SISI KEHIDUPAN: Jalan Sunyi dan Nyanyian "Hosanna" Daniel Dhakidae
redaksi - Minggu, 30 Mei 2021 21:49Oleh RD Paul Bongu*
Kematian abang saya, Daniel Dhakidae, pada 6 April 2021, meninggalkan banyak kesan dan laudatio atau pujian dari berbagai pihak seperti terbaca di pelbagai platform media. “He is a giant within Indonesia’s Intellectual community,” kenang seorang sahabat dekatnya.
Dia bercahaya di level nasional, hidup berintegritas di jalan sunyi. Dia tahu kepada siapa berpihak. Dia membela “orang gelap” dengan membawa “terang historis”.
Pada salah satu karya monumentalnya, Menerjang Badai Kekuasaan, dia menulis,”Vita brevis dignitas longa.” (Umur manusia pendek, tetapi martabat panjang umurnya). Daniel meninggal pada usia 75 tahun. Namun, martabat intelligensianya abadi, melampaui seluruh hidupnya.
Jalan sunyi dan tebing ratapan
Lewat tulisan untuk mengenang 40 hari kematiannya, saya berupaya melihat Daniel dari angle yang lebih human dan down to earth. Sebab Daniel anak desa yang menempuh “jalan sunyi”.
Jalan sunyi paling awal bersama Daniel adalah perjalanan kami dari kampung Wekaseko menuju Seminari St Yohanes Berkhmans, Mataloko, pada Agustus 1963. Dua hari kami menempuh perjalanan dengan berkuda, melewati padang savana Kali Lambo, perbukitan Rendu yang kering, kami dibakar terik matahari yang terasa amat menyiksa.
Saat itu, saya siswa baru di kelas I SMP Seminari Mataloko, sedang Daniel sudah Kelas VII atau tahun ke-4 di SMA Seminari Mataloko, tahun persiapan untuk masuk Seminari Tinggi di Ritapiret, Sikka.
Kami sungguh melawati jalan sulit, the road less travelled, nama yang cocok untuk Lebi Woi. Lebi berarti tebing dan woi adalah ratapan. Gabungan antara keduanya bermakna tebing ratapan. Kuda, penunggang, atau keduanya, sering terjatuh apabila melintasi tanjakan maut itu. Daniel melawati tebing ratapan itu saat liburan selama tujuh tahun. Ia tamat tahun 1964.
Perjalanan berkuda dari Wekaseko, kampung kami, ke Seminari Mataloko memakan waktu dua hari meski jaraknya hanya sekitar 85 km yang saat ini bisa ditempuh dengan mobil dalam waktu kurang dari dua jam. Pada hari pertama, setelah menempuh perjalanan 45 km, kami bermalam di Kampung Raja. Hari pertama adalah hari terberat karena harus melewati Lebi Woi atau tebing ratapan yang terjal.
Selepas Lebi Woi, kami menyusuri Malawitu, padang terbuka dengan luas sekitar 250 km persegi yang hanya ditumbuhi alang-alang. Dari Ratedao, kampung setelah Lebi Woi, kami bisa melihat dari kejauhan rumah-rumah di punggung Gunung Manungae yang jaraknya sekitar 13 km.
Untuk mencapai Kampung Raja, kami melewati perbukitan Rendu, wilayah yang kelak dijadikan Waduk Lambo. Kami tidak kesulitan makan dan minum. Selain bekal yang lebih dari cukup, ada sejumlah rumah keluarga di Ratedao yang selalu siap melayani kami.
Hari berikutnya, kami menuju Mataloko dan tiba menjelang malam ketika lampu-lampu di seminari sudah menyala. Sungguh sebuah pemandangan baru bagi kami anak kampung yang saat itu hanya diterangi pelita, lampu tembok, dan kadang-kadang lampu petromaks. Sebagai orang baru, saya kagum melihat situasi baru walau udara dingin yang mulai menusuk kulit tidak bisa saya sembunyikan.
Daniel sangat bangga dengan pendidikannya di seminari menengah. Dalam perjalanan intelektualnya, dia mengaku hanya belajar di dua sekolah, yakni Seminari Mataloko dan Cornell University, AS.
Perjalanan yang panjang membuat kami letih. Hati saya kecut dan sejurus kemudian menangis. Daniel terus berusaha meneguhkan hati saya dengan kata-kata sejuk. "Jangan menangis Paulus. Ingat, ada Kak Dan. Juga ingat, ibumu, Mama Theresia Uda. Dia dahulu juga sekolah di Mataloko,” kata Daniel menghibur.
Setelah tamat sekolah rakyat (SR) tiga tahun di Wekaseko, Mama Theresia melanjutkan pendidikan di Standard School, Mataloko tahun 1942–1946. Sekolah ini diasuh para suster SSpS berkebangsaan Belanda.
Compassion kakak-adik sangat terasa di jalan sunyi ini. Apakah ibu saya, yang saat itu sudah cukup fasih berbahasa Belanda, wanita “terpelajar” pertama, berpengaruh pada bakat dan minat intelektual Daniel? Jawaban terhadap pertanyaan ini bisa ditelusuri. Ibu kami berdua berasal dari pohon kehidupan yang sama, keluarga ningrat di desa.
Tentang hubungan kekerabatan kami, Daniel menulis dalam In Memoriam Laurens Tato Gani, adik kandung saya, pada 18 September 2017 sebagai berikut.
“Hubungan kami agak unik dan juga aneh. Dari segi darah dia adalah paman. Mamanya adalah adik bungsu dari nenek perempuan saya, mama dari mama saya. Dari segi umur dia jauh...jauh... lebih muda karena itu selalu jadi soal untuk sapa-menyapa dan akhirnya soal umur yang lebih jadi penentu. Karena itu saya selalu dipanggil 'Ka Dan' dan saya juga terima saja. Semua adik, kakak, keluarga kami juga terima saja. Tidak ada soal dengan itu. Dengan posisi seperti itu memang saya mengambil posisi kakak dan dengan itu memperkenalkan Laurens ini ke dalam kehidupan metropolitan Jakarta sejak kedatangannya di kota ini,” tulis Daniel.
Kami tiba di Mataloko sore hari, 5 Agustus 1963. Badan amat letih karena perjalanan yang jauh dan medan yang sulit. Namun, bukan itu yang menjadi masalah. Pada saat melapor, saya ditolak karena nama saya tidak terdaftar sebagai siswa baru. Sore itu, tangisan di Lebi Woi datang lagi.
Kak Dan dengan sigap mencari tahu penyababnya. Pater Alex Beding SVD, rektor seminari kala itu, memberitahukan bahwa saya tidak ikut testing masuk seminari di Raja. Entah apa argumentasi yang disampaikan Kak Dan kepada rektor, saya akhirnya diterima. “Paulus, engkau diterima. Jangan menangis dan belajarlah yang rajin,” katanya.
Saya duduk di kelas IA dan menjadi satu dari 84 siswa. Seleksi dan kompetisi keilmuan pun berjalan dengan sangat ketat. Dari jumlah ini hanya tujuh orang yang mencapai imamat pada 1980/1981. Uskup Agung Ende saat ini, Mgr Vincentius Sensi Potokota, adalah salah satu dari sebuah sisa kecil ini, the small remnant.
Pada 15 September 2005 saya merayakan pesta perak imamat di Wekaseko. Kak Daniel dan Kak Lily Dhakidae juga hadir. Dia berpidato atas nama keluarga dengan rasa bangga tentang kampung Wekaseko yang sudah jauh berubah. Dahulu gelap, sekarang terang benderang karena ada listrik.
“Listrik lebih mencerahkan orang ketimbang jalan raya,” kata Kak Dan.
Kisah awal perjalanan, saya narasikan kembali pada sambutan saya. Kak Dan tampak bangga dan haru. Saat kami berpapasan dia berkata,"Romo Paulus, terima kasih. Engkau masih ingat. Saya bangga.”
“Terima masih, Kak Dan,” jawab saya seraya membatin,“Jangan menangis Paulus. Belajarlah yang rajin." Sebuah pesan awal di jalan sunyi.
Sinyo berdaki rajin mandi
Daniel menamatkan pendidikan di Seminari Mataloko, Juni 1964. Sebuah pesta perpisahan digelar untuk melepas Daniel dan kawan-kawannya. Kronik menjadi sebuah acara yang paling dinantikan karena keseharian hidup yang unik dan lucu dari masing-masing siswa dipertontonkan dalam gerak dan lagu di atas pentas.
Kronik tentang Daniel sebagai berikut. ”Sinyo berdaki rajin mandi, namun tetap bergelar daki. Dengar, kubuka suara Dengar, kugesek biola. Ohh, Niel, mari merayu lagu.”
Itulah kronik tentang Daniel yang multitalented. Daniel paling menonjol di seni musik. Ia pandai menyanyi dan piawai bermain biola. Ia selalu menjadi solis dengan suara tenor yang bergetar. Ia pemain biola dengan jari jemari yang sangat lincah. Ia menjadi pemain biola dalam orkestra untuk lagu-lagu klasik karya komponis besar dunia, seperti Mozart, Beethoven, dan Hendel.
Hal menonjol lain yang tidak dikronikkan adalah peran intelektual Daniel. Kala itu, ia didaulat sebagai ketua Akademi St Agustinus, sebuah peran “bintang” karena kepintarannya di kelas. Akademi St Agustinus adalah forum diskusi ilmiah, debating forum, asah nalar yang digelar sebulan sekali antara para siswa SMA seminari.
Daniel pandai menyanyi lagu Gregorian. Lagu-lagu Latin yang terhimpun dalam Liber Usualis. Seluruh aranseman dan melodi musikalnya bernuansa klasik. Tentang bahasa Latin dan buku ini, Daniel pernah menyampaikan pesan tertulis kepada saya.
”Hampir tidak bisa dibalikkan kembali karena bahasa Latin juga merosot berat. Para imam dan pastor muda sudah tidak kenal lagi bahasa Latin,” tulisnya.
Tentang Liber Usualis, Daniel menulis,”Memang saya punya Liber Usualis, hadiah dari Pater John Prior SVD waktu saya memberikan ceramah di Ledalero tahun 1999, saat reformasi. Saya bilang, jangan kasih saya honorarium. Saya hanya mau Liber Usualis. Mereka cari setengah mati. Ledalero dan Ritapiret tidak ada. Akhirnya buku itu ditemukan di Biara Bruder (BB) Ende.”
Bagaimana awal kehidupan Daniel? Pertanyaan ini kerap muncul. Jawaban tak terduga muncul ketika saya menghubungi Daniel untuk menulis In Memoriam Ibu Albina Wea, guru saya di SR. Mendiang Albina adalah sepupu Daniel dan merupakan guru pertama di kampung kami.
Daniel menulis catatan kenangan untuk kakaknya begini: "Berita sedih meninggalnya kakak/Usi Albina menghidupkan kembali kenangan lama masa anak-anak di Wekaseko awal tahun angka 1950-an. Ketika pulang libur dari SMP Boawae, kami adik-adiknya dikumpulkan di rumahnya yang dinamakan Mangu Dewa, tiang pasak tinggi.
Kakak Albina dan Melda (juga sepupu Daniel) mulai mengajari kami apa saja yang mereka dapat di SMP. Saya ingat dengan baik hanya dua, yaitu menyanyi dan bahasa Inggris sederhana. Dengan bahasa Inggris sederhana, seperti, I go to school dan lain-lain, kami mulai diperkenalkan dengan bahasa yang jauh kemudian hari menjadi bahasa utama di perguruan tinggi.
Namun, yang paling mengesankan saya adalah menyanyi dan lagu-lagu populer tahun 1950-an. Dengan begitu, kami kenal dengan lagu-lagu, seperti My Bonny. Dan semua itu saya bawa ke kelas 3 SR dan selalu dapat nilai tinggi karena dalam bahasa inggris.
Yang paling mengesankan saya adalah syair lagu It’s A Long Way to Tipperary...But my heart’s still there. Pada tahun 2000 saya ke London. Ketika mau keluar kota ke Oxford University, saya lihat dari bus pariwisata tulisan besar-besar di perempat jalan "to Tipperary”. Tanpa sadar, saya teriak, ini Tipperary lagu Usi Albina.
Pengalaman London itu begitu membekas dalam hati saya. Usi Albina membawa kami adik-adiknya jauh ke negeri orang seperti London, Inggris, yang dia sendiri tidak pernah lihat di masa hidupnya. Namun, yang paling penting adalah Usi Albina memberi kami rasa percaya diri, sehingga anak dari kampung, seperti Wekaseko, diajar untuk tidak minder, mona taku ata (tidak takut siapa pun). Ini jasa yang tidak pernah saya lupakan dari kakak kami ini."
Gemar menyanyi
Beredar di YouTube, lagu “Lauda Sion” yang dinyanyikan Daniel di usianya yang sudah sepuh. Tentang itu Daniel berkomentar begini,“Sequentia Lauda Sion sudah saya suka sejak di Mataloko. Saya pikir, Thomas Aquinas melampiaskan seluruh kemampuannya untuk lagu ini. Dari segi literer, begitu tinggi kualitas, contoh terbaik bagaimana memuji dalam suatu madah yang sudah begitu tinggi kelasnya dan toh oleh pemadah dikatakan sebagai nec laudare sufficit, pujian ini pun jauh dari cukup. Ini salah satu lagu abadi untuk saya, dan ini yang paling indah dari semua lagu Gregorian, my all time favorite.”
Sayang, kemampuan “gesek biola” tak sempat ia perlihatkan hingga ia meninggalkan dunia ini.
Sebuah lagu lain, yang menghubungkan Daniel dengan kegemaran menyanyi di masa kecilnya tertulis dalam buku ‘Menerjang Badai Kekuasaan’ halaman 420.
Daniel menulis begini: ”Penulis mengenang kembali dongeng sebagaimana diceritakan syair lagu "The Fox and the Grapes"dalam pelajaran bahasa Inggris di kelas II Seminari St Johannes Berchmans Mataloko, Flores 1958.
Liriknya masih saya hafal dan lagunya masih saya dengungkan sampai hari ini. Semuanya begitu akrab dalam hidup penulis.
“Menjadi penghibur pada saat kelam dalam selimut rasa putus asa. Terhibur lagi dan menjadi penyemangat di tengah segala macam kesulitan dengan pekik nasihat: try again and accomplish your deed, coba lagi dan bereskan pekerjaanmu.”
Hosanna filio David
Syair “Rasa kelam dalam selimut rasa putus asa dan butuh penyemangat” kembali teringat ketika saya mendapat pesan lewat WA dari Daniel, 21 Juni 2018.
“Siang, Romo Paulus. Masih ingat lagu di buku Jubilate, Lauda Jerusalem Dominum? Lagu ini tiba-tiba terngiang di telinga saya. Saya mau minta tolong carikan syair lagu itu, utuh,” tulis Daniel lewat WA.
“Saya sudah cek Google,” kata Daniel. “Di sana, hanya nongol versi-versi lain yang hebat-hebat, termasuk dari Antonio Vivaldi. Tapi, semua itu berbeda dari Jubilate,” tambahnya,
Daniel lebih suka versi Jubilate, baik lirik maupun melodinya. Ini refrein lagu Lauda Jerusalem Dominum yang dia hafal hingga akhir hayatnya.
“Lauda Jerusalem Dominum, Lauda Deum tuum Sion. Hosanna, Hosanna, Hosanna filio David,” demikian refreinnya.
“Kalau tidak salah, lagu ini terdiri atas tiga ayat. Tolong carikan syair lengkap untuk saya dan saya akan sangat berterima kasih,” pesan Daniel.
Ketika saya mengirim teks lengkap dari lagu Rex Clementissime dari Jubilate terbitan 1957, Daniel merespons,”Persis. Ini yang saya maksud, gratias ago tibi.”
Mengapa lagu ini? Jawaban itu datang dini hari ketika Nikolaus Namai, adik kandung Daniel menyampaikan bahwa Daniel meninggal di RS MMC Kuningan, terkena serangan jantung.
Jelang akhir hayatnya, Daniel masih sempat mengucapkan tiga kali kata hosanna. Ya, kata “hosanna” ia ucapkan sampai maut menjemputnya, Selasa 6 April 2021, pukul 07.24 WIB.
Bagi saya, hosanna menjadi sebuah dying wishes, kerinduan akhir jiwa, saat Daniel menemukan pribadi paling dalam, his inner self. Saat itu Daniel dipaksa mundur serendah-rendahnya ke dalam dirinya yang sejati, menjadi Daniel, homo religiosus, manusia beragama, momen perjumpaan dengan yang transenden. Requiscat in Te. Beristirahat dalam Tuhan.
Hosanna dalam makna literer-biblis berarti seruan mohon keselamatan kepada Anak Daud serta pengkuan iman bahwa Yesus, Putra Daud itu, mampu menyelamatkan.
Hosanna juga bermakna haleluya, pekik kemenangan Paskah, sebuah seruan perjumpaan dengan Penyelamat itu sendiri, Filio David. Sebuah seruan kebangkitan dan hidup baru.
“Lauda Deum tuum Sion. Hosanna, Hosanna, Hosanna Filio David.” (Pujilah Tuhan wahai Yerusalem. Pujilah Allah wahai Sion. Hosanna... bagi Putra Daud.. Demikian refrein lagu Lauda Jerusalem Dominum yang dihafal Daniel.
Sesungguhnya kabar lebih awal mengenai kondisi Daniel datang dari Longginus Biaedae. Adik kandung Daniel yang juga tinggal di Jakarta itu menjelaskan bahwa kondisi fisik abangnya mulai rapuh, sakit-sakitan.
Namun Daniel tidak suka orang lain mengetahuinya. Fragmen-fragmen kerapuhan dan kegelisahan Daniel mulai tampak dalam komunikasi kami di tahun-tahun terakhir. Kegelisahan batinnya terus terjadi. Pada titik inilah Daniel benar-benar “menerjang badai”, yang sesungguhnya. Prestasi intelektualnya yang gilang gemilang itu sepertinya ambyar diterjang badai kerapuhan fisiknya.
Pada Rex Clementissime, Raja Mahapengampun, Jesu dulcissime, Yesus Mahabelaskasih, Daniel meletakkan seluruh dasar dan pertanggungjawaban humanisme transendentalnya. Di lagu itu ada jawaban bahwa bilamana manusia tidak dapat menerima humanismenya, Dialah satu-satunya yang bisa menyembuhkan.
Hanya Tuhan sendiri yang sanggup menyusun pecahan-pecahan kehidupan Daniel menjadi bejana yang utuh. Saat itu, Tuhan merangkul dan memeluknya. Suppliciter adoro Christum totum offero cor devotum (Dengan rendah hati aku menyembah Kristus secara utuh seraya mempersembahkan hati yang berbakti kepadaNya).
Sungguh sebuah jeritan dari hati yang terdalam. Juga sebuah peralihan dari dua kutub kehidupan dari being ke nothingness dari jalan sunyi ke nyanyian Hosanna.
Jalan hati nurani
Akhirnya, berjalan bersama Kak Daniel di jalan sunyi, the road less travelled itu adalah berjalan bersama seorang kakak, mentor berpikir, intelektual egaliter yang integritas akademiknya mengesankan. Dia memberikan pandangan yang jernih dan analisis yang pas tentang manusia dan peristiwa terakhir tentang dirinya dalam nyanyian Hosanna.
Dari perjumpaan langsung maupun saat membaca karya-karya tulisnya, terkesan dia menempuh jalan hidup yang begitu berseberangan dengan dunia normal. Dia tidak mengikuti jalan yang sudah ada. Ia bahkan membuat jalan baru. Begitu pula dalam hal beriman Katolik. Dia memilih jalannya sendiri, jalan hosanna. Jalan sunyi itu justru jalan hati nurani.
Daniel sang Nabi Daniel dan Daniel Dhakidae bertemu dalam satu simpul the conscience of nation, hati nurani bangsa. He has beautiful mind and compassionate heart.
Daniel, cahaya dari timur, kampung Wekaseko, Toto Wolowae untuk Nusantara. May you rest in sempiternal peace my bro Daniel. “Dan Paulus, jangan menangis,” pesan Kak Dan di jalan sunyi. Hosanna!
*RD Paulus Bongu, Alumnus Asian Social Institute, Manila - Pastor Paroki Boawae, Nagekeo, Flores, NTT.