SISI KEHIDUPAN: Padre Amans Laka SVD, Sepenggal Kisahnya di Negeri ‘Fidel Castro’ (3)

redaksi - Sabtu, 19 Juni 2021 20:49
SISI KEHIDUPAN: Padre Amans Laka SVD, Sepenggal Kisahnya di Negeri ‘Fidel Castro’ (3)Padre Amans Laka SVD bersama Mgr. Marcos Piran, Uskup Diosis De Holguin, Kuba (sumber: P. Amans)

MISI di Kuba, negeri yang lama berada di bawah regim dua bersaudara Castro (Fidel Castro dan Raul Castro)  adalah misi yang menantang sekaligus memendam banyak harapan dan masa depan.

Disebut  ‘menantang’ karena sejak  pemimpin revolusi Fidel Castro menerapkan pemerintahaan sosialis-komunis pada tahun 1959, gereja katolik dilumpuhkan. Selama lebih dari empat dekade pemerintah Fidel Castro melakukan pembatasan ketat atas gereja Katolik dan  kelompok agama lainnya. 

"Selama pemerintahan Fidel Castro,  banyak  pemimpin gereja diusir, gedung gereja, sekolah dan rumah sakit Katolik disita, bahkan kadang-kadang dimusnahkan. Tahun 1980-an,  sekitar 800 imam diusir, sehingga tinggal sekitar 200-an imam saja. Semua fasilitas pelayanan gereja diambil alih pemerintah. Sehingga sekarang, gereja Katolik nyaris tidak punya sekolah, tidak punya rumah sakit,” tutur Padre Amans melalui saluran telepon, Jumat (18/6), pukul 22.00 WIB, atau Jumat pagi waktu Kuba.

Kemunduran gereja Katolik selama regim Fidel Castro sungguh sebuah kisah pilu. Betapa tidak? Sejarah mencatat Kekristenan telah memainkan peran penting sejak abad ke-15 dalam sejarah Kuba. 

Kuba ditemukan oleh Christopher Columbus beberapa hari setelah ia tiba di Dunia Baru (Benua Amerika) pada tahun 1492. Pada tahun 1511, Conquistador Diego Velázquez de Cuéllar mendirikan Gereja Katolik di Kuba dengan imam pertama,  Fray Bartolomé de las Casas yang dikenal secara umum sebagai " pelindung orang Indian". 

Gereja Protestan pun hadir di Kuba pada abad yang sama. Namun, gereja Katolik hadir lebih awal. Bahkan, Protestanisme tidak pernah hadir  secara permanen  di Kuba sampai dengan abad kesembilan belas. 

Setelah 39 tahun retak, hubungan antara pemerintah Kuba dan Vatikan mulai membaik pada dekade 1990-an. Tentang ini, harian New York Times menulis begini, “Pada suatu waktu, pada 1992, sebuah pos terdepan komunisme Soviet "tak bertuhan", Kuba, mendefinisikan kembali hubungannya dengan agama dan gereja Katolik. Mulanya Presiden Fidel Castro mulai menggambarkan negaranya sebagai "sekuler" daripada "ateis". Namun,  perubahan paling besar baru terjadi pada November 1996, Ketika Paus menjamu Castro di Vatikan. Perisitiwa tersebut meandai era baru dalam hubungan Kuba dan gereja Katolik." 

New York Times edisi 20 November 1996  memetik percakapan paling monumental,  titik balik hubungan Vatikan dan Kuba sebagai berikut:

‘Yang Mulia, saya berharap dapat melihat Anda segera di Kuba," kata Fidel Castro, menurut laporan pertemuan pribadi di Vatikan oleh Dr. Joaquin Navarro-Valls, juru bicara Vatikan.

Kepada pemimpin Kuba berusia 70 tahun itu, Paus (Yohanes Palus II) berusia 76 tahun, menjawab singkat, “Sampaikan salam dan berkat saya kepada rakyatmu di Kuba,” kata Dr. Navarro-Valls mengutip Paus.

Paus Yohanes Paulus II kemudian mewujudkan harapan Castro mengujungi Kuba pada 21-25 Januari 1998. Semenjak itu secara perlahan-lahan, kehidupan gereja  di Kuba, ibarat sebatang tunggul yang sudah lama mati, mulai bertunas kembali. 

Nuansa baru hubungan gereja dan pemerintah Kuba tampak makin jelas ketika Paus Benekditus XVI berkunjung ke Kuba pada akhir Maret 2012. Ketika tiba di bandara San Antonio Maceo International Airport of Santiago de Cuba, 26 Maret 2012,  Presiden Raul Castro menyambutnya dengan hangat. 

Dalam pidato sambutannya Raul Castro mengatakan, “negara sosialis Kuba mengizinkan kebebasan penuh beragama dan menikmati hubungan baik dengan Gereja Katolik. Kuba juga berbagi keprihatinan Paus atas kemiskinan global, ketidaksetaraan dan perusakan lingkungan."

Sementara itu Paus Benediktus XVI mengajukan beberapa  permintaan, di antaranya meminta Presiden Raul Castro untuk secara resmi menetapkan Jumat Agung, hari orang dimana umat Kristiani memperingati wafat Yesus, sebagai hari libur nasional.

Memang sejak   Vatikan membuka babak baru hubungannya dengan profil gereja Katolik berubah positif.  Pada 2012,  data statistik yang diterbitkan Layanan Informasi Vatikan menggambarkan kondisi gereja Katolik Kuba sebagai berikut: Luas (negara Kuba): 110.861 kilometer persegi (42.803,67 mil persegi); Populasi: 11.242.000; 6.766.000 (60,19 persen) Katolik; 11 wilayah gerejawi (Keuskupan); 304 paroki;   2.210 pusat pastoral; 17 uskup; 361 imam; 656  orang religious; 24 anggota lembaga sekuler; 2.122 misionaris awam; 4.133 katekis; 13 siswa seminaris; 78 frater; 1.113 siswa menghadiri 12 pusat pendidikan Katolik semua tingkatan dan 10 pusat pendidikan khusus.

Lembaga lain milik gereja  Katolik atau yang dijalankan oleh imam atau religius di Kuba termasuk 2 klinik, 1 panti bagi penderita kusta, 8 panti jompo atau cacat, 3 panti asuhan, dan 3 lembaga layanan pastoral.

Angin segar kian terasa ketika Paus Fransiskus mengunjungi Kuba pada tanggal 19-22 September 2015. Dalam homilinya pada Misa di Plaza de la Revolución, Havana, Paus berkata, “Menjadi seorang Kristen berarti mempromosikan martabat saudara dan saudari kita, berjuang untuk itu, hidup untuk itu.” 

Lebih lanjut Paus berbicara tentang bagaimana "orang-orang Katolik terus-menerus dipanggil untuk mengesampingkan ambisi dan keinginan pribadi, termasuk keinginan untuk meraih kekuasaan. Sebaliknya orang Katolik dipanggil untuk peduli kepada mereka yang paling rentan".

Perihal ideologi Paus Fransiskus mengatakan: "Layanan (gereja Katolik) tidak pernah ideologis, karena gereja Katolik tidak melayani ide, melainkan melayani umat manusia."

Semenjak itu, kehidupan menggereja di Kuba semakin menggeliat. Makanya, pada akhir 2015  Catholic World Mission menulis pada situs resminya, ttps://catholicworldmission.org, begini, “Untuk pertama kalinya setelah 56 tahun sebuah gereja Katolik dibangun, setelah dibekukan dan dimusnakhan selama rezim komunis berkuasa sejak tahun 1959. Sekarang, Sandino, sebuah kota kecil di selatan Kuba memiliki izin untuk membangun sebuah gereja baru, dan kami sedang mengumpulkan dana untuk itu. Sebelumnya, Misa Kudus hanya bisa dirayakan di garasi rumah yang disewa gereja.”

Dengan berita bagus ini, tulis pengelola situs itu lagi, ”keadaan Kuba  membaik, keluarga Catholic World Mission memiliki kesempatan untuk menyebarkan program evangelisasi di Kuba untuk mengajar umat Katolik tentang iman mereka. Program, Escuela de la Fe (Sekolah Iman), terbuka untuk semua umat Katolik: remaja, dewasa, wanita religius dan pendeta yang ingin mengenal iman secara menyeluruh.”

Harapan akan masa depan misi di Kuba tercermin pada caption video ‘Cuba - Building a Catholic Church | DW Documentary (Religion documentary) yang dirilis 7 Desember 2018.  Di situ tertulis begini: “The influence of the Catholic Church in Cuba shrank under Fidel Castro. However, in recent years Catholic “house churches” have sprung up.” / Pengaruh Gereja Katolik di Kuba menyusut di bawah Fidel Castro. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, ”gereja-gereja” Katolik telah bermunculan.”

Masa depan gereja Kuba juga tergambar dari berita Agenzia Fides, edisi Jumat 24 Juli 2020. Media itu menulis, “kini telah hadir Radio El Sonido de la Esperanza yang dikelola oleh Catholic Youth Network (RCJ). Ini adalah stasiun radio Katolik pertama di Kuba yang menyiarkan online 24 jam sehari, berkat komitmen sekelompok komunikator muda yang menyebarkan pesan Gereja melalui internet.”

Lahir pada Februari 2019, RCJ adalah komunitas virtual yang hadir di jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, Instragram, Telegram, dan Whatsapp. RCJ mendapat dukungan dari Conference of Catholic Bishops of Cuba (COCC).

Padre Amans sendiri mengaku situasi nyata misi Kuba memang  tidak seindah ditulis oleh media, sehingga sulit dibayangkan oleh masyarakat di luar Kuba.  

“Saya merasakan bahwa keadaannya tidak mudah. Karena pemerintah mengendalikan transportasi dan telekomunikasi. Makanya, sekarang di Kuba hanya ada satu televisi, satu radio dan satu majalah yang berskala nasional.”

Cerita Padre Amans terkonfimasi oleh laporan Komite Perlindungan Jurnalis 2019. Dalam https://www.hrw.org/world-report/2021, komite tersebut menulis, ”Pemerintah mengontrol hampir semua media di Kuba dan membatasi akses ke informasi luar. Kuba memiliki “iklim pers paling terbatas di Amerika” 

Di sisi lain, Padre Amans menambahkan,  kondisi ekonomi masyarakat masih sangat sulit.   ‘Warga harus antri membeli bahan-bahan kebutuhan dasar.  Makanya,  di sini orang mati bukan terutama karena Covid-19, tapi lebih karena kelaparan,” ujarnya dengan nada prihatin.

Itulah sebabnya,  lanjut Padre Amans, "selain melayani paroki, saya memutuskan untuk memberikan perhatian khusus pada orang-orang pinggiran seperti para petani sederhana. 

"Memang, untuk merintis kerasulan di tengah kaum muda, masih agak sulit. Soalnya, banyak kaum muda Kuba tidak betah di Kuba. Mereka umumnya ingin menjadi pekerja migran di Miami dan wilayah Amerika yang lain. Sekarang, sekitar 800 ribu kaum muda menjadi pekerja migran. Maklum, lapangan kerja di Kuba sangat terbatas. Itu salah satu dampak dari kebijakan Presiden Fidel Castro yang menutup sekitar 200 perusahaan swasta besar selama dia berkuasa.” 

Padre Amans memang bicara apa adanya kondisi ekonomi orang Kuba. Data https://tradingeconomics.com yang dirilis berdasar National Office of Statistics, Republic of Cuba,  menyebutkan bahwa  pemerintah meningkatkan besarn menjadi 879 peso Kuba/bulan pada 2019 dari  777 peso Kuba/bulan di 2018. 

Namun, hingga Juni 2019, upah tipikal untuk buruh pabrik berkisar 400 peso Kuba (17 dolar As),  upah untuk seorang penerjemah sekitar 500 peso Kuba (20 dolar AS) dan upah dokter sekitar 700 peso kuba (30 dolar AS) per bulan atau kisaran sekitar 17–30 dolar AS per bulan. Sementara itu harga sebotol air mineral 1,5 liter mencapai $2 AS, terkadang $1 AS. 

Apakah dengan demikian orang Kuba sangat miskin?  Dari segi besar upah dan daya beli, tentu saja ya. Namun mengacu ke defenisi  “kemiskinan absolut”  menurut Unesco, “sebagai kesulitan memperoleh kebutuhan dasar seperti bahan bakar, obat-obatan, pakaian, air, makanan dan sewa,”   orang Kuba dianggap tidak lebih miskin dari negara-negara Amerika Latin lainnya.  Sebab, pemerintah menyediakan rumah dan uang bulanan termasuk 40 persen dari biaya makanan dan obat-obatan. 

“Tapi,  definisi Unesco bisa mengelabui. Kebijakan pemerintah juga membuat warga merasa tergantug, selalu menadahkan tangannya kepada pemerintah. Kalau terus-terusan begitu, kesejahteraan yang sesungguhnya tak pernah bisa mereka capai. Makanya, saya coba mendorong dan melatih umat untuk menanam sebanyak mungkin, buah-buahan, sayuran-sayuran,  singkong, jagung, sehingga bisa memetik untuk makan sehari-hari, tanpa harus selalu mengantri jatah makanan dari pemerintah.”  

Ketika ditanya, akankah Padre Amans akan merintis sekolah juga di kuba, seperti di Esperanza, Argentina? 

“Hanya Tuhan yang tahu itu, Kak. Tapi, hati kecil saya mengatakan sepertinya Tuhan akan memberi peluang juga di Kuba,” jawabnya dengan nada penuh harap.

Padre Amans bersama orang muda Katolik (OMK) Kuba seusai misa di sebuah Kapela. Ia membagikan bibit tanaman kepada mereka agar mereka belajar bercocok tanam. (Sumber: Koleksi P. Amans)
Dokter Elisa, orang Kuba, aktivis di gereja menenteng buah pepaya, hasil dari kebun Padre Amans.
Yisel, putri asli Kuba aktivis di gereja menenteng buah pepaya, hasil dari kebun Padre Amans.

Refleksi dan Doa  Ulang Tahun ke-54

Google.com menyebut jarak kota Havana Kuba dan Kampung Tanah Putih, Kefamenanu, Timor Tengah Utara 16.771 km.  Berada sangat jauh dari orangtua dan kampung halaman selalu menimbulkan rindu. Apalagi pada momen khusus, ulang tahun. 

Untuk mengisi hari istimewa itu, Amans Laka, imam, biarawan dan misionaris SVD itu melakukan sebuah refleksi.  Buah refleksinya ia bagikan pada  hari Jumat, 14, Mei 2021. Padre Amans  menulis demikian, ”Peristiwa hari ulang tahun itu istimewa. Di langit di hari ulang tahun, bintang-bintang berada pada posisi yang sama dengan hari kita di lahirkan. Seperti peta yang sama yang mengingatkan kita setiap tahun tentang keberadaan kita di tengah semesta kehidupan”

Ia kemudian melanjutkan, “Ulang tahun juga adalah perayaan yang begitu pribadi dalam kenangan akan cinta terdekat di hati kita, mengingatkan kita pada orang tua yang pertama kali menyambut kita ke dunia ini. Keluarga, sanak saudara, asal usul dan akar keberadaan kita. Hari ini mungkin usia sudah jauh, perjalanan sudah panjang, semua kenangan itu sudah sayup-sayup mundur ke dalam rentang waktu lampau. Hidup sudah diisi begitu banyak pengalaman lainnya. Sebagian bahkan juga sudah tertimbun tak teringat kembali.” 

“Di usia sekarang, saya duduk merenung mencoba "menenun" segenap untaian pengalaman sepanjang hidup, apakah akan jadi tenunan yang indah, selembaran selimut kenangan yang akan memberi rasa tenang menjalani masa depan yang mungkin tersisa. Ada pengalaman pahit, ada pengalaman sedih, ada hal-hal yang lucu dan tentu saja ada begitu banyak kenangan manis, indah, dan penuh sukacita, tetapi bagai untaian benang warna-warni, tenunan pun butuh nuansa gelap untuk mendefinisikan ketegasan dari warna-warni nan cerah.”

Amans menulis lagi, “Hidup ini sedemikian luas, dan tak cukup hanya dilihat sebagai milik pribadi, betapa banyak kehidupan lain terlibat dalam kehidupanku, orang-orang tercinta dan orang-orang yang menyumbangkan jejaknya pada jalan kehidupanku”

“Hari ini saya mau dedikasikan seuntai doa buat mereka; orang tua, saudara/i kandungku guru-guruku, para sahabat dan bahkan mereka yang memberikan perhatian padaku dengan cara yang sulit kuterima, kepada semuanya saya berterimakasih.

Sekarang batinku melihat hidup dengan jauh lebih damai. Banyak cita-cita telah tertunaikan dan banyak pula yang terlupakan. Tetapi semua sudah dapat saya terima dengan lapang hati, kedamaian batin dan hati yang tentram. Ini adalah catatan 

Terbaik dalam hidup saya, suatu pencapaian terindah yang akhirnya datang dalam kesadaranku. Bukan,  bukan prestasi atau tingkat keberhasilan dalam karya panggilan. Bukan emas atau perak bukan kenangan atau janji masa depan. 

Hal  terbaik dalam hidup saya adalah "bimbingan Tuhan", kesadaran bahwa selama ini  Dia menjaga hidupku dan menopangku sebaik-baiknya, Tuhanlah gembalaku...Betapa hidupku telah terbimbing...di bawah langit dengan bintang-bintang hari kelahiranku ini. Aku ingin berterima kasih pada semua orang yang datang ke dalam hidupku, dan menyerahkan semuanya pada sang gembala yang baik. Amin.”

Bersama seorang aktivis gereja, calon dokter muda di  depan gereja di Kuba 

Dikasihi dan Dihargai Warga Mondial

Dua puluh lima tahun sudah, Padre Amans meninggalkan ayah-ibu dan saudara-saudarinya di Tanah Putih Kefamenanu. Sudah seperempat abad ia berpisah dengan kampung halaman dan kaum keluarga dan para kerabat di tanah air. Meski rutin (setidak-tidaknya setiap tiga tahun) ada kesempatan untuk berlibur, perhatiannya  memang tidak utuh untuk ke NTT dan Indonesia. Sebab hati dan jiwanya sudah tercurah untuk umatnya di Argentina dan sekarang di Kuba. 

Padre Amans sekarang tidak hanya milik NTT. Ia juga bukan hanya Indonesia, tapi milik Argentina dan Kuba, milik dunia. Ia adalah bagian dari ‘warga mondial’. Makanya, sekarang ia tidak dicintai oleh orang NTT dan Indonesia saja, melainkan  diakui, dihargai dan dikasihi oleh warga mondial. Sebab ia telah mengasihi dan melayani mereka dengan sepenuh hati, dengan seluruh akal budi  dan dengan sekuat tenaga.

Cinta warga mondial untuk Padre Amans tercermin jelas dari cuplikan ucapan dan komentar berikut ini.

Pemilik akun facebook atas nama Silvia Olivera dari Docente en Escuela Efa. San Arnoldo Janssen Puerto Esperanza Misiones menulis begini, “Hari ini 14 Mei adalah hari ulang tahunnya, mentor EFA San Arnoldo Janssen di Puerto Esperanza, Misiones. Selamat ya, Padre Amans Laka SVD. Terima kasih karena engkau selalu memikirkan kaum muda  di komunitas kami. Hari ini seluruh warga komunitas pendidikan memelukmu dalam kejauhan!

Kami bersyukur kepada Tuhan karena telah memilikimu dalam hidup kami. Sekarang pater sudah menjadi, misionaris untuk dunia, untuk negeri Kuba. Semoga Santo Arnoldus, pendiri SVD selalu memberi berkat untukmu!”

Cascadas Cristalinas (kanan) dan sahabatnya,  umat  yang  pernah dilayani  Padre Amans di Puerto Esperanza, Misiones Agentina

Cascadas Cristalinas  juga dari  Puerto Esperanza, Misiones, Argentina juga menyatakan kasihnya pada Padrea Amans. Pada Kamis 3 Juni 10.10 waktu Argentina dia menulis begini: 

“Terima kasih Padre Amans Laka! Langkahmu untuk kotaku, Pelabuhan Harapan, Misi, Argentina telah meninggalkan jejak terbaik di hati semua oran,  terutama pada orang-orang hebat  di komunitas Sekolah Republik Indonesia di mana saya menjadi bagian aktif dan berkomitmen, berkat manajemen dan bimbingan berharga Anda! 

Saya ingin kamu tahu, bahwa saya mengagumi kerendahan hatimu dalam kesepakatan dan semangat itu berhasil maju dalam banyak proyek yang menyebabkan perubahan transendental di setiap sudut desa saya!

Gaya manajemenmu begitu interaktif dan murah hati telah menjadi contoh, menumbuhkan harapan, dan membawa perubahan besar untuk masyarakat!

Engkau  telah mendidik dengan hati dan melakukan segala sesuatu dengan semangat injil,  serta membawa   begitu banyak anak remaja dan muda lebih dekat dengan gereja! Pencapaianmu menginspirasi mereka untuk mengikuti jalan Tuhan dan melakukan kebaikan serta kasih! 

Syukur tiada berhingga ketika kami mengingat Padre Amans! Mustahil kami melupakan begitu banyak karya, begitu banyak perubahan di komunitas kami! Kami merindukan senyummu yang tulus,  indah, murni dan rela untuk semua orang!

(Kami) sangat merindukan, Padre Amans tersayang! Tuhan tahu tentang pekerjaanmu yang tak kenal lelah! Ia akan memberikan panen terbaik atas benih yang telah ditaburkan di atas ladang yang subur. Mari kita hidup dan belajar untuk selalu bersyukur kepada Tuhan!” (BERSAMBUNG)

Oleh Maxi  Ali Perajaka, berdasarkan percakapan dan  pesan tertulis melalui aplikasi WhatsApp.

RELATED NEWS