SOROTAN: Sebegitu Murahkah Harga Seorang Anak Manusia?

redaksi - Senin, 23 Agustus 2021 13:43
SOROTAN: Sebegitu Murahkah Harga Seorang Anak Manusia?P. Kons Beo, SVD (kiri) dan P. Sigit Pawanta, SVD (kanan) (sumber: Dokpri)

Sebegitu Murahkah Harga Seorang Anak Manusia? (Senggol Tipis Seputar Perdagangan Manusia di NTT)

P. Kons Beo, SVD dan P. Sigit Pawanta, SVD

TAK pernah sepi! Ini bicara tentang human trafficking di Nusa Tenggara Timur (NTT). Sepertinya telah jadi kisah annual yang  selalu bernada minor. Ini memang ada kaitan dengan kisah perantauan. Para perantau punya mimpi indah demi perbaikan nasib. Pun agar bisa 'jadi manusia' di dunia sana.

Tapi ‘demi jadi orang’ dalam arti apa? Tentu tak cuma dalam arti mengais rejeki dan kumpulkan materi belaka. Merantau punya kaitan erat dengan perjuangan dan perkembangan kepribadian. Katanya di situ manusia semakin berilmu, berwawasan, mampu beradaptasi, temukan dan rekatkan tali persahabatan dengan sesama lainnya. Peradaban global semakin maju oleh perjumpaan sejuk perbagai bangsa manusia.

Bagaimanapun, tujuan luhur mulia ini harus lewati proses yang tak mudah. Syukurlah, bila segala proses difasilitasi secara terhormat, elegan dan legal. Artinya  orang pigi merantau dengan destinasi yang jelas, melalui agen (prosedur) resmi, miliki dokumen sah. Dan lagi mesti ada dinamika persiapan yang serius. Tak sekedar asal punya nyali saja. Atau pasrah begitu saja pada penyelenggaraan ilahi.

Sayangnya, semua hal ini, di NTT, tak selamanya berlangsung terang-menderang! Proses perjalanan menjadi terselubung, senyap, yang tentunya telah diarsiteki secara piawai oleh otak-otak mafioso. Karenanya, di NTT, berkenaan dengan perekrutan TKI-TKW selalu terselip dengan suramnya kisah perdadangan manusia. Katanya, di terminal keberangkatan keadaan masih 'aman-aman saja.' Sayangnya, suasana perlahan mencekam saat setelah tiba di tempat tujuan. Bukankah telah terjadi kisah-kisah pilu ketika ternyata janji dan harapan hidup meraih alam 'susu dan madu' pelan-pelan menjadi  sepahit empedu? Semua berubah tanpa kepastian. Penuh kebingungan. Dalam genggaman tirani yang tebarkan ancaman menakutkan.

Hadir di Webinar Pra-Musyawarah Besar Serikat Pemuda Indonesia NTT, tentu Silvya Peku Djawang, Melky Laka Lena, Antonius Wibowo, Gabriel Goa Sola, Berta Hangge, Rafail Wulangitan punya pemikiran dan input tajam berkenaan dengan persoalan perdagangan manusia (cf floresku, 21 Agustus2021).  Apalagi, tema Webinar pun sangat menggigit:  "Kupas Tuntas Kasus Human Trafficking yang Mengeksploitasi Manusia Sebagai Komoditas."

Syukurlah! Setidaknya publik NTT kembali disentak oleh persoalan ini. Diberi pencerahan global setidaknya berkenaan dengan krusialnya proses perjalanan yang legal. Mati konyol di negeri di jiran patut disesali. Dan 420 yang wafat tanpa dokumen memang memprihatinkan. Ini belum lagi bila harus jujur untuk mengatakan bahwa pada kenyataannya ada sekian banyak kematian dengan indikasi tak wajar atau tak masuk akal. Betapa menyedihkan! Tak ada kembali pulang dari rantau dengan membawa koper berisi hasil peras keringat dari negeri orang. Malahan harus terbujur kaku dalam peti maut kematian.

Servulus Bobo Riti (Direktur S2P2 Kawasan Amerika Pasifik) gelontorkan tiga solusi agar 'building Society' NTT sungguh terpola dan bercitra. Katanya, perlu kredit untuk rakyat. Tentu sebagai modal untuk berusaha secara produktif dan kreatif. Juga berkenaan dana yang mesti dianggarkan oleh Pemda. Bobo Riti sebutkan semisal Balai Latihan Kerja (BLK) yang mesti  diseriusi. Iya, BLK mesti mesti menjadi salah salah sentrum bina ketrampilan yang menjajikan.

Adalah benar bahwa arah perjalanan sebagian besar orang NTT itu umumnya menuju Malaysia. Mengapa Malaysia? Bisa terjadi karena ada sanak keluarga yang duluan merantau di Malaysia. Di situ keluarga itu lalu bisa berperan sebagai batu loncatan atau batu pijakan sementara sebelum seseorang  swadaya dalam hidup. Tetapi, bisa juga bahwa merantau ke Malaysia agaknya lebih mudah dari segi komunikasi. Rumpun bahasa Melayu tak sulit dipahami oleh para tuan dan puan Malaysia saat 'perantau NTT berbicara.' Tak terlalu 'makan ongkos, tenaga dan beban di hati' dibanding bila harus merantau ke negara-negara lain.

Bagaimana pun soal berjuang hidup di tanah  orang itu tetap berkenaan dengan martabat manusia dan kelayakan hidup! Tak pernah boleh tinggalkan kampung halaman oleh keterpaksaan situasi. Sebab rasa terpaksa merantau bisa menjadi lahan subur bagi pihak-pihak mafia itu untuk menarik keuntungan dari ketakberdayaan para calon perantau.  Dan, ujung-ujungnya adalah nasib suram yang bakal dialami hingga pada berbagai pelanggaran yang dituduhkan.

Bertarung di negeri orang memang tak boleh cuma bermodal asal berani. Berbagai ketrampilan mesti didalami melalui kursus dan pelatihan. Maksud praktisnya agar ada bobot kualifikasinya, sehingga luput dari 'terserah majikan mau kerjakan saya sesuka hatinya' asal saya punya pekerjaan! Dengan kualifikasi tertentu itu perantau sendirilah yang memberi bobot pada kerjanya sendiri di negeri orang.

Tetapi ada hal lain yang patut direnungkan. Oleh Gereja, para pewarta Kabar Baik adalah misionaris. Kebanyakan sampai ke manca negara.  Ada visa jelas, dokumen lainnya pun jelas. Tertulis 'motivi religiosi.' Bagaimana pun di titik tertentu misonaris tetap ditilik sebagai 'orang asing yang datang tinggal dan berkarya di negeri orang.' Untuk dapat lisensi demi tujuan  tinggal sementara ada animasi khusus untuk mengenal budaya, tata peradaban, bahasa dan berbagai regulasi yang berlaku di negara orang. Maksud sederhananya adalah demi filosofi: Di mana kaki berpijak, di situ langit dijunjung. Tentu, misionaris harus ada di arus dinamika hati 'tak mengumpulkan.' Karena ada tegasan di Alkitab: Jangan membawa pundi-pundi.

Menjadi tantangan sendiri bila ternyata, itu tadi, para perantau tidak melewati proses legal. Belum lagi bila terjadi keonaran publik oleh pendatang-pendatang yang sekian frustrasi karena jauh dari ekspetasi yang diharapkan di tanah orang.

Tetapi mari kita kembali soal Kupas Tuntas Kasus Human Trafficking. Tentu webinar itu punya sumbangan pikiran tajam demi perhatian bersama. Untuk kumpas tuntas mari kita berdalil bahwa adalah Pemerintah Daerah NTT lah yang memegang kelewang, pedang atau sekurang-kurang pisau tajam untuk proses kupas tutas itu.

Tak bermaksud menggurui Paket Victory -Jos yang nyaris berakhir masa leadership di bumi Flobamora ini (2018 - 2023). Sepantasnya kita renungkan lagi genderang perang Pemda NTT demi membasmi mafia human trafficing itu.

Isi pidato inisiasi memimpin NTT, (10.09.2021) terselip kalimat lantang Gubernur, "Saya minta aparat keamanan untuk patahkan kaki para pelaku perdagangan orang...." ( kompas, 4.12.2018). Ini tentu tak ditangkap lurus a la kaum radikal agama yang mengerti 'bulat-bulat untuk sunguh patahkan kaki.' Ini cuma raungan keseriusan Pemda NTT untuk bertindak tegas terhadap para oknum human trafficking.

Walau Pa Gubernur sendiri yang rela dikatai tolol, publik NTT tentu tak sampai hati untuk mencap pemimpinnya tolol jika human traffiking masih tinggi dan pertumbuhan ekonomi NTT tidak maju ( kompas, 4.12.2018). Kerja sama berbagai pihak yang libatkan berbagai elemen atau institusi kemasyarakatan amatlah serius untuk meredam kasus degradasi harkat manusia NTT demi 'aduh nasib di tempat lain.' Pertanyaannya tentu tak terarah pada pemerintah saja, tetapi juga kepada institusi keagamaan demi hidup yang pantas bagi kaum berimannya.

Masih ada hal lain dari suara lantang Pak Gubernur, yang ungkapkan diri sendiri sebagai (mantan) penjahat bergelar profesor. Walau disuarakan Pak Gubernur sebagai reaksi kemarahan atas maraknya kasus pencurian ternak di Sumba, 'gelar profesor penjahat' bisa diplintir haluannya juga untuk kasus perdagangan manusia di NTT.

Karena perdagangan manusia adalah tindakan yang sungguh-sungguh jahat, maka Pak Gubernur NTT  yang sudah bergelar profesor penjahat pasti  tahu sejadi-sejadinya segala lika-liku, semua jalan tikus dan jalur tipu-tapu, serta berbagai varian modus yang melukai harga dan martabat manusia NTT melalui perdagangan manusia itu.

Maka,  di tangan para pemimpin NTT inilah arus perendahan derajat manusia NTT harus diberantas. Iya, harus segera disudahi! NTT tak boleh terlambat dan lengah lagi untuk kejahatan melawan kemanusiaan ini.

Verbo Dei Amorem Spiranti

P. Kons Beo, SVD (tinggal di Roma)
P. Sigit Pawanta, SVD (tinggal di Jakarta)

Editor: Redaksi

RELATED NEWS