Sie Kong Lian, Pemilik Asli ‘Museum Sumpah Pemuda’
redaksi - Rabu, 27 Oktober 2021 12:48JAKARTA (Floresku.com) - Sie Kong Lian seringkali luput dari perhatian sejarah Indonesia terkait sumpah pemuda. Nama, tahun lahir dan foto yang beredar di berbagai media cetak dan online seringkali keliru. Namanya seringkali ditulis secara salah seperti Sie Kong Liong, Sie Kong Liang, Sie Kok Liong.
Hal itu terungkap pada acara webinar ‘Ngobras Bareng Tokoh: sumpah Pemuda dan Semut Merah’ 19 Oktober 2020 lalu.
Acara webinar tersebut menghadirkan Romo Antonius Haryanto, Sekretaris Komisi Kepemudaan Konferensi Waligereja Indonesia (Komkep KWI) dan Mohammad Nuruzzaman, Ketua Bidang Kajian dan Hubungan Strategis PP Gerakan Pemuda Ansor.
Hadir juga sebagai pembicara adalah dr. Christian Silman, cicit dari pemilik rumah yang sekarang menjadi Museum Sumpah Pemuda.
Hadir pula Dilla Hartono, mahasiswa aktif Fakultas Hukum Unika Atma Jaya.
Webinar yang diisi dengan virtual tour ke Museum Sumpah Pemuda itu dimoderatori dr. Nurliati Sari Handini, SpBP-RE, alumni FKIK UAJ, dokter spesialis bedah plastik dan rekonstruksi estetika.
Kesaksian dr Christian Hilman
Media online www.pressreader.com, edisi 01 Oktober 2021 menyebutkan bahwa dr. Christian Hilman adalah alumnus FKIK Universitas Atma Jaya Jakarta. Sebagai salaah satu pembicara dalam webinar tersebut dr Christian Hilman mengungkapkan banyak informasi yang selama ini tidak diketahui oleh orang banyak.
“Saya merupakan cicit atau keturunan keempat Sie Kong Lian. Sebenarnya sejak sekitar 2 tahun yang lalu, setiap kali ada peringatan sumpah pemuda 28 Oktober ini kalau kita membuka internet seringkali disebutkan Sumpah Pemuda terjadi di rumah Kramat 106 ini. Tetapi tidak banyak mengetahui siapa ini Sie Kong Lian. Kalaupun mencari di Google, bukan foto yang benar,” tulis www.pressreader.com.
Media online www.kalderanews.com terbitan 28 Oktober 2020 menulis bahwa menurut catatan keluarga, Sie Kong Lian lahir pada tanggal 3 Januari 1878, lalu pada usia 30 tahun atau tepatnya 1908 ia membeli rumah di Jalan Kramat 106 yang sekarang terkenal dengan sebutan Museum Sumpah Pemuda.
“Menurut catatan yang coba kami (keluarga) cari, awalnya dijadikan rumah kost. Beberapa dokter muda yang kuliah di Stovia menetap di sana, di antaranya Muhammad Yamin, Amir Syarifuddin, Suryadi, dan beberapa tokoh pergerakan lainnya,” tutur dr Christian Hilman pula.
Melihat banyak dari penghuni kost di rumahnya adalah mahasiswa kedokteran, Sie Kong Lian pun terinspirasi dan berharap bahwa nanti dari keturunannya ada yang menjadi dokter.
Dan, apa yang didamabkannya memang terwujud. Sebagai dari cicitinya memang berprofesi sebagai dokter. (Lihat gambar).
Lalu, pada tahun 1927 gedung Kramat tersebut menjadi tempat organisasi pemuda untuk kegiatan pergerakan, bahkan Bung Karno pun beberapa kali berkunjung ke gedung tersebut.
Selain itu, tempat ini juga sempat menjadi toko bunga, hotel, tempat tinggal, indische club pada 1927-1934.
Kemudian, pada tahun 1928 bangunan tersebut menjadi tempat Kongres Pemuda yang disebut sebagai Museum Sumpah Pemuda. Pada akhirnya, tahun 1973 diambil alih oleh pemerintah menjadi Gedung Sumpah Pemuda.
Sebagai garis keturunan Sie Kong Lian, Dr.Chris menyampaikan dua pesan dari kakek dan dari sang ayah kepada ahli waris.
Sie Kong Lian berpesan kepada anak-anaknya, salah satunya Sie Hok Liang, untuk tidak menjual rumah Museum Sumpah Pemuda karena banyak meninggalkan kenangan tersendiri bagi beliau.
Lalu, Sie Hok Liang sebagai kakek Dr. Christian Silman memberi pesan kepada generasi selanjutnya bahwa bila tiba waktunya, hibahkan (ruma itu) ke negara asalkan tidak melanggar pesan orang tua, tapi tinggalkan satu ruang untuk Sie Kong Lian.
“Jadi, selama ini, secara de facto gedung ini masih milik keluarga, akan tetapi secara penggunaannya digunakan oleh negara,” ucapnya.
Sebagai penutup, ia menuturkan bahwa pendidikan di keluarganya menanamkan nasionalisme.
Menurut dia, nasionalisme merupakan rasa untuk memaknai kehidupan di tanah tempatnya tinggal.
“Pendidikan di keluarga kami menanamkan nasionalisme. Nasionalisme tidak memandang suku, ras, atau agama. Nasionalisme lebih kepada bagaimana kita mengisi dan memaknai kehidupan kita di mana kita berpijak,” tandasnya.
Lima orang keturunan Tionghoa
Menurut catata sejarah, selain Sie Kong Lian, ada empat pemuda Tionghoa lain yang juga menghadiri Kongres Pemuda II, di antaranya adalah Kwee Thiam Hong anggota Jong Sumatranen Bond (JSB) sekaligus pelajar Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) dan sahabat-sahabatnya Oey Kay Siang, John Liauq Tjoan Hok, dan Tjio Djin Kwie. Mereka aktif sebagai anggota kepanduan.
Selain hadir dalam Kongres Pemuda II itu, surat kabar berbahasa Melayu-Tionghoa, Sin-Po pertama kali memuat lagu Indonesia Raya karya Wage Rudolf Supratman. Lagu dan notasi Indonesia Raya muncul di mingguan itu pada edisi No. 293 tanggal 10 November 1928.
Kwee Kek Beng, pemimpin redaksi Sin Po menyebut hubungan pemimpin pergerakan Indonesia dengan pers Tionghoa, terutama Sin Po, memang sangat baik.
Sebagaimana diketahui Kongres Pemuda dilaksanakan sebanyak dua kali. Kongres Pemuda Pertama terjadi pada 30 April-2 Mei 1926. Kongres Pemuda I yang diketuai oleh Muhammad Tabrani memfokuskan pada pentingnya persatuan dan kesatuan para pemuda untuk mencapai Indonesia merdeka
Kongres Pemuda Kedua yang berlangsung pada 27-28 Oktober 1928. Salah satu hasil fenomenal dari Konggres Pemuda II adalah Sumpah Pemuda yang menyatakan bahwa:
- Pertama:Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia.
- Kedua:Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
- Ketiga:Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.***