SOROTAN AKHIR TAHUN 2025: Miris! Oknum ASN 'Nyambi; Jadi Driver pada Jam Kerja: Mengapa Ini Terjadi?
redaksi - Jumat, 19 Desember 2025 15:08
Ilustrasi: Oknum ASN jadi driver ojek online pada jam kerja (sumber: ChatGPT)Oleh: Silvia & Tim Redaksi
BELAKANGAN ini publik dikejutkan oleh fenomena yang semestinya tidak lazim: oknum Aparatur Sipil Negara (ASN) yang “nyambi” mencari penghasilan tambahan pada jam kerja.
Di Kabupaten Nagekeo, misalnya, tim redaksi Floresku.com yang memergok beberapa ASN yang beroperasi sebagai sopir angkutan kota (angkot) pada hari pasar, meskipun hari tersebut bukan hari libur.
Di Kabupaten Sikka, Floresku.com juga menemukan ada beberapa oknum ASN yang menjalankan ojek online pada jam kerja.
Bahkan, sejumlah nara sumber media ini menungkapkan bahwa fenomena seperti itu terjadi di beberapa kabupaten lain.
Yang memprihatinkan, ada informasi yang menyebut bahwa ada oknum-oknum ASN yang terlibat judi online—ironisnya juga dilakukan pada hari dan jam kerja.
Fenomena ini tidak bisa disederhanakan sebagai sekadar pelanggaran disiplin kehadiran. Ini menyentuh wilayah yang lebih serius: pelanggaran kode etik profesi ASN, pengkhianatan terhadap mandat publik, serta degradasi martabat birokrasi sebagai pelayan masyarakat.
Lebih dari Sekadar Absen Kantor
ASN bukan pekerja lepas. Mereka digaji dari uang rakyat untuk melaksanakan tugas negara: memberikan layanan publik yang profesional, adil, dan akuntabel.
Ketika seorang ASN meninggalkan tugas untuk mengangkut penumpang, menarik order ojek online, atau berjudi daring di jam kerja, yang dirugikan bukan hanya kantor atau atasan langsung, melainkan masyarakat luas. Pelayanan menjadi lambat, keputusan tertunda, dan kepercayaan publik terkikis.
Lebih jauh, tindakan tersebut melanggar prinsip dasar ASN sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ASN dan berbagai regulasi turunannya: integritas, profesionalitas, netralitas, serta akuntabilitas. Kode etik ASN menuntut kesetiaan pada tugas, bukan pada “cuan” personal di waktu negara.
Mengapa Ini Terjadi?
Ada beberapa faktor struktural dan kultural yang patut dikritisi secara jujur.
Pertama, persoalan ekonomi dan kesejahteraan. Tidak bisa dipungkiri, sebagian ASN—terutama di daerah—menghadapi tekanan ekonomi yang nyata: kebutuhan keluarga, biaya pendidikan, dan inflasi. Namun, alasan ekonomi tidak bisa membenarkan pelanggaran etika. Banyak profesi lain menghadapi tekanan serupa tanpa meninggalkan tanggung jawab utama mereka.
Kedua, lemahnya pengawasan dan penegakan disiplin. Jika oknum ASN berani beroperasi sebagai driver angkot atau ojek online pada jam kerja, itu menandakan kontrol internal yang longgar. Absensi formal bisa dimanipulasi, pengawasan lapangan minim, dan sanksi sering kali tidak tegas atau tidak konsisten.

Ketiga, krisis etos dan budaya kerja. Di sejumlah birokrasi lokal, jam kerja dipersepsikan sekadar formalitas. Selama “tidak ketahuan” atau “asal hadir absen”, tugas dianggap selesai. Budaya seperti ini subur bagi praktik menyimpang, termasuk judi online di jam kerja—sebuah perilaku yang tidak hanya melanggar etika, tetapi juga merusak psikologis dan finansial pelakunya.
Keempat, normalisasi penyimpangan. Ketika pelanggaran kecil dibiarkan, ia akan menjadi kebiasaan. Hari ini nyambi jadi driver, besok berjudi online, lusa menyalahgunakan kewenangan. Semua bermula dari toleransi terhadap penyimpangan etika.
Dampak Sistemik yang Serius
Jika dibiarkan, praktik ini akan berdampak sistemik. Publik akan semakin sinis terhadap ASN, menganggap birokrasi tidak profesional dan tidak layak dipercaya. ASN yang bekerja jujur dan disiplin pun ikut tercoreng. Lebih jauh, negara dirugikan secara finansial dan moral.
Dalam konteks daerah seperti Nagekeo dan Sikka—yang tengah berjuang meningkatkan kualitas layanan publik dan pembangunan—perilaku oknum ASN semacam ini adalah kemunduran serius.
Solusi: Tegas, Adil, dan Manusiawi
Masalah ini membutuhkan solusi yang tegas sekaligus solutif, bukan sekadar reaktif.
Pertama, penegakan kode etik dan disiplin secara konsisten. Inspektorat daerah, BKD, dan pimpinan OPD harus bertindak tegas tanpa pandang bulu. Sanksi harus nyata dan proporsional, dari teguran keras hingga hukuman disiplin berat jika pelanggaran berulang. Ketegasan bukan untuk menghukum semata, tetapi untuk mendidik dan memulihkan marwah ASN.
Kedua, penguatan sistem pengawasan berbasis kinerja dan output, bukan sekadar absensi. Jam kerja harus diisi dengan target yang jelas dan terukur. ASN yang tidak mencapai target harus dievaluasi, bukan dibiarkan “menghilang” di tengah jam kerja.
Ketiga, pendekatan kesejahteraan yang realistis. Pemerintah daerah perlu jujur mengevaluasi apakah tunjangan kinerja dan insentif sudah cukup adil dan berbasis kinerja. Bukan untuk membenarkan pelanggaran, tetapi untuk menutup celah rasionalisasi yang sering dipakai oknum.
Keempat, pendidikan etika dan pembinaan mental ASN. Kode etik tidak cukup dibagikan dalam bentuk dokumen. Ia harus diinternalisasi melalui pembinaan rutin, keteladanan pimpinan, dan budaya organisasi yang sehat. Pimpinan yang permisif adalah pintu masuk kehancuran etika birokrasi.
Kelima, penanganan khusus untuk judi online. Ini bukan hanya pelanggaran disiplin, tetapi juga masalah sosial dan psikologis. ASN yang terindikasi judi online perlu ditangani melalui mekanisme disiplin sekaligus rehabilitatif, termasuk konseling dan pengawasan ketat.
Penutup
ASN adalah wajah negara di hadapan rakyat. Ketika wajah itu tercoreng oleh praktik nyambi di jam kerja dan perilaku tidak etis, yang runtuh bukan hanya citra individu, tetapi wibawa negara. Karena itu, fenomena ini harus dihentikan dengan keberanian moral, ketegasan hukum, dan kebijakan yang berpihak pada profesionalisme.
Ini bukan soal melarang orang mencari nafkah tambahan, melainkan soal menjaga kehormatan profesi ASN dan memastikan bahwa setiap rupiah yang dibayarkan negara benar-benar kembali kepada rakyat dalam bentuk pelayanan yang bermutu. Tanpa itu, birokrasi akan kehilangan legitimasi—dan itu jauh lebih mahal daripada sekadar “cuan” sesaat. ***

