SOROTAN: Dilema Perkuliahan: Antara 'Kuliah Online' dan 'Kuliah Offline'

redaksi - Rabu, 12 Januari 2022 22:03
SOROTAN: Dilema Perkuliahan: Antara 'Kuliah Online' dan 'Kuliah Offline' Ilustrasi: Kuliah tatap muka (kiri) dan kuliah online (kanan) (sumber: Istimewa)

INDONESIA, termasuk di Pulau Bali belum benar-benar bebas dari pandemi Covid-19. Bahkan,  belakangan ini warga masyarakat diminta untuk tetap waspada karena Omicron, varian baru Covd-19 semakin mewabah.

 Oleh karena itu, sekolah dan kampus pun belum berani mengubah kebijakannya: beralih dari sistem pembelajaran/ perkuliahan online (daring) dan kembali ke sistem offline atau tatap muka (luring).

Sementara itu,  para mahasiswa tampaknya semakin jenuh dengan sistem perkuliahan berbasis online. 

Semuanya terasa berat karena mereka tak bisa bertemu dengan kawan seperjuangan setiap hari. Lagi pula sistem perkuliahan perkuliahan online, membuat mereka sulit mengakses kegiatan perkulihan sehingga sulit memahami materi perkuliahan.  

Kendala yang paling utama adalah kuota dan jaringan yang terbatas. 

Media perkuliahan yang minim juga menjadi kendala berikutnya. Selama perkulihan online, dosen dan mahasiswa hanya mengandalkan Power Point Presentation (PPT). Artinya, materi perkuliahan yang dipaparkan hanya poin-poin pentingnya saja. Hal ini tak jarang membuat mahasiswa sulit memahami materi yang diberikan oleh dosen. 

Selain itu, tugas-tugas perkuliahan pun  dikirim melalui media seperti google classroom, google form dan aplikasi lainnya. Seringkali tugas-tugas itu pun sulit diakses, dan sulit kerjakan serta sulit disubmit kepada dosen karena kuota internet yang minim, dan jaringan internet yang buruk. 

Sayangnya, berbagai kendala tersebut seakan dianggap ‘angin lalu’ oleh sejumlah dosen atau  tenaga pengajar. 

Repotnya pula, para dosen biasanya kukuh dengan prinsipnya: tidak memberikan nilai bagi mahasiswa yang terlambat menyerahkan tugasnya. Mereka sepertinya tak mau tahu dan enggan mempertimbangkan kendala yang dialami oleh setiap mahasiswa. 

Kondisi-kondisi seperti digambarkan di atas, tidak jarang membuat para mahasiswa frustasi dan stress.

Berhadapan dengan kondisi seperti itu, bagaimanakah jalan keluarnya? Apa yang harus diupayakan oleh tim dosen/ pengajar dan mahasiswa untuk mengatasinya? 

Pertanyaan-pertanyaan mungkin juga kurang relevan karena perkuliahan offline atau tatap muka masih belum memungkinkan mengingat kondisi yang belum stabil. PPKM semakin diperpanjang, para mahasiswa pun harus bersedia untuk  menjalankan kuliah jarak jauh, entah sampai kapan. 

Kondisi seperti ini sebagaimana  digambarkan di atas  dapat membuat mahasiswa frutrasi dan kehilangan motivasi belajar. 

Apalagi,  berada terlalu lama dengan cara belajar online  bisa membuat mahasiswa terlena dalam ‘zona nyaman’,  zona serba instan. 

Pasalnya, teknologi internet membuat mahasiswa bisa mengases informasi, mengerjakan tugas dan menyerahkannya kepada dosen dengan cara yang mudah. Mereka tak perlu lagi mengeluarkan biaya yang banyak untuk print out data. 

Di samping memberikan kemudahaan, perkulihan online memang memiliki banyak ekses negatifnya. Sebab, pada kenyataannya tidak sedikit mahasiswa yang mengakali dosennya dengan mematikan fitur kamera agar mereka mengikuti kuliah sambil rebahan atau melakukan aktifitas lain. Keefektifan dari kegiatan perkuliahan itu sendiri pun sangat diragukan.

Nah, dalam kondisi seperti ini mahasiswa kini dihadapkan pada dua pilihan: mau tetap melakukan perkuliahan secara online, ataukah kembali perkuliahan secara tatap muka (offline)? 

Ingin tetap bertahan dengan perkuliahan jarak jauh yang lebih banyak menawarkan cara-cara instan dalam mengerjakan tugas atau megerjakan soal ujian, ataukah kembali ke kuliah secara tatap muka sehingga  bisa berjumpa dengan dosen dan teman-teman baru yang selama ini hanya bisa dijumpai secara virtual. Dan, tentu saja, melalui kuliah tatap muka proses perkulihaan menjadi  lebih interaktif dan lebih efektif. 

Namun satu hal yang pasti,  hal instan yang dijalani dalam perkuliahan online tidak selamanya membuat mahasiswa cepat berkembang. Malah pada kenyataan selama ini, lebih banyak mahasiswa harus lebih banyak belajar mandiri, atau belajar secara autodidak. 

Apalagi bagi penulis yang sedang menempuh pendidikan dalam Program Studi Bahasa Asing. Tentu saja, selain mendapatkan nilai yang bagus, penulis harus dapat meningkatkan kompetensi dengan berbicara dalam bahasa asing. Karena itu akan menjadi modal bagi penulis  saat mengerjakan skripsi di semester akhir nanti. Juga, sebagai beal bagi masuk ke dalam dunia kerja kelak.

 Pertanyaannya yang muncuk sekrang,  mampukah setiap mahasiswa menghadapi tantangan yang dijalani selama masa pandemi ini? 

Jawabanya, tentu saja  tergantung pada diri masing-masing. Jika seorang mahasiswa mempunyai motivasi  yang kuat dan tetap belajar dengan giat walaupun materi yang diberi sangat sulit untuk dipahami maka ia bisa merasi keberhasilan dalam kuliahnya. Namun, hal tersebut baru mungkin terjadi apabila ia bersesia menghancurkan mental instan yang selama ini bersarang dalam dirinya sendiri.

Salah satu tantangan berat  yang perlu diatasi adalah meninggalkan kebiasaan menyontek dari mahasiswa lain. Sebab,  menyontek merusakkan karakter diri sendiri. 

Jika mahasiswa mampu membangun motivasi belajar yang kuat dan membangun karakter yang mandiri dan jujur (tidak menyontek), maka  tidak akan mengalami kesulitan untuk  beradaptasi kembali dengan perkuliahan offline atau tatap muka. Dan, tentu saja dia akan menjadi seorang yang siap berkompetisi di pasar kerja setelah kuliah kelak.

*Ditulis oleh Amonius Wattson Hamsah, Shahnaz Dian Agatha dan Komang Yuda Prandita.

Editor: redaksi

RELATED NEWS