SOROTAN: Antara 'Bocor Alus' dan 'Masyarakat Bocoran'
redaksi - Sabtu, 23 November 2024 08:29Oleh P. Kons Beo, SVD
“Jika kita menabur kata-kata di sekeliling kita tanpa memperhatikan makna dan kebenarannya, maka secara harafiah kita dapat membunuh orang lain…” (Radcliffe – ‘What is the Point of Being a Christian, 2005)
Meretas Info
Ini bukan rasa cemburu. Namun bukanlah pula rasa kagum. Entah seperti apa sebenarnya rasa di hati, dan isi pikiran di kepala. Siniar “Bocor Alus Tempo” sudah ternilai piawai.
Gesit memburu info. Lima sekawan Egy Adyatama, Francisca Christy Rosana, Husein Abri Donggoran, Raymundus Rikang, dan Stefanus Pramono sepertinya sudah tembusi rawa-rawa dan rimba raya sosial politik tanah air.
Dan ini sungguh sudah bikin pemirsa jadi melongo. Dan memburunya ramai! Untuk disimak sejadinya.
Ada misi yang tak main sembunyi-sembunyi lagi. “Menyajikan diskusi politik yang informatif, tajam dan menarik.”
Ringkas sederhananya begini: Lima sekawan itu, setelah kembali dari pengembaraan, iya jarahan pun dibawanya serta. Lalu digagaskan satu tema dalam bincang-bincang politik. Dan terciptalah satu suasana dialog ringan.
Penuh jenaka tanpa beban. Namun sebenarnya isinya berat memang. Apalagi jika mesti bersentuhan, bersenggolan atau apalagi berbenturan dengan ‘tembok tebal kekuasaan.’
Sebab taruhan risikonya bisa saja tak main-main. Tak mungkin, misalnya, bahwa crew Bocor Alus ini bebas teror dan intimidasi.
Bola Liar Bergelinding
Menatap Bocor Alus, tampaknya ia ‘asal omong.’ Terkesan ‘memang usil.’ Bikin kulit rasa ‘melepuh.’ Bocor Alus itu macamnya sekedar ‘lempar-lempar kata. Tapi sudah mengandung umpan terobosan pendek agar segera disontek atau disambar publik.
Tetapi, tentang satu tema tertentu misalnya, sungguhkah Bocor Alus begitu mudah merekam info yang katanya ‘dapat sumber dari ini dan dari itu.’
Dari orang dekat, tangkap info dari orang penting, dari orang kepercayaan, orang di ring satu, pun dari keluarga, yang nota bene orang dalam? Entahlah!
Tapi, wah, jangan-jangan info itu datang ‘benar dan sungguh dari ‘orang dalam.’ Katakan semisal dari ‘orang Partai’ yang bocor alus-kan ke crew Bocor Alus. Maklumlah, ‘orang dalam itu’ lagi tak puas dengan Partai nya. Ada konflik internal karena kepentingan.
Dari pada dapat sanksi politik dari Partai bila bicara terbuka, wah mumpung ada Bocor Alus. Tumpahkan saja unek-unek walau di level tipis-tipis dan alus-alus.
Ini baru satu contoh ‘orang dalam.’ Siapa yang tak berminat menikmati isu bila memang ada bunyi-bunyi dari orang dalam?
Makanya, jadilah, itu tadi, Bocor Alus sekian melejit di rating pemirsanya. Itu juga yang disinyalir oleh pihak YouTube. Bocor Alus sudah dapatkan pula penghargaan dari Oktavianus Pogau Award milik Yayasan Pantau.
Lima sekawan ini memang punya cara penyajian yang memang bikin ‘gemas campur bikin orang bisa terpancing marah.’
Berat Dibikin Enteng
Tema berat itu dibawakan dengan cara enteng, ringan dan penuh candaan. Seolah-olah ingin mengolok-olok orang yang dipercakapkan itu, “Lu mau sembunyi apalagi dan di mana lagi?
Kami sudah mengekor jejak-jejak senyapmu demi kekuasaan, demi jabatan dan demi kepentinganmu. Semuanya kami sunting dari orang dalam.”
Tentu, Bocor Alus punya pengaruh sosial pula. Kata-kata, pikiran, candaan, serba suara Bocor Alus yang dilentingkan itu segera bisa disambar publik.
Tak mungkin, bahwa para politisi yang kontra tak menggemari tema sengit berkaitan dengan lawan politiknya yang lagi ‘diacak-acak’ oleh Bocor Alus. Gemuruh sosial tak terhindar.
Tapi, sudahlah! Namanya kebebasan berpikir dan berpendapat yang dijamin Undang-Undang Dasar yang tak boleh dikebiri. Bocor Alus mau omong sebebas merdekanya.
Sisi Lain Bocor Alus
Bagaimana pun, banyaknya penggemar Bocor Alus tak berarti ia bebas dari penilaian kritis! Lima Sekawan itu, saat kumpul-kumpul, bisa saja lagi bekerja sama ‘untuk memasang potongan-potongan masing-masing info agar nantinya terlihat dan terdengar sebagai satu mozaik peristiwa.
Ada yang beri info, ada yang bertanya, ada yang tegaskan, ada yang seolah membenarkan! Asyik kan? Ringan, enak, mengasyikkan, dan digemari publik. Mungkin karena itulah kebanyakan berlima itu sekian bebas dalam canda dan tawa….
Namun, di sisi lain? “Sumber belum jelas, hanya sebagai pengantar berita, bersifat subyektif” itulah yang dikritisi (cf Annisa Adelina).
Katakan begini saja, alih-alih merakit kejadian dengan narasi logik ‘sebab akibat, dengan silogisme premis mayor – minor hingga mengarah pada ergo sebagai konklusi, Bocor Alus juga bisa diduga tengah terjerembab dalam ‘keasyikan saling menyesatkan.’
Toh, namanya juga bicara atau beropini dari sudut pandang pribadi. Di situ tak ada narasi kontra atau argumentum yang menantang atau sebagai pembanding tegas.
Iya, seputar berlima itu saja yang mengkaroseri potongan-potongan info jadi satu bingkai kejadian hasil rembukan bersama. Walau samar-samar, tapi cukup mengandung umpan bagi publik untuk menjelajahi lebih jauh.
Dan persis seperti itulah yang diharapkan Tempo dengan Bocor Alus-nya. Apalagi sekiranya publik umumnya, bisa secara sederhana memahami pergolakan dan semua manuver politik kekuasan dan penguasa di Tanah Air.
Di Keseharian Kita?
Sebetulnya irama dan dinamika Bocor Alus bukanlah alur baru di rana sosial. Di keseharian, peta percakapan beraroma seperti itu pula.
Bukan kah cerita penuh nikmat itu adalah info terkini, yang masih samar dan belum terasa, atau apalagi yang bernuansa seram-seram dan suram-suram tentang figur (publik) tertentu. Di situ siapa pun bisa rasa diri ‘besar dan bermanfaat’ bila ‘sanggup beri info, kesaksian, pikiran, tanggapan serta tafsiran…’
Individu bakal merasa besar kepala sekiranya ia dianggap punya info terjamin karena ia ‘dekat dan dapat dari orang dalam.
‘Ramai-ramai duduk dan mulai asal omong bisa lahirkan satu konsensus tentang sesuatu atau mengenai seseorang. Tak peduli, apa semuanya benar-benar nyata, atau sekedar ‘buang-buang kata atau lempar-lempar bola liar isu ini dan itu.
Maka, fakta Masyarakat Bocor Alus, memang sudah tak terbendung. Salah paham, retaknya relasi, timbulnya sebatas rasa tidak baku enak antar individu bisa terlahir akibat info-info Bocor Alus yang berhembus. Merembes ke sana dan ke mari. Individu ingin segera dilayani rasa ingin tahunya dengan pertanyaan baku, “Sudah ada bocoran ka?”
Alus Namun Sebenarnya Menderu
Sungguh, Bocoran – Bocor Alus, memaksa siapapun untuk segera berkisah dan diinfokan secepatnya.’ Mungkin dengan semangat ‘lebih cepat – lebih baik, dan juga lebih seru.’
Masyarakat zaman kini, oleh Bocor Alus dan Bocoran telah tergilas ‘dalam kesabaran akan pemberitaan resmi, akan satu penantian hingga saat yang tepat.’
Itulah yang bikin seorang sahabatku pernah jadi emosional serius. Ia sekian kurang hati. Sebab tergesernya ia ke tempat dan posisi lain sama sekali belumlah ia dapatkan dari suara resmi hirarki-pimpinan, toh malah amat sayup-sayup ia tanggap dari gelombang suara Bocor Alus-Info Bocoran yang sudah terhembus dan tempias di situ dan di sana.
Ini Soal Karakter Diri, Bukan Teknologi…..
Wah, janganlah salahkan teknologi komunikasi yang makin pesat berkembang. Karenanya semuanya cepat menyebar dan terhembus. Perilaku “Bocoran” lahir sebenarnya dari karakter persona dan tendensi diri, praktisnya, yang asal omong tanpa pikir dan tak sadar untuk bicara dalam kapasitas sebagai apa.
Yang suka ‘kasih bocoran’ terkadang juga haus akan pengakuan publik. Atau kah bahwa ia dengan tahu dan mau, dengan ‘bocorannya yang ilutif penuh halusinasi kosong’ ingin memprovokasi demi satu keadaan yang tak kondusif. Khaos, keretakan, kekacauan, keributan, itulah yang diimpikan.
Syukur alhamdulilah sekiranya siapapun kita tetap miliki daya pikir yang tajam, hati yang teduh dan nurani yang bening untuk menangkap dengan benar setiap kata dan suara yang terdengar dan yang terucapkan…
Sebab kita jangan sampai membunuh sesama dengan kata-kata sesuka-sukanya kita. Itu kurang lebih yang ditangkap dari Timothy Radcliffe, seorang Pastor, mantan Jenderal dari Ordo Pengkotbah….
Verbo Dei Amorem Spiranti
* Penulis, Rohaniwan Katolik, tinggal di Collegio San Pietro – Roma