sikap apa yang akan diambil pihak keuskupan untuk menangani masalah ini dan ajakan kepada seluruh umat katolik di keuskupan Ruteng untuk bersikap tenang dan menyerahkan penyelesaian kasus ini kepada pihak yang berwenang. 

Tentu saja semua keterangan tersebut adalah kesaksian masing-masing pihak yang bermaksud meluruskan cerita dan lebih dari itu menjadi instrumen yang membantu menyelesaikan kasus ini. 

Kita tidak tahu apakah akan ada cerita-cerita dan bukti-bukti lain yang akan menerangkan peristiwa yang telah mengguncang kita semua di hari-hari ini. 

Kita berharap semua pihak yang bersangkutan dapat bekerjasama dengan baik untuk menangani masalah ini dan memulihkan ruang publik kita yang sedang tidak baik-baik saja.  

Sepekan telah berlalu, tidak bisa dipungkiri, booming-nya peristiwa ini membawa banyak dampak untuk kita: bisa jadi ada banyak kanal berita yang meraup keuntungan dari viralnya berita ini, ada yang nikmat membahas cerita ini, ada yang menemukan materi-materi baru untuk cerita lucu dan satir, ada yang tak berhenti kesal dan marah dan ada yang terus tenggelam dalam kesedihan, rasa malu serta penderitaan batin yang tak terlukiskan. 

Bagi kami, hidup di pekan ini, benar-benar suatu kehidupan yang kelam. Sebagai orang Kristiani, kami seperti hidup tanpa Kristus Yesus.

 Kami mengalami kematian dan neraka. Mendengar peristiwa yang terjadi beberapa hari lalu itu bagaikan pengalaman meminum api yang membakar jiwa. 

Di hari-hari ketika kita masih merayakan Paskah, pengalaman ini terasa seperti Pra-paskah dan seperti tiga hari yang kosong tanpa Yesus. Kami butuh Dia. Kami butuh terang. Kami butuh mata air untuk menyejukkan jiwa yang kini terbakar oleh dosa dan amarah. 

Kami mau bangkit dari keterpurukkan ini dan pergi mencari sampai ke pintu makam dan bertanya, “siapakah yang akan menggulingkan batu itu bagi kita dari pintu kubur?” 

Siapa yang akan membuka tubir kematian ini dan membiarkan cahaya hidup baru bangkit dari kubur kesedihan, kemarahan, kekecewaan, shock dan penghakiman terhadap mereka yang telah bersalah dalam persoalan ini? 

Sepekan telah berlalu, adakah kita juga bertanya tentang apa yang bisa kita lakukan untuk memulihkan ketenangan lingkungan kita setelah diterpa kebisingan luar biasa ini? 

Nilai-nilai apa yang kita bisa ambil dari tragedi ini? Pernahkah kita mereaksi berita-berita ini dengan hati dan budi seorang beriman? 

Adakah kita berdoa untuk mereka atau mengingat dalam doa-doa kita nama-nama mereka: Romo GI, Ibu H, keluarga besar mereka, karyawan-karyawati pastoran Paroki Kisol dan semua yang terlibat langsung dalam persoalan ini? 

Adakah wajah-wajah mereka tampil di hadapan kita seperti wajah saudara kita sendiri, orangtua kita sendiri, anak-anak kita sendiri, pastor paroki kita sendiri? 

Apakah kita berpikir ada kemungkinan bahwa apa yang kita lakukan terhadap orang-orang ini dapat menjadi berjuta tangga yang menimpa dan meremukkan mereka hingga memberi luka tak tersembuhkan selamanya sebagaimana kita telah dilukai? 

Barangkali ini saatnya kita berhenti mengonsumsi berita ini begitu saja dengan reaksi yang bisa jadi sudah dan akan menjadi satu polusi baru untuk kesehatan mental dan spiritual Gereja dan Masyarakat kita. 

Ini saat untuk berhenti sejenak memainkan ibu jari untuk men-scroll atau terus mereproduksi berita ini di laman medsos kita dan di bilik lejong atau obrolan kita. Ini saat untuk memulihkan salah satu dimensi penting dari diri kita sebagai orang beriman yakni “hening”. Kita diundang untuk bersikap hening di hadapan misteri pencobaan seperti ini. 

Kita diajak untuk hening dan membiarkan misteri kehidupan orang lain membuka diri di hadapan kita serta membiarkan fakta-fakta dan kebenaran seputar kasus ini terbuka seiring berjalannya waktu dan proses penyelesainnya nanti.  

Ini saat untuk sejenak berefleksi, membawa berita ini ke dalam lubuk hati kita masing-masing. Kita mesti mengakui bahwa semua itu sudah terjadi. 

Kita tidak bisa kembali ke masa lalu untuk memperbaikinya. Kita semua yang mendengar berita itu, dengan tahu baik atau tidak, mendengarkan dari sumber yang benar atau tidak, mendengar cerita yang benar atau tidak, memang berhak untuk berbicara dan berkomentar apapun. 

Reaksi-reaksi itu sudah menjadi konsekuensi atau dampak langsung dari kasus ini. Dari kaca mata yang positif kami melihat, beragam reaksi kita merupakan tanda kesatuan dan keterhubungan kita satu sama lain. 

Ini adalah tanda bahwa meskipun beragam, kita bagaikan satu tubuh. Kita adalah hati dari satu tubuh yang sedang terluka karena saudara dan saudari kita telah salah melangkah, terantuk dan jatuh. 

Namun kita tidak bisa terus mati bersama mereka dalam tubir dosa itu. 

Kita diundang untuk mengikuti langkah para wanita kudus yang menerjang kegelapan dini hari pada “hari pertama minggu itu”, tiga hari setelah kematian Yesus. 

Dalam kesedihan mendalam ini, pada saat kita merasa yatim dan piatu karena ditinggalkan kedamaian hidup bersama sebagai tetangga (juga kedamaian dan sukacita Paskah kita) marilah kita bertanya seperti perempuan-perempuan kudus itu, “Siapa yang akan menggulingkan batu itu dari pintu kubur? (bdk. Mrk 16,3). 

Siapa yang akan membuka batu itu dari pintu kubur kita ini, agar kita mengalami hari pertama yang lebih baik? Siapa yang peduli untuk membuka pintu kubur bagi RD GI, Ibu H, bagi Bapa V dan anak-anaknya, bagi keluarga besar kedua belah pihak? 

Siapa yang mau membuka pintu pengharapan dan hidup baru bagi Gereja dan masyarakat kita? 

Siapa yang bisa membuka pintu pengampunan dan rekonsiliasi bagi kita semua? 

Sepekan telah berlalu, marilah kita berhenti sejenak, membiarkan reaksi baru bertumbuh untuk memberi kesempatan kepada keluarga, baik keluarga RD GI maupun keluarga Ibu H dan juga mereka semua yang punya wewenang atas kedua orang ini bersikap lebih tenang, berpikir lebih jernih dan mencari jalan keluar yang membebaskan mereka dari terowongan gelap persoalan ini, juga bagi kita semua yang ikut terluka dan “ternoda” karena kasus ini. 

Satu prinsip sederhana yang bisa dipakai, kita tidak akan berbicara lagi dan lagi tentang hal-hal yang kita tidak ketahui dengan baik (meskipun dalam kasus ini kita membaca dan mendengar banyak berita). 

Kita diundang untuk menahan diri dari dorongan untuk menciptakan atau meneruskan cerita-cerita yang tidak benar dan membiarkan pihak-pihak berwenang menyelesaikan masalah ini dengan bijaksana. Kita perlu kemurahan hati untuk menanggapi berita dan kejadian ini dengan mengurangi tendensi judgemental. 

Untuk saudara-saudari kami umat Kristiani, kita bisa mengganti nama Romo GI dan Ibu H dengan nama Tuhan kita yang berbelas kasih, “ALLAH ADALAH KASIH”. 

Marilah kita mengingat kata-kata-Nya yang membebaskan, “Barangsiapa di antara kamu tidak berbuat dosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu” (Yoh 8,7). Dan setelah mengatakan demikian, semua orang yang mau menghukum seorang perempuan yang kedapatan berzinah, pergi “mulai dari yang tertua” (ay 9). 

Marilah kita, dengan sedikit kemurahan hati mengingat penderitaan batin keluarga dari kedua pihak dan penderitaan batin Gereja dan masyarakat (derita batin kita semua). 

Marilah kita hening dan menahan diri sambil mengingat bahwa kita semua adalah orang-orang berdosa yang juga mendengarkan kata-kata Yesus, “Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang” (Yoh 8,11). 

Kita semua diselamatkan bukan karena pahala dan kebaikan kita melainkan karena kemurahan Sang Pencipta. 

Kecuali kalau kita tidak berdosa, biarlah kita mencari batu yang lebih besar untuk melempar dan menghukum sampai mati RD GI dan Ibu H yang telah melukai kita, meskipun sebenarnya mereka juga sudah dan sedang mati dan sudah dihakimi oleh tribunal hatinya sendiri. 

Akhirnya kami ingin mengulangi lagi pertanyaan perempuan-perempuan kudus yang memberi kesaksian tentang iman Paskah kepada kita semua, “Siapa yang akan menggulingkan batu itu bagi kita dari pintu kubur? (bdk. Mrk 16,3). *

1 Mei 2024, Dari Kebisingan Batin: Nana Aloysius. ****
 

RELATED NEWS