SUDUT PANDANG: Bola Panas Joseph Paul Zhang Dan Puasa Ramadhan

redaksi - Jumat, 23 April 2021 19:44
SUDUT PANDANG: Bola Panas Joseph Paul Zhang Dan Puasa RamadhanJozeph Paul Zhang /YouTube/@Jozeph Paul Zhang (sumber: null)

Oleh: P. Kons Beo, SVD

Kalaulah itu adalah sebuah drama, betapa Joseph Paul  Zhang adalah kesempurnaan dari lakon ceritanya. Betapa tidak? Zhang adalah sutradara serentak jadi aktor nan piawaiTeater-nya ada di luar negeri (Berlin?). Jauh di sini. Arena penontonnya jauh di sana. Membentang dari Sabang sampai Merauke. Isi cerita yang ‘angkat diri sendiri sebagai Nabi ke 26’ terlalu sensitif untuk ‘telinga tanah air.’ Apalagi kalau sudah menyinggung keyakinan agama lain. Tak cuma dunia keislaman pada umumnya, Zhang bahkan menerobos terlalu jauh pada nasib Nabi Muhammad setelah kematian. Dugaan penistaan agama dengan cepat ditembakkan padanya.

Tak hanya itu. Paul Zhang malah menantang Polri. Ia pun mengobok-obok kesadaran nasional Pancasilais yang mesti jadi sentrum nurani kebangsaan. Pancasila yang harus jadi spirit hidup berkebangsaan itu dinilai hanyalah sebatas retorika. Bukannya Zhang tak tahu bahwa pasti Polri akan gesit bergerak cepat. Melacak untuk mengamankannya. Karena kelakuannya itu, Polri pasti tak mungkin keluar dari jaringan kerjasama canggih. Zhang jadi tenar di jalur  DPO, interpol, spionase, deportasi atau di pihak KBRI di Jerman. Dan lagi, kerja Polri tentu makin menggumpal untuk mewanti-wanti  andaikan ada gerakan reaksi massif di tanah air yang memberontak melawan Zhang. Harga keamaan sungguh teramat mahal.

Zhang sudah pada timbang-timbang pada nasib dirinya yang jadi wanted level wahid. Tak kembali ke tanah air diterimanya sebagai risiko mulia dari satu ‘suara profetik.’ Tetapi ia sendiri sudah menduga akan ‘ketidakadilan sikap Polri.’ Kalau bisa dirumuskan, “Aku pasti segera dikejar-dikejar! Tetapi yang lainnya? Yahya Waloni, Rizieq Sihab, Abdul Somad, Bangun Samudra, Steven Indra, Irene Handono dan lain-lainnya adalah barisan yang sepertinya tetap bersuka ria dalam dagelan komedi di atas panggung dakwah untuk menistakan yang lain?” 

Nampaknya, ini pun tak sekedar drama yang lagi bikin sewot Polri sebagai institusi. Tetapi juga bahwa Jendral Polisi Listyo Sigit Prabowo, di hari-hari ini pasti ditatap serius penuh jelih akan sikapnya, lebih sebagai jemaat nasrani ketimbang sebagai Kapolri, di balik segala ‘cari kacaunya’ si Paul Zhang. 

Bola panas Zhang juga bergulir untuk menghanguskan serapan sentimen keagamaan yang mudah terbakar. Benarkah asumsi Zhang bahwa Indonesia sulit bergerak maju karena terlalu sibuk pada  hal tetek bengek yang beraroma perasaan keagamaan? Demo besar-besaran dan berjilid-jilid, kekerasan, kebencian, serta mudah dihasut yang berpangkal pada sensus religiosus sedemikian mudah membara dan menjalar. Agama bukanlah forma yang berisi keyakinan personal di lingkup privacy belaka. Tetapi ia lebih nyata sebagai satu perayaan kolektif. Dan ia serentak mudah pula bisa memancing ketersinggungan berskala massif, jika rasa ternista tak terhindarkan.

Tetapi celotehan Zhang tak bisa ditarik kembali. Ia telah tebalkan lapisan potensi keributan yang bakal tak main-main. Di sini, Polri pasti terapkan pendekatan keamanan, yang saya sebut saja sebagai atas ‘dasar prinsip Kayafas’ (cf Yoh 11:50). Bahwa ‘lebih berguna bila satu orang ditargetkan, dari pada seluruh bangsa ini ada dalam prahara yang bakal tak menentu jadinya.’ Pasti di sini, akan sulit membawa nasihat saleh Gamaliel (Kis 5:38), bahwa biarlah si Zhang bersuara apa saja. Jika ini bukan suatu suara atas restu surgawi, tentu ia akan diam membisu. Lenyap dengan sendirinya. Tetapi, apakah itu mungkin?

Suara Zhang terdengar keras. Kata-katanya tajam menusuk. Nampaknya keluar deras mengalir. Dia punya tujuan agar didengarkan. Di baliknya, tentu ada harapan untuk satu ‘refleksi nasional’  mengenai dinamika hidup keberagamaan. Segala umpatan Chang tentu tak bisa dibenarkan. Ia mengguntur dengan cara di luar etika dan keadaban publilk. Tetapi, di balik kata-katanya yang tajam ‘cuek tanpa beban,’ apa mungkin masih bisa dirangkai selingkar kalungan bunga yang indah?

Indonesia adalah negara di mana mayoritas penduduknya beragama. Di baliknya tercermin perjuangan untuk hidup dalam alam yang semakin religius. Manusia religius itu memiliki tendesi untuk berpikir dan bersikap lebih positif (Andy Saputra-Yonathan A Goei, 2017). Ada banyak hal yang berpengaruh di dalamnya. Memiliki pengetahuan yang benar mengenai agama sendiri dan sungguh paham akan logika keyakinan agama lain adalah modal dasar untuk hidup berkesantunan dalam keberagaman. Apalagi saat keyakinan di dalam agama sendiri dihayati pula secara positif.

Maka pengetahuan yang benar tentang agama, dan sungguh diyakini akan tampil kokoh ibarat karang yang tak akan hancur tersapu badai sedahsyat apapun. Bila dipaksa tafsiran ‘Romeo & Juliet’ dari Shakespeare, katakan saja: ‘keyakinanku-keyakinanmu’ ibarat “a rose by any other name would smell as sweet.” Isi keyakinanku-keyakinanmu bisa diserang dan diobrak-abrik, tetapi ia akan tetap semerbak, dalam penghayatan yang benar dan teguh. ‘Alam maut’ seganas dan sekian menyakitkan dari Zhang, misalnya, tak akan pernah merampas sukacita hidup berimanku.

Tetapi, di balik bergulirnya bola panas Zhang, adakah  remah-remah nikmat yang bisa ditampung sebagai ‘blessing in disguise’, yang ditangkap sebagai berkat tersamar yang mesti ditampih dalam keteduhan hati?  

Di sisi lain, apakah Zhang lagi menguji hati penuh sabar dan tahan diri dari saudara/i muslim yang lagi beribadah Puasa di bulan suci Ramadhan? Bahwa tahan diri itu, sejatinya, tak sekedar ‘jaga jarak dan tahan  diri’ untuk tidak menyentuh dan bersatu dengan makanan dan minuman. Puasa itu lebih menyangkut formasi kemuliaan akhlak untuk tahan diri dari halilintar amarah serta gemuruh balas dendam. Puasa itu adalah satu pedagogi berharga betapa nikmatnya keteduhan pikiran dan kenyamaan rasa. Walau datang badai gelombang yang menerjang di rongga dada.

Tetap ada harapan akan suara-suara sejuk yang membawa damai di hati. Di sinilah panggung mesti terbuka selebar-lebarnya demi rahmat Puasa yang berbuah. Entah mau disebut sebagai sebuah revolusi mental atau pun revolusi akhlak, yakinlah bila ‘pengampunan pasti lebih kuat dari pada kebencian dan balas dendam,’ maka di situlah kemuliaan akhlak dipatrikan. Di situlah Puasa berarti mesti suci lahir dan di dalam batin. Kisah-kisah hidup, peristiwa, dan kejadian sekecil dan sebesar apapun tentu punya hikmah kebijaksanaan terselubung. Dan itulah yang harus dipetik, demi mengumpulkan berkah perjalanan menuju keabadian! Karena rumah kita yang sesungguhnya bukanlah di sini, di kefanaan dunia ini.

Verbo Dei Amorem Spiranti

Collegio San Pietro-Roma 

RELATED NEWS