SOROTAN: Mencuci Tangan... (Waloni, Kace, dan Kita)

redaksi - Sabtu, 28 Agustus 2021 22:47
SOROTAN:  Mencuci Tangan...  (Waloni, Kace, dan Kita)Ilustrasi: Mencuci tangan, untuk kebersihan dan kesehatan (sumber: Istimewa)

Oleh Robert Bala

PERNAH  suatu saat saya mendapatkan undangan menghadiri sebuah pesta pernikahan. Kebetulan aula resepsi pernikahan berada di bawah sebuah tempat ibadah.

Karena berjalan bersama anak saya yang saat itu berumur 3 tahun, ia berlari ke sana ke mari hingga naik ke atas. Tidak seberapa lama keluarlah seorang penjaga menegur. Yang ia katakan cukup jelas: “tempat ini suci sehingga tidak boleh pakai sendal atau sepatu”.

Dalam hati saya bilang, wah, ini untungnya diperingati dengan cukup sopan. Di tempat lain bisa kena gebuk karena pakai sendal di tempat yang dianggap suci.

Tetapi hal itu terus membuat saya berpikir, Pernyataan sederhana (tetapi cukup mengena) itu membuat saya kepikiran. Apakah memang untuk masuk ke tempat suci orang harus menanggalkan alas kakinya?

Ternyata tidak. Meski tidak mengenakan alas kaki itu baik dan benar, tetapi itu (mestinya) tidak ada hubungan sebab akibat dengan suci tidaknya sebuah tempat. Tetapi yang pasti, hal itu berkaitan dengan menjaga kebersihan yang merupakan nilai terdalam yang mestinya dipahami.  

Bisa dibayangkan semua orang yang masuk ke tempat ibadat itu berasal dari berbagai tempat. Sandal atau sepatu mereka telah menginjak banyak barang. Kemungkinan adanya virus atau hal yang mengganggu sangat mungkin. Dengan masuk tanpa alas kaki, terjamin kesehatatan bagi semua orang yang lain.

Kalau begitu bukan soal tidak boleh berkasut tetapi kebersihan dan kesehatan. Kebersihan adalah pangkal iman kata sebuah pepatah. Memang cara menjelaskan kepada orang ‘in illo tempore’ (pada waktu itu) tidak bisa dengan penjelasan seperti yang sekarang ini. Orang butuh penjelasan yang masuk akal agar apa yang mau disampaikan itu dipahami.

Kita bisa bayangkan kalau aturan 3M (Memakai Masker, Mencuci Tangan, Menjaga Jarak) dijelaskan pada waktu ‘doeloe’. Pasti disampaikan bahwa itu adalah aturan hukum taurat. Akan lebih ‘sadis’ dan menakutkan kalau dikatakan bahwa itu disampaikan sendiri oleh Tuhan. Selain itu tentu akan lebih efektif kalau disertai peringatan tentang ancaman api neraka. Wah, itu lebih manjur lagi.(Orang lalu akan cari-cari ayat-mayat yang mengatakan hal itu. Meski keluar dari konteksnya tetapi itu tidak penting. yang penting menakutkan agar orang taat, Titik).  

Untuk konteks ‘waktu itu’ inilah ‘bungkusan’ yang digunakan agar bisa menyampaiakn pesan. Mereka hanya bisa terima dengan ‘menakut-nakutkan’ dan ditakut-takuti.

Herannya, upaya menakut-nakutnya dengan ayat mayat yang waktu itu, eh, masih manjur juga dewasa ini. Contohnya terlalu banyak untuk bisa dideretkan di sini. Singkatnya, ancaman itu masih sangat ampuh. Yang lebih mengherankan lagi, kok orang masih percaya juga ya. Bukan saja percaya tetapi terbukti diikuti secara massal.

Dewasa ini orang dengan mudah mengklaim bahwa hal luar itu begitu penting. Cap agama atau harus memeluk agama tertentu sebagai jaminan masuk surga (emangnya Surga milik nenek loe?). Ada yang bahkan dengan tegas menekankan bahwa orang setipe itu (provokator) lebih layak masuk surga dari dirinya (emang yang mengatur masuk keluar Surga itu loe?). Aneh kan? Tetapi itulah yang terjadi. (Dan diikuti).

Orang begitu percaya hal-hal luar sebagai penentu. Yesus yang melihat gelagat orang farisi seperti itu, Ia dengan tegas menyatakan hal ini:  Yang berasal dari luar itu tidak menajiskan. Yang menajiskan itu yang keluar dari dalam (Mrk 7, 18-20).

Ini tamparan teramat meyakitkan (kalau sempat dirasakan). Ini pemikiran yang sangat tepat yang mestinya disadari oleh orang dewasa ini. Tetapi herannya, terjadi lagi- terjadi lagi.

Minggu-minggu ini kasus Muhammad Kace dan Yahya Waloni cukup menarik perhatian. Upaya mereka ‘menjual agama’ (tidak tahu demi kepentingan apa) begitu mendapatkan perhatian. Jejak digital mereka cukup jelas menunjukkan bahwa mereka mengerti agama hanya sekadar hal luar. Tapi herannya, banyak orang percaya. Malah mereka disanjung-sanjung sebagai orang hebat.

Kalau seperti ini maka sebenarnya model dan pemahaman keagamaan kita hanya sebatas ‘cuci tangan’ atau ‘tanggalkan alas kaki’. Kita hanya sebatas taat cuci tangan bukan karena butuh tetapi karena aturan. Kita tidak paham bahwa mencuci tangan itu memiliki maksud yang menjaga kita. Kita juga menanggalkan alas kaki bukan karena tempat itu suci tetapi karena ada maksud kebersihan.

Nilai terdalam ini yang selalu gagal kita capai. Kita hanya sampai pada kulit luar, sampai di pintu dan tidak masuk. Ya, kalau tidak masuk, bagaimana bisa keluar? Seorang teman pernah menyampaikan sebuah cerita lucu tetapi membuat saya penasaran. Katanya suatu hari, seorang anak bilang ke mamanya: "Ma, besok saya tidak akan kembali". Mamanya menjadi sangat sedih: "kenapa kamu tidak kembali nak?". Anak itu menjawab: "Saya tidak kembali karena saya memang tidak pergi".

Yang mau disampaikan bahwa banyak orang hanya berdiri di luar. Mereka itu tidak masuk. Kalau mereka hanya berdiri di luar dan mengamati yang 'najis dan tidak najis', 'kafir dan tidak kafir' maka mereka akan terus begitu. Mereka akan terus berteriak-teriak tentang 'najis dan tidak najis'. Mereka akan terus meluncurkan ayat-ayat suci menjadikan agama penuh dengan ketakutan karena hanya dengan demikian mereka jadi ulama yang laris.

Kalau saja mereka 'masuk ke dalam', maka mereka akan berhenti berteriak. Di dalam mereka akan melihat wajah Tuhan yang sangat akrab, mengampuni, mengarahkan dengan penuh kebijaksanaan. Di sana mereka diam sehingga ketika mereka keluar bukan kata-kata yang memojokan orang lain tetapi kata yang bijak dihiasi perbuatan yang dinikmati banyak orang.

Waloni dan Kace dan masih banyak orang lagi (yang menanggap diri sebagai ulama) sebenarnya hanya berdiri di luar. Mereka hanya penjaga pintu untuk melihat dan mengawasi setiap orang yang masuk ke dalam. Mereka menjadi 'pengamat' yang baik. Mereka bisa melihat gerak-gerik semua orang. Mereka jadi 'pembahas tingkah laku orang dan apa yang mereka sampaikan itu memang tepat sekali). Pantas mereka laris dipanggil untuk bicara di mana-mana tentang agama.

Jelasnya, orang yang selalu menggongong memerhatikan perilaku orang lain adalah ciri mereka yang tidak masuk (belum masuk). Mereka hanya penjaga pintu dan selamanya hanya menjaga. Kita jadi takut dan cemas jangan-jangan banyak ulama hanya sebatas penjaga pintu. Mereka memang lincah menentukan siapa yang bisa masuk Surga tetapi mereka sendiri hanya berteriak.

Memang kalau mereka masuk, maka di sana mereka akan berhadapan dengan Tuhan yang maha rahim dan maha bijaksana yang akan membuat mereka diam. Tetapi kalau mereka hanya di luar, maka akan terus menggongong dan membuat kerisauan.  

Hari ini, kita diingatkan untuk melaksanakan sesuatu karena paham. Kalau cuci tangan atau tanggalkan alas kaki karena kita paham bahwa itu demi kebersihan untuk menjaga kita. Tidak untuk Tuhan. Tuhan tidak akan ditambahkan keagungannya hanya karena orang mencuci tangan atau melepaskan alas kakinya. Jadi lepaskan alas kaki atau cuci tangan itu manfaatnya untuk manusia dan bukan untuk Tuhan.

Agama karena itu harus menjadi semanusiawi mungkin. Menjelaskan kepada orang bahwa Tuhan menjadi manusia agar manusia bisa menjadi ilahi. Tuhan tidak mau hanya dijaga atau dibela namaNya. Tidak ada manfaat bagiNya. Agama itu hanya bermanfaat untuk manusia (RB, Minggu 29 Agustus 2021).

Renungan kecil serupa bisa dibaca di buku INSPIRASI KEHIDUPAN (Pengalaman kecil sarat makna). Terbit di Kanisius Jogjakarta Sept 2021

Editor: Redaksi

RELATED NEWS