Sitor Situmorang: Penyair dari Danau Toba - Catatan Singkat tentang Sebuah Ingatan Akan Dia
redaksi - Jumat, 15 November 2024 22:59Oleh: Fransiskus Borgias
Pengantar
Sitor Situmorang. Ya, itulah nama orangnya. Sitor Situmorang. Saya akan menulis namanya dengan singkat, SS saja. SS adalah penyair kondang dari danau Toba nan indah. Ia telah menulis banyak puisi dan artikel. Di perpustakaan kami di Fakultas Filsafat UNPAR, hanya terdapat enam koleksi buku dia, lima di antaranya adalah buku kumpulan puisi dia.
Dua di antaranya adalah buku tebal yang disunting oleh JJ Rizal, yang mengumpulkan puisi-puisi dia dalam dua tahap: koleksi 1948-1979 dan koleksi 1980-2005. Judul koleksi Rizal ini ialah Sitor Situmorang, Kumpulan Sajak (dengan kedua periode tadi).
Bagi saya semua sajak (puisi, menarik bahwa Goenawan Mohammad, tampaknya lebih suka memakai kata sajak ketimbang puisi, mungkin karena kata sajak itu lebih Melayu, sedangkan puisi itu berbau terjemahan dari bahasa asing, Yunani, poesis), menarik, indah, dan renyah dikunyah dan diolah hati.
Satu hal lagi yang penting dan menarik bagi saya. Ia banyak sekali melang-lang buana, terutama ke Eropa (saya belum pernah membaca informasi perjalanan dia ke Amerika Serikat, selain ada dalam salah satu puisinya tentang Brooklyn New York, walau yang ia bahas di sana ialah tentang rasa kagumnya akan Patung Liberty yang kokoh perkasa itu).
Ia melanglang buana, bukan terutama sebagai turis, sang “raja kelana”, dalam bahasa ungkapan Ismail Marzuki, dalam teks lagu Rayuan Pulau Kelapa yang indah itu. Melainkan sebagai pembelajar, sebagai orang yang menimba ilmu, maupun juga orang yang mencoba menebar ilham kepada orang-orang lain yang dijumpainya. Saya sangat yakin bahwa itulah yang menjadi sumber ilmu dan kreatifitas daya imajinasi dia.
Seperti kata sebuah ungkapan dalam local wisdom (hikmat setempat) orang Manggarai dulu: Banyak berjalan (do lako, banyak melang-lang buana, sebagai “raja kelana”), banyak melihat (do ita, bisa melihat banyak hal, terjadi perjumpaan, interaksi, interelasi, dialog, bahkan juga bisa mengendap dalam monolog dan soliloquy); lalu karena banyak melihat (do ita), maka bisa banyak tahu (do bae, tahu banyak, banyak tahu, bisa mengkonstruksi ilmu dari pengalaman dan pengamatan, permenungan, pemikiran ulang, pengujian kembali, dll). Lalu dari do bae tadi, bisa bermuara ke do nganceng pande (bisa berbuat banyak, dalam arti membuka peluang lapangan kerja, dan dengan cara itu bisa membantu banyak orang, bisa berkontribusi dalam proses transformasi sosial).
Aku Pengagum SS
Nama SS, bukan nama baru bagi saya. Dulu sewaktu masih di seminari kecil dan menengah saya juga membaca karya-karya dia di beberapa majalah sastra (Horizon) maupun majalah yang mempunyai rubrik sastra (seperti Basis) misalnya. Hanya sayangnya tidak ada judul yang bisa saya ingat. Tetapi yang jelas, saya sangat menikmati membaca puisi-puisi beliau.
Entah mengapa, rasanya enak dan nikmat saja. Ibarat makan, rasanya terasa cocok di lidah, aromanya pun terasa cocok dengan penciuman, sehingga bisa dikunyah dengan penuh meditasi dan kontempasi, bak hewan kontemplatif-meditatif seperti sapi atau lembu, yang saat istirahat, mengeluarkan kembali rumput yang sudah dilunakkan di dalam lambungnya, lalu ia mengunyahnya kembali, dengan tatapan mata yang fokus ke suatu titik tertentu, bak rahib yang sedang merenung, meditasi, dan sudah masuk ke dalam keheningan mistik.
Bulan lalu saya ke Gramedia di Festival City Link di Bandung, dan membeli beberapa buku. Salah satunya ialah buku koleksi Catatan Pinggir (disingkat Caping) dari Bapak Goenawan Muhammad (GM), jilid 15, jilid pamungkas Caping beliau di Tempo, sebab sejak saat itu bapak GM berhenti menulis, lalu Caping itu berganti nama menjadi Marginalia, dan ditulis oleh beberapa penulis seperti Ayu Utami, Martin Lukito Sinaga, Robertus Robet, dan beberapa nama lain yang tidak saya hafal semuanya. Namun demikian sesekali Bapak GM masih muncul ikut menulis dalam rubrik Marginalia itu.
Dalam koleksi Caping jilid ke-15 ini, di halaman 455-456, saya temukan lagi salah satu sajak SS dengan judul yang sangat menarik, “Kristus di Medan Perang.” Ini sebuah judul yang sangat menarik dan bisa menimbulkan banyak pertanyaan dan bahkan pro dan kontra tentang maknanya. Bapak GM memakai sajak itu sebagai pamungkas bagi refleksinya tentang kekerasan agama, kekerasan atas nama agama.
Paus: Memelihara Hati Dengan Puisi
Mungkin ada pembaca yang bertanya kritis, mengapa kok saya tiba-tiba membahas sajak (puisi). Membaca, menafsirkan puisi adalah salah satu hobi saya sudah sejak lama. Bahkan saya juga menulis puisi sejak masih sangat muda, yaitu sejak kelas 1 SMP.
Saya ingat bahwa puisi saya yang pertam, saya tulis saat kelas 1 SMP di Seminari Pius XII Kisol, lalu saya kirim ke Majalah Anak-anak di Ende, namanya Kunang-kunang. Baru diterbitkan setahun kemudian, setelah saya duduk di kelas 2 SMP Seminari Kisol. Senang sekali rasanya. Hingga saat ini koleksi puisi saya sudah banyak, walaupun belum ada yang terbit sebagai buku.
Beberapa waktu yang lalu, Paus Fransiskus pernah mengeluarkan surat edaran, sayang saya lupa judulnya. Dalam surat edaran itu, Bapa Suci mendorong agar para calon imam yang sedang belajar filsafat dan teologi, jangan lupa membaca puisi, sebab puisi itu memberi asupan rohani tertentu ke dalam jiwa kita manusia.
Ternyata apa yang dikatakan Paus dalam surat itu, muncul Kembali dalam ensikliknya yang terbaru, Dilexit Nos (Ia Mencintai Kita), yang terbit tanggal 24 Oktober 2024 yang lalu. Dokumen Dilexit Nos itu berbicara tentang hati manusia, di mana Paus mendorong kita manusia agar memberi perhatian yang serius kepada hati kita.
Dalam salah satu nomor dari Dilexit Nos itu, Paus menekankan arti penting puisi itu sebagai sebuah makanan rohani bagi hati manusia. Jika kita mau memelihara hati kita, kita harus membaca puisi. Kira-kira begitulah kurang-lebih kata beliau.
Itulah yang mendorong saya mulai menekuni kembali dunia puisi itu secara sangat serius. Ya itu tadi, mau memberi asupan rohani kepada hati, agar hati tidak menjadi gersang, dilanda kegersangan rasa, suatu yang dalam teori hidup rohani, dipandang sebagai sesuatu yang berbahaya bagi jiwa manusia.
Menafsir “Kristus di Medan Perang”
Tetapi pada saat saya membaca kembali baris-baris saja itu, maka timbullah percik-percik ilham dan imajinasi yang lain di dalam hati dan budi saya yang lalu menetes menjadi butir-butir tafsir, percik-percik hermeneutic. Tulisan ini tidak lain dimaksudkan untuk mencatat butir-butir atau percik-percik ilham tafsir itu.
Tetapi sebelumnya saya kutip terlebih dahulu sajak SS itu di sini secara lengkap. Saya kutip dari bapak GM, walaupun sajak itu bisa juga ditemukan dalam koleksi Rindu Kelana dari SS sendiri (hlm.47; Jakarta: Grasindo, 1994).
Kristus di Medan Perang.
Sajak: Sitor Situmorang
Ia menyeret diri dalam lumpur
Mengutuk dan melihat langit gugur
Jenderal pemberontak segala zaman,
Kuasa mutlak terbayang di angan!
Tapi langit ditinggalkan merah,
pedang patah di sisi berdarah,
Tapi mimpi selalu menghadang,
Akan sampai di ujung: Menang!
Sekeliling hanya reruntuhan,
Jauh manusia serta ratapan,
Dan di hati tersimpan dalam:
Sekali ‘kan dapat balas dendam!
Saat bumi olehnya diadili,
dirombak dan dihanguskan,
seperti Cartago, habis dihancurkan,
dibajak lalu tandus digarami.
Tumpasnya hukum lama,
Menjelmanya hukum Baru,
Ia, yang takkan kenal ampun,
Penegak Kuasa seribu tahun!
(1955).
Setelah membaca sajak ini, muncul sebuah pertanyaan dalam diri saya, apa artinya sajak ini? Bagaimana cara menafsirkannya dan memahaminya? SS itu mau omong tentang apa sih? Tentu saya sudah tidak bisa lagi bertanya tentang hal-hal itu secara langsung kepada SS. Hal itu sudah tidak mungkin lagi. SS sudah mati.
Tetapi bukan itu yang penting bagi saya sekarang ini. Yang penting untuk saya ialah SS sudah mati secara hermeneutic. Beberapa filsuf hermeneutic, seperti Ricoeur, Derrida, Gadamer, berbicara tentang matinya sang pengarang saat satu karyanya sudah terbit, sebab pada saat itu karya tadi sudah sangat berjarak dari dia.
Tetapi kondisi “berjarak” seperti itu amat karya, penuh dengan kandungan makna secara hermeneutik, sebab distansi itu menyebabkan satu karya banyak dilumuri lemak-lemak makna, karena ada banyak mata dan pikiran yang mencoba menafsirkannya.
Saya adalah dan hanyalah salah satu dari antara para hermeneut itu, orang yang membuat penafsiran, kerja-kerja hermeuse. Dalam rangka itu saya mencoba mencari pintu masuk ke dalam bangunan sajak SS di atas tadi. Saya memerlukan pintu itu untuk dapat menyibak dan menguak tabir.
Saya menemukan pintu itu di bagian menjelang akhir dari puisi, saat SS menyinggung kota Cartago. Entah peristiwa apa yang dipikirkan dan dibayangkan SS saat menyebut nama kota di Afrika Utara itu.
Entah buku apa yang dibaca SS sehingga tiba-tiba ia menyebut nama kota yang sudah sangat berumur itu (sebab sudah ada sejak sebelum Masehi). Atau drama atau film apakah yang ditonton SS sehingga ia tiba-tiba menyebut nama kota itu.
Terlontar Jauh ke Masa Silam
Tetapi saat saya membaca baris itu, pikiran saya terlempar jauh ke abad 5 Masehi jauh di masa silam, saat kuasa kekaisaran Roma mulai meredup dan akhirnya runtuh pada tahun 476. Terkait dengan hal ini saya sudah membaca banyak buku Sejarah Gereja dan juga Sejarah dunia. Salah satu buku Sejarah dunia yang say abaca ialah buku dari Edward Gibon, buku babonnya, tentang Sejarah kenaikan dan kemerosotan Kekaisaran Roma (The Rise and the Fall of the Roman Empire).
Sedangkan salah satu buku Sejarah gereja yang saya baca ialah buku dari Henri Daniel-Rops: The Church in the Dark Ages Volume I (Garden City: New York, Image Books, 1960).
Dengan gaya yang sedikit bercorak naratif, orang ini mengisahkan proses penghancuran Afrika Utara oleh bangsa Vandalis yang melabrak habis jejak-jejak kekaisaran Roma, baik di daratan Italia, maupun di Afrika Utara: Kartago, Hippo. Semuanya hancur, luluh lantak menjadi berantakan. Seperti kata SS dalam sajak itu: “Seperti Cartago, habis dihancurkan, // dibajak lalu tandus digarami,// Tumpasnya hukum lama.”
Cartago itu adalah ibu kota propinsi Afrika, salah satu propinsi Kekaisaran Roma di Afrika Utara. Sebelum ditaklukkan Roma pada abad dua sebelum masehi, Carthago adalah satu kekuatan militer tersendiri yang sangat disegani dan ditakuti oleh musuhnya. Di sini terkenallah jenderal yang bernama Hannibal dengan pasukan gajahnya yang merangsek ke eropa bahkan sampai mengancam Prancis Selatan.
Sebelum dikuasai Roma, ia menjadi kota besar yang patut diperhitungkan. Setelah dikuasai Roma, ia menjadi salah satu propinsi dan pada saat itu iman kristen juga menyebar dan meresap dalam-dalam di sana. Hingga terkenallah uskup Cyprianus dari Carthago itu (terutama antara lain dengan ucapannya: Extra Ecclesiam Nulla Salus).
Sedikit sesudahnya, kota kecil tetangganya, yang bernama Hippo, juga terkenal karena ada Santo Agustinus, uskup Hippo, yang menjadi pemikir agung Kekristenan Barat dan daya pengaruhnya masih terasa hingga saat ini. Baris sajak SS “Menjelmanya hukum Baru,” serta merta mengingatkan saya akan Agustinus ini. Di sini di dalam sepotong ungkapan pendek itu, terjadi sebuah pembalikan total, die Umwertung aller Werte: “Tumpasnya hukum lama,// Menjelmanya hukum Baru.” Apa itu? Apa yang dirujuk SS dengan baris sajak ini?
Civitas Dei dari Santo Agustinus
Pada saat itulah santo Agustinus mewacanakan pembalikan total itu dalam buku babonnya The City of God, atau Civitas Dei yang terkenal itu. Kuasa dan tata hukum Roma, hancur oleh serangan kaum Vandalis, Got, Visigoth, Ostrogoth.
Peristiwa ngeri itu sempat menimbulkan pesimisme, kemurungan, dan kegoncangan mental yang teramat besar bagi orang Kristen di dalam lingkup kekaisaran Roma. Tetapi dengan buku itu Agustinus mencoba mewartakan satu harapan, a whispering hope.
Di atas puing-puing reruntuhan Roma akan muncul Gereja, tata hukum yang Baru. Jaman Roma berlalu, dan dengan itu dimulailah jaman Gereja.
Tetapi sebagai orang Kristen Katolik, dua baris terakhir itu terasa mengganggu: Sebab SS berkata: “Ia, yang takkan kenal ampun,// Penegak Kuasa seribu tahun!”
Entah apa yang dipikirkan SS tentang hal ini. Mungkin saja SS mempunyai visi negative tentang gereja, tentang kekristenan, tentang Paus, mungkin juga tentang Yesus sendiri.
Entahlah. Saya tidak bisa menduganya. Mungkin saja begitu. Mungkin juga tidak demikian. Yang jelas, sebuah hukum Baru, menjelma, ada sosok yang takkan kenal ampun, yang ditengarai sebagai Penegak kuasa seribu Tahun!
Dalam kacamata apokaliptik Kristen, kuasa seribu tahunan itu dikenal dengan sebutan milenarisme yang disinggung dalam Kitab Wahyu itu (Wahyu 20:2-7).
Terkadang ada juga sejarawan yang menafsirkan masa 1000 tahun itu ialah Kristendom pada Abad Pertengahan itu sendiri, di mana Gereja sangat berkuasa dari abad kelima sampai dengan abad keenambelas saat munculnya era filsafat modern yang ditandai dengan cogito Cartesian itu.
Dan juga perkembangan sains yang sangat dahsyat di Eropa yang kemudian menghembuskan angin atau mungkin juga badai sekularisasi hingga kini. Mungkin Kristendom model ini yang dipandang dan dibayangkan SS sebagai “takkan kenal ampun”, apalagi jika kita ingat inquisisi dan imperialisme dan kolonialisme Barat pasca revolusi industri yang amat membutuhkan pasar itu.
Akhirnya
Apa pun itu, saya berpikir bahwa kita tidak usah terlalu menyalahkan Eropa juga dengan nafsu imperialisme dan kolonialismenya, sebab hal ini hanyalah sebuah pantulan atau reaksi dari fenomena yang sama atas apa telah yang dilakukan orang-orang lain atas Mediterania dan Eropa yang serba terkepung dan terancam selama duabelas abad (dari abad ke-8 hingga abad ke-20). Sebuah imperialisme dan kolonialisme yang tidak ada tandingan dan bandingannya sampai sekarang ini.
Kondisi itu kemudian memaksa Eropa mencari pelbagai kemungkinan untuk keluar dari kondisi terkepung itu agar dapat mencari dan menuju dunia baru, sayangnya untuk menjadi para penindas baru.
Ya Sejarah memang begitu rupanya, seperti disiratkan Paul Kennedy dalam buku bestsellernya, the rise dan the fall of the great power itu (London: Fontana Press, 1989).
Akhirnya kembali lagi ke SS. Apapun yang dibayangkan SS di dalam puisinya itu, yang jelas, seperti kata GM, ada unsur keagamaan di sana, ada unsur kekerasan, kekerasan dalam bungkus dan nama agama.
Dan kekerasan atas nama agama, dan bungkus agama memang sangat mengerikan, sebab seakan-akan ia berada melampaui segala macam kritik dan wacana kritis karena klaim mendapat sabda dari langit, agama samawi yang tidak boleh ditentang makhluk manusia yang hanya berdiri bengong dan terperangah di atas bumi ini. ***