SUDUT PANDANG: Bencana dan Suara Trompet Profetik Itu

redaksi - Minggu, 09 Mei 2021 14:16
SUDUT PANDANG: Bencana dan Suara Trompet Profetik ItuIlustrasi: Trompet profetik (Bible-truth.org) (sumber: null)

P. Kons Beo, SVD*

Rubu-raba seputar ‘Perutusan 70 Murid’- (Injil Lukas 10:1-12.17-20)

SETELAH diutus pergi untuk memaklumkan Injil, tujuh puluh murid itu tak lantas senyap. Kitab Suci berkisah bahwa setelah selesai dalam tugas perutusan itu mereka kembali pada Yesus. Mereka kisahkan pengalaman injili penuh berkesan pada Yesus, Tuhan, sang Guru yang mengutus. Murid-murid itu sungguh pulang dengan gembira, “Tuhan, juga setan-setan takluk kepada kami demi Nama-Mu” (Luk 10:17).

Tak ada yang luar biasa dari kisah perutusan itu. Bila para murid berharakiri dalam perutusan, itulah keharusan dari perutusan itu sendiri. Namun, patut direnungkan dua hal kunci di balik perutusan itu. 

Pertamaseorang murid tetaplah seorang murid. Seorang hamba dan pelayan Tuhan tetaplah dalam identitas seperti itu. Tak cuma itu, tetapi bahwa locus positionis seorang murid tetap bergerak di lintasan pengantara (mediator). Artinya, ia bergerak karena ada Tuhan yang mengutus dan karena ada destinasi konkrit di mana ia diutus, yang nota bene: dengan kenyataan yang tengah dihadapi. 

Kesadaran diri bahwa ‘kami adalah hamba yang tak berguna yang melakukan tugas seperti yang tuan perintahkan’ (Luk 17:10) sungguh bermakna serius. Dengan demikian, seorang murid tak jatuh dalam godaan pencitraan diri dan juga dari sikap kepelayanan ‘tak utuh’ dalam tatanan motivasi. Seorang murid terpanggil untuk tetap lurus, sederhana, apa adanya di dalam citra ‘seperti apa yang tuan perintahkan.’ Ya, di dalam segala tugas pelayanannya. 

Menjadi repot luar biasa ketika seorang murid ‘memakai Tuhan’ dan ‘memanfaatkan’ situasi getir di medan pelayanan demi perkiblatan kepada diri sendiri. Dalam kisah perutusan dan lalu disusul dengan kembalinya tujuh puluh murid itu, Tuhan tak lantas bergembira atas segala kisah cemerlang atas penaklukan setan-setan itu. Malah Tuhan menantang para murid dengan satu tegasan korektif, “Aku melihat iblis jatuh seperti kilat jatuh dari langit…” (Luk 10:18).

Tuhan memang tak tidur. Tetapi Iblis tetap setia berpatroli. Iblis selalu tawarkan kerjasama kelam. Sekalipun seorang murid lagi berkontemplasi sejuk pun dalam tugas pelayanan penuh sengit. Mengutip suara Rasul Petrus, “Waspadalah dan berjaga-jagalah, sebab setan musuhmu, berkeliling bagai singa mengaum-ngaum mencari mangsanya” (1Ptr 5:8).

Tetapi, seorang murid pasti tahu iblis atau alam serigala tak cuma datang dari alam luar diri. Dunia interior batiniah tetaplah berkecamuk dengan rupa-rupa kekuatiran yang berhulu pada kelemahan kehendak. Dan, seturut St Thomas Aquino, kelemahan kehendak itu bisa bersarang dalam hati manusia sebagai akibat tak terelakan dari dosa asal.

KeduaImperasi ministerial petakan juga awasan-awasan serius dari Yesus, Tuhan dan Pengutus. Menyimak dari Injil Lukas, terdapat empat hal yang berkaitan dengan diktum: “JANGAN”. Di antara empat hal itu ada aksentuasi: Jangan membawa pundi-pundi! Kemuridan dan perutusan dalam Yesus diketahui punya narasi negasi dari perutusan para murid oleh para elitis guru-guru Israel. 

Para rabi mengutus murid-muridnya sambil membawa pundi-pundi untuk terisi. Agar ketika kembali ‘jarahan pun dibawanya serta.’ Tetapi hal ini tak berlaku bagi Yesus terhadap murid-muridnya. Karena dalam Yesus, haram hukumnya bagi seorang murid untuk berpanen raya setelah kembali dari perutusan.

Perkara mamon sungguh menjadi perhatian besar dari Yesus. Dalam kisah-kisah Injil, lebih banyak Yesus berbicara tentang kegelisahan material yang bersarang dalam hati manusia. Iya, terutama dalam hati murid-muridnya. 

Dan kelekatan akan yang fana sungguh menjadi gangguan terberat dalam perutusan. Karenanya, lukisan tentang “segala sesuatu harus dilepaskan untuk mengikuti Yesus” (cf Luk 14:25-33) menjadi satu conditio sine qua non dalam perutusan. Ini tak sekedar implikasikan adanya satu jarak fisik akan yang fana, tetapi lebih kepada satu kualitas keberserahan hati di dalam menciptakan jarak batin.

Trompet profetik

Dua kali  media online ini (floresku.com) gegerkan pembaca dengan dua artikel dari seorang konfrater SVD. Saya sebut saja dua artikel itu sebagai trompet profetik dari padang rumput Detukeli. 

Mengegerkan  karena di saat ada sekian banyak ungkapan simpati belaskasih dari berbagai penjuru demi para korban bencana, narasi “Rekening Pastor dan Bencana” menjala atensi yang tak basa-basi.  Nampaknya perhatian akan situasi bencana nan genting itu harus rela berbagi perhatian dengan perkara mamon di pundi-pundi sang pastor.

Tak bermaksud untuk masuk dan terlibat dalam duduk perkara yang sebenarnya dan seharusnya. Bagaimanapun trompet profetik dari padang rumput Detukeli mesti didengar dengan telinga dingin, ‘dibaca’ dengan mata sejuk, dan ditampung dalam dalam hati damai. Dan terutama disikapi dalam jalur-jalur kemestiannya. Artinya, ada harapan bahwa lalu lintas mamon akan laju mengalir menuju ke sasarannya. Tanpa disumpeki oleh berbagai tilang (bukti pelanggaran), atau mungkin masih di taraf dugaan (tak bersalah).

Trompet profetik dari padang rumput Detukeli sudah disuarakan. Jelas terdengar melodinya dan semua lyriknya. Terasa penuh tekanan stacatonya. Tetapi sebenarnya ia lantunkan pula irama requiem dan syair lamentatif. Semuanya atas nama  suara dan jiwa mereka yang didera bencana. 

Bila bisa diringkas sebisanya, alunan trompet profetik itu ingatkan betapa riskannya bila dana bencana itu terseret keluar dari jalur ad intentionem dantisTak ada maksud untuk maen tuduh sana-sini. Apalagi bila ditafsir sebagai tiupan trompet sungguh kasar. Dengan irama tak bersahabat. Hanya untuk patahkan semangat dalam menyalurkan rahmat dan berkat Tuhan. Tetapi intinya: teruskan saja dana itu sesuai peruntukannya.

Koreksi sosial plus moral-etis trompet profetik dari padang rumput Detukeli tak usah dikeluhkan hiperbolik. Berbesar hatilah untuk menerima dan memaknai semuanya, sekali lagi, secara tenang. Berada di jalur resmi adalah satu kewibawaan dalam pelayanan. Wibawa karena tidak terjerat dalam scandalum, karena memang rekening atau pundi-pundi pribadi pastor tak terbukti gendut secara tiba-tiba di pusaran bencana. 

Tahu saja feeling publik yang terkadang ‘tembak-tembak seadanya.’ Yang baru diduga dan dicurigai saja sudah bisa dipastikan. Bukankah jamak terdengar: Saya curiga PASTI! Curiga yang masih di level remang-remang, sudah bisa dipastikan dalam cahaya sinar nan cemerlang. Di muaranya, suasana menjadi tak sedap.

Tetapi, bisa diandaikan serius bahwa penderma jaman kini tak mau memberi dengan kanan sambil tangan kiri malas untuk tahu bagaimana kelanjutannya. 

Di jaman now, tangan kanan donatur terbuka untuk memberi, tetapi tidak berarti tangan kiri terkatup untuk tidak menanti laporannya. Tampaknya memang merepotkan bila dana-dana itu tertumpuk apalagi tertahan  di rekening pribadi pastor. Perkara seperti itu jelas akan bias melebar ke sana-ke mari. Sebuah umpan telak  kepada gairah multi-tafsir publik yang memberatkan serta bikin hati yang tidak enak punya. 

Siapapun tetap punya kehendak baik untuk membantu yang penuh derita. Tetap ada perjuangan untuk menjangkau medan-medan terjauh dan tersulit serta penuh risikonya dalam pelayanan di area bencana. Tetapi dalam pada itu, hati penuh ketulusan serta jiwa merdeka dari apapun yang memberatkan, tetap jadi kunci demi kebebasan dalam pelayanan. Dan kegelisahan pada rekening pribadi akan tetap ujian berat. 

Tentu  benarlah Francis Bacon (1561-1626), “Uang adalah hamba yang baik, namun ia adalah tuan yang buruk.” Siapapun murid-murid Yesus pasti teringat akan kata-kataNya, “Seorang hamba tidak dapat mengabdi kepada dua tuan… kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada mamon” (Luk 16:13). 

Verbo Dei Amorem Spiranti

* P Kons Beo SVD,  tinggal di Collegio San Pietro-Roma

RELATED NEWS