Sisi Lain Tradisi Semana Santa di Larantuka - Flores Timur (1)
redaksi - Selasa, 30 Maret 2021 15:36Semana Santa merupakan ikon dari Flores Timur dan menjadi daya tarik tarik tersendiri, baik bagi peziarah maupun wisatawan. Selain menggeliatkan ekonomi dan pariwisata, tradisi ini juga menjadi wujud toleransi antar umat beragama di Flores Timur.
SEMANA SANTA adalah ritual perayaan Pekan Suci Paskah yang dilakukan selama tujuh hari berturut-turut oleh umat Katolik di Larantuka dimulai dari Minggu Palma, Rabu Trea, Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Suci hingga perayaan Minggu Halleluya atau Minggu Paskah.
Kata semana santa berasal dari bahasa Portugis semana yang berarti "pekan" atau "minggu" dan santa yang berarti "suci". Secara keseluruhan, Semana Santa berarti ‘Pekan Suci.” Warga lokal biasa memaknainya sebagai Hari Bae
Perayaan Semana Santa sebenarnya terjadi di tiga tempat ini yang kerap disebut dengan Hari Bae di Nagi, Hari Bae di Konga, dan Hari Bae di Wureh.
Perayaan ini menempatkan Yesus dan Bunda Maria yang berkabung menyaksikan penderitaan anaknya sebelum dan saat disalibkan sebagai pusat ritual
Wureh adalah sebuah desa yang memiliki pengaruh kuat dari budaya Portugis. Desa ini terletak di Pulau Adonara atau tepatnya di Kecamatan Adonara Barat yang dapat ditempuh dengan transportasi laut selama 20 menit dari kota Larantuka.
Dalam praktiknya saat ini, upacara Semana Santa dimulai pada Rabu Trea, dimana digelar doa di Masa Prapaskah. Pada kesempatan ini, umat Katolik setempat dan para peziarah berkumpul dan berdoa di kapel Tuan Ma demi mengenang kisah pengkhianatan terhadapa Yesus oleh Yudas Iskariot di Taman Getsemani.
Pada malam harinya, ritual bebunyian dilangsung sebagai simbol atas penangkapan Yesus oleh para imam Yahudi bersama para sardadu Romawi, yang kemudian diseret dan diseah hingga di bawah ke pengadilan agama dan pengadilan oleh gubernur kolnial Romawi, Pilatus.
Pada hari Kamis Putih, suasana kota Larantuka sunyi dan sepi, karena gereja sedang melangsungkan ucapaca Tikam Turo. Upaca ini adalah pemasangan lilin di sepnajang jalan yang nantinya dilewati oleh prosesi Jumat Agung.
Legenda Tuan Ma
Semana Santa merupakan campuran dari warisan Portugis dan tradisi lokal. Tradisi ini tak bisa lepas dari kehadiran Tuan Ma yang melegenda. Kisah mengenai Tuan Ma menjulur-julur hingga jauh ke masa lalu, sekitar tahun 1510.
Konon, sekitar 500 tahun silam di pantai Larantuka, angin tenang, ombak pun pelan Saat itu laut sedang surut. Seorang bocah dari suku Resiona -yang kemudian dikenal dengan nama Wilhelmus Resiona- bermain di pinggir laut untuk mencari ikan dan siput di sela-sela karang
Saat itulah dia menemukan patung seorang perempuan di tepi laut. Patung itu kemudian dibawa pulang, untuk diserahkan kepada nenekny dan disemayamkan di Korke (rumah adat). Mulai saat itu, warga Larantuka yang masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme, menganggap patung itu sebagai 'benda keramat'.
Hikayat lain menyebut, pemuda Resiona itu melihat seorang dewi yang berjalan di atas air. Takjub dengan apa yang dilihatnya, pemuda itu kemudian bertanya kepada perempuan yang ditemuinya itu, namun sang dewi menjawab dengan bahasa yang tidak dia pahami.
Dia lalu melaporkan apa yang dilihatnya kepada tetua Suku, namun ketika dia dan pembesar suku datang kembali, sang dewi sudah berubah menjadi patung yang cantik dengan raut wajah yang syahdu.
Di dekat patung itu berdiri, kerang-kerang tersusun membentuk simbol-simbol yang tidak mereka pahami - baru kemudian setelah kedatangan misionaris, mereka mengetahui bahwa tulisan itu berbunyi 'Santa Maria Reinha Rosari'.
Kemudian, Raja Larantuka saat itu menjadikan patung itu sebagai dewi yang mereka sembah. Setiap kali mereka melakukan hal besar mereka memulainya dengan meminta restu dari patung itu. Mereka datang berdoa sebelum membuka lahan untuk bercocok tanam. Mereka juga datang bersujud untuk mohon kesembuhan di kala sakit. Bahkan ketika hendak berperang melawan musuh. Yang menakjubkan, merais sukses karena do aitu.
Masyarakat sekitar Larantuka menyebut patung itu sebagai Tuan Ma. Secara harafiah, Tuan Ma berasal dari kata ‘tuan’ dan kata ‘mama’. Sementara masyarakat Lamaholot menyebutnya Rera Wulan Tanah Ekan, Dewa Langit dan Dewa Bumi. (*) bersambung.