Oleh: P. Charles Beraf, SVD)

NAMANYA  Muhammad Arjuna Rivai. Dia siswa SMAN NUBATUKAN, LEMBATA. Arjuna, biasa disapa, adalah korban Seroja. 

"Saya dan mama saja di rumah, di Lewotolok. Malam itu sebelum kejadian, saya berbaring di dalam kamar. Mama, namanya Nurul, sehabis sholat, ikut ke kamar dan berbaring.Berdua saja. Tidak ada tanda tanda bahwa akan datang bencana. Saya tersadar ketika sudah berada di laut dan berusaha berenang ke darat, malah masih sempat menolong seorang ibu dan anaknya yang terjepit di kayu. 

Mereka itu tetangga rumah saya. Bersama mereka, kami berhasil mencapai daratan. Tapi rumah sudah tak kelihatan, tak berbekas. Ibu? Saya tak tahu di mana.  Dua hari setelah kejadian, ibu ditemukan tak lagi bernyawa.Sedih sendirian. 

Saya akhirnya memilih ke Lewolein, Desa Dikesare dan tinggal bersama Bapa tengah saya, Yosef Witak.Luka luka goresan kayu dan batu sudah mulai mengering".  

Tapi apakah duka turut mengering? Arjuna menuturkan, dan setelah itu diam hingga saya dan kawan kawan relawan pulang ke Lewoleba. Arjuna tentu masih diam, dan meski selantang apa kisahnya, menguburkan Seroja bukan perkara gampang bagi Arjuna. 

Saya menepuk pundaknya, meneguhkannya...entah ini suatu healing touch? Saya tidak tahu. Yang saya tahu, di hadapan perkara bencana yang menorehkan trauma, bukan hanya materi dibutuhkan, tapi juga immaterial compassion, bela rasa dengan simpati dan empati. 

"Saya agak tenang di sinj, di rumah ini".  Banyak orang mengandalkan materi untuk mengatasi bencana, tapi tak sedikit yang lupa bahwa sedikit sentuhan, sedikit kata bisa manjur untuk yang terluka karena trauma, karena ditinggalkan. 

Arjuna, dii ujung Lebatukan, sedang merajut hidupnya tanpa ibu, tanpa teman baring lagi sehabis sholat magrib. (*)

*Charles Beraf SVD, alumnus STFK Ledalero, Master in Rural Sociology at University of the Philippines.