SISI KEHIDUPAN: Makan, Cuci Mata dan Menyanyi (Cara Sederhana Merawat Imamat)

redaksi - Senin, 23 Agustus 2021 13:22
SISI KEHIDUPAN: Makan, Cuci Mata dan Menyanyi  (Cara Sederhana Merawat Imamat)RESTAURANT 10 EURO, CUCI MATA DAN MENYANYI (Cara Sederhana Merawat Imamat) (sumber: Romo Stef Wolo)

Sebagaimana hidup berkeluarga, hidup imamat perlu dirawat agar tetap langgeng dan ‘berbuah lebat’. Oleh karena itu Romo Stefafnus Wolo mengajak tiga rekan imam asal Indonesia yang mengunjunginya Keuskupan Basel Swiss, 19 Agustus 2021, untuk makan di restoran (walau di murah dengan menu seharga10 Euro), cuci mata alias jalan-jalan,  kemudian bermusik dan menyanyi  bersama.  Menurut Romo Stef,  itu adalah cara sederhana untuk merawat Imamat.

Stefanus Wolo Itu*

TANGGAL 19 Agustus lalu saya mendapat kunjungan tiga rekan misionaris. Mereka adalah P. Albert Nampara, P. Mansuetus Tus dan Romo Roy Djelahu.

Pater Albert berasal dari Mbaumuku Ruteng. Dia pernah di Sankt Augustin Jerman dan sejak 2003 bermisi di Swiss. Saat ini beliau adalah Rektor Komunitas SVD Steinhaussen Zug-Swiss. Albert juga melayani paroki-paroki di sana.

Pater Tus berasal dari Sambikoe-Waelengga Manggarai Timur. Dia pernah studi di Sankt Augustin Jerman dan Roma. Dia juga pernah bermisi di Albania dan Rumania. Saat ini beliau adalah Wakil Provinsial SVD Italia sekaligus Rektor Komunitas SVD di Bolzano Sud-Tirol. Dia pun melayani paroki di wilayah berbahasa Italia dan Jerman itu.

Romo Roy Djelahu berasal dari Labuan Bajo Manggarai Barat Flores. Beliau adalah Misionaris Fidei Donum Dioses Ruteng di Keuskupan Basel Swiss. Sebelum ke Swiss Roy bekerja di Paroki Waelengga Manggarai Timur. Beliau adalah mantan pastor parokinya Pater Tus. Romo Roy saat ini Kapelan di Katedral Solothurn.

Albert dan Tus sudah banyak makan garam di Eropa. Mereka masuk dalam golongan "tua golo dan tua beo" Manggarai di Eropa. Mereka sudah sangat mahir berbahasa Jerman dan kultur setempat. Dialek Manggarai mereka sudah tidak sekental dulu. Roy baru setahun di Swiss. Tapi pergerakannya sangat gesit. Dia menguasai "jalan-jalan tikus" di Swiss. Cara tertawanya khas dan asyik. Cara ini meluluhlantahkan hati oma-oma Solothurn. Mereka tak tahan bila Roy jauh dari mereka.

Kunjungan para misionaris ini membuat saya bahagia. Albert dan Tus adalah orang penting SVD. Mereka memegang kunci utama rumah SVD di Steinhaussen dan Bolzano. Mereka juga menguasai wilayah SVD di Swiss dan Italia. Sementara Roy bertugas di Katedral Solothurn. Roy mempunyai akses dengan pimpinan Keuskupan Basel. Saya bangga dengan mereka bertiga. Saya punya akses lebih mudah bila memasuki wilayah mereka. Saya tidak membutuhkan "katebalece" ekstra. “Manga Ata One” atau "ada orang dalam". Saya berbahagia karena saudara seimamat membawa berkat dan sukacita.

Sebagai tuan rumah saya merancang tiga agenda. Pertama, kami makan minum bersama. Mereka ini tamu penting. Para Kraeng Tua Manggarai di Eropa. Sebagai tuan rumah saya harus "Jaga Waka". "Jaga Waka" dalam bahasa Bajawa artinya menjaga martabat dan harga diri, merawat kebajikan, persaudaraan dengan energi-energi positif. Tamu dan tuan rumah sama-sama berbahagia.

Karena itu saya mengajak mereka ke Restaurant Asia di Bad-Säckingen Jerman. Mengapa makan siang di Jerman? Ya, biar terkesan keren. Bisa ajak tamu penting makan siang di luar negeri. Meski letaknya cuma di seberang sungai Rhein.

Restaurant Panda Mongolia ini menyediakan menu Buffet bervariasi. Ada pelbagai jenis daging dan sayuran. Ada ikan dan udang. Ada nasi putih dan nasi goreng. Ada sup, buah-buahan dan es. Kita boleh makan sebanyak-banyaknya sesuai kekuatan perut. Tapi bayarannya tetap saja 10 Euro. Bila dirupiahkan sekitar Rp170 ribu. Bagi kami yang tinggal di Swiss, 10 Euro adalah angka murah meriah. Kita juga bebas memilih jenis minuman dengan perhitungan harga tersendiri.

Restaurant ini juga bersih dan nyaman. Sambil makan kami bersenda gurau. Kami berbagi pengalaman pastoral  di negeri Alpen. Kami makan dan minum sampai puas. Ada energi jasmani baru dari makanan enak itu. Kami saling memperkaya dan meneguhkan. Ada wawasan baru dari pengalaman-pengalaman unik kami.

Kedua, kami cuci mata bersama. Setelah makan kami berjalan beberapa ratus meter menyusuri tepi sungai Rhein. Tidak ada orang yang mandi-mandi di sana. Karena itu kami tidak perlu mengenakan kaca mata hitam untuk "mengatur pergerakan bola mata".  

Kami melihat dari jauh pembangkit listrik tenaga air. Pater Tus langsung menerawang jauh ke kampungnya di pinggir Waemokel sana. Semoga satu saat air sungai Waemokel diolah menjadi pembangkit listrik tenaga air.

Kami juga cuci mata di salah satu jembatan kayu tertua di Eropa. Jembatan ini menghubungkan Swiss-Jerman. Roy sangat terpesona dengan jembatan itu. Dia mendendangkan lagu "Jembatan Merah" karya Gesang. Gesang menggambarkan kisah perpisahan seorang wanita yang melepas pria pujaaannya untuk berjuang di medan pertempuran Surabaya.

"Saat terindah, saat bersamamu. Begitu lelapnya, akupun terbuai. Sebenarnya aku telah berharap. Ku khan memiliki dirimu selamanya", demikian bait awal lagu itu. Roy ingat cinta pastoral di kawasan jembatan Waemokel. Dia harus meninggalkan umat Waelengga. Meski berat, mereka harus berpisah. Perpisahan yang berkualitas. Kita pergi ketika kecintaan umat sedang membara.

Kami juga mencuci mata di gereja Santu Fridolin. Gereja ini merupakan salah satu gereja tertua di Jerman Selatan. Di sana tersimpan tulang belulang Santu Fridolin sejak abad ke enam. Setiap tanggal 7 Maret ada perayaan ekaristi meriah dan prosesi peti Santu Fridolin menyusuri Kota Bad-Säckingen.

Di sana kami hening dan berdoa. Kami mohon rahmat kesetiaan seperti Fridolin, yang selalu membawa tongkat dan alkitab di tangan. Ya, cuci mata sambil membersihkan hati dan menyalakan api komitmen kesetiaan sebagai misionaris.

Ketiga, kami bernyanyi bersama. Di mana ada misionaris NTT berkumpul, di sana ada musik, lagu dan bahkan tarian. Bernyanyi dan bermusik adalah cara favorit para misionaris mengekspresikan perasaan. Irama, lantunan melodi, lyrik lagu dapat menggambarkan suasana hati yang sebenarnya.

Karena itu setelah cuci mata kami kembali ke pastoran tempat tinggal saya di Eiken. "Kita harus menyanyi dan bermusik", kata Albert dan Tus. Albert meniup Saxophon. Tus dan Roy bermain gitar. Saya menabuh Cayon. Casing kami seolah-seolah profesional. Nada dering kami  amatiran. Tapi kami mau menyanyi dan bermusik.

Mengapa? Pertama, kami mau mempertahankan kemampuan otak untuk berpikir, mengingat dan berbicara. Dengan bernyanyi kami merangsang jaringan saraf otak untuk bekerja lebih aktif. Saat menyanyi otak akan menggali memori masa lalu. Masa lalu saat kami dipanggil dan diutus. Masa lalu kisah kasih pastoral kami. Karena itu kami menyanyikan lagu "Dengar Dia Panggil Nama Saya".

Kedua, kami juga menyanyi untuk mencegah kecemasan dan melawan stress. Hormon stress dalam tubuh akan menurun bila kita bernyanyi. Kami menyanyi untuk merawat kegembiraan suasana hati. Karena itu kami menyanyikan lagu "Di Sini Senang, Disana Senang"

Ketiga, situasi Covid-19 mengingatkan kami untuk menjaga kekebalan tubuh. Dengan bernyanyi kami meningkatkan daya tahan dan kekebalan tubuh. Selain olah raga dan makanan bergisi, menyanyi bisa menjadi pilihan alternatif.

Keempat, kami bernyanyi untuk mencegah penuaan dini. Saat nyanyi otot-otot wajah akan bergerak dan tertarik. Nyanyi mencegah penuaan dini terutama di area wajah. Otot dan kulit wajah menjadi kencang, elastis dan tetap awet muda. Pingin tampil sebagai misionaris yang tetap awet muda? Mulailah dan teruslah bernyanyi.

Albert, Tus dan Roy. Terima kasih atas kunjungan. Kita sudah mampir di Restaurant 10 Euro, cuci mata dan menyanyi bersama. Inilah cara sederhana merawat imamat kita di tanah misi.

*Stefanus Wolo Itu, Imam Projo KAE, Misionaris Fidei Donum di Keuskupan Basel Swiss

Editor: Redaksi

RELATED NEWS