SUDUT PANDANG: Dukung Pariwisata Labuan Bajo – Alor-Pantar, Benahilah Hal-Hal Kecil!
Redaksi - Senin, 07 Juni 2021 10:19Oleh Pater Paulus Koko Tolang SVD
Pater Paul adalah imam dan misionaris SVD kelahiran 28 April 1964, Helangdohi-Pantar. Setelah menyesaikan studi di SMA Seminari San Dominggo Hokeng, pada Juli 1984 ia masuk Novisiat SVD di Ledalero. Kemudian ia studi di STFK Ledalero hingga tamat 1991. Pada 29 September 1992 ia ditahbiskan menjadi imam oleh Mgr. Donatus Djagom SVD di Seminari Tinggi Sto. Paulus Ledalero. Setahun kemudian, tepatnya pada 29 Oktober 1993 ia menjejakkan kakinya di tanah Brasil dan melakukan pelayanan pastoral parokial dan kategorial hingga sekarang ini. Kini ia tinggal di Ponta Grossa.
Pengalaman sebagai anak Indonesia (Flobamora) diaspora
Jika pada tulisan bagian pertama yang dirilis media ini pada 1 Juni lalu, saya memaparkan pandangan tentang keindahan daerah kita yang membuat orang asing berminat berkunjung, maka pada bagian ini saya mengemukakan pengalaman dan kesan saya sebagai warga Indonesia diáspora, terutama pengalaman ketika beberapa kali berlibur ke tanah air sejak tahun 1993.
Sebagai ‘perantau’ jelas selalu ada kerinduan dalam hati saya untuk cepat bertemu dengan keluarga, sanak kerabat dan handaitaulan. Meski untuk itu saya harus terbang dengan pesawat dari Brasil selama 20-an jam, kemudian naik kapal/perahu motor, naik bus, bersepeda motor atau harus berjalan kaki.
Setelah merenung, ternyata banyak pengalaman yang membuat saya merasa geli sendiri. Kenapa saya katakan demikian? Karena di kepala saya sudah banyak pemikiran yang berbebeda karena pengaruh situasi dan kondisi di mana saya hidup dan berkarya selama hampIr 30 tahun.
Sebagai contoh, menyangkut hal-hal kebersihan. Di Brasil, orang-orang tidak membuang kotoran sembarang tempat, kecuali keluarga yang sangat miskin, pemulung dll. Di Brasil, keluarga sudah membiasakan anak-anak kecil untuk menyimpan kulit gula-gula di saku baju atau celana atau dalam rangsel dan nanti kalau ketemu kotak sampah baru dibuang ke tempat itu.
Banyak orang yang merokok pun sudah tahu di mana mereka harus membuang puntung rokok. Botol air mineral tidak dibuang ke sembarangan tempat. Bahkan, sedapat mungkin dikumpulkan dan diberikan kepada orang yang melakukan resiklasi. Begitu pula dengan kaleng kosong. Pendeka kata, mereka tidak membuangnya sampah atau barang bekas ke sembarang tempat.
Saya memperhatikan, keluarga-keluarga di Brasil melatih anak-anaknya untuk mencuci tangan sebelum makan. Atau, bagaimana menggunakan kamar mandi atau toilet. Juga soal tata cara makan dengan mulut tertutup saat mengunyah makanan dan jangan berbicara kalau mulut penuh dengan makanan.
Orang Brasil juga dibiasakan untuk mengantri seperti di terminal bus, stasiun kereta, pelabuhan kapal laut, di bandara udara, bahkan waktu mengambil makanan di restoran atau di mana pun. Mereka tidak melakukan serobotan sana sini. Ini sedikit contoh-contoh kecil yang saya belajar dari orang Brasil.
Transportasi yang belum ramah
Di Brasil, ketika saya melakukan perjalanan dengan bus atau kereta situasinya cukup nyaman. Namun, ketika saya berlibur di tanah air, saya selalu mengalami hal-hal yang kurang menyenangkan.
Beberapa kali saya bepergian dengan kapal laut atau feri di Flobamora, saya mengalami bahwa koper dan rangsel serta semua bawaan saya yang sering tergencet, ditindis seenaknya oleh penumpang yang lain. Pernah terjadi ada barang bawaan saya yang hilang. Bahkan, nasi bungkus yang disiapkan untuk makan malam di kapal pun bisa hilang.
Pernah terjadi, saya menumpang kapal ferry dari Alor ke Kupang. Waktu itu semua barang saya tertindis oleh barang milik penumpang lain, sehingga hanya bisa diambil setelah tiba di tempat tujuan. Kapal penuh sesak dengan barang bawaan. Bahkan, penumpang bercampur dengan hewan seperti ayam, babi dan kambing. Sungguh, membuat para penumpang tidak nyaman.
Repotnya pula, toilet di kapal ferry sangat tidak dirawat. Anda bisa membayangkan bagaimana repotnya kalau seeorang penumpang mengalami sakit perut.
Ketika berpergian dengan pesawat pun, keadaannya tidak cukup menyenangkan. Banyak penumpang membawa segala macam barang, termasuk barang-barang yang tidak perlu dibungkus dengan kotak karton yang ukurannya cuku besar. Akibatnya, para penumpang yang lain, sering kerepotan menempatkan barangnya di kabin. Pemandangan seperti itu hamper tidak ditemukan di tempat-tempat lain seperti di Eropa, Amerika, termasuk di Brasil.
Dalam keadaan seperti itu, terkadang saya cuma tertawa saja atau tersenyum malu. Sebab, keadaan seperti itu membuktikan bahwa orang kita belum belajar untuk hidup teratur dan berdisiplin diri. Kita masih kurang sensitif terhadap kehadiran dan kebutuhan orang lain di sekitar kita.
Selain itu ada pula pengalaman yang menurut saya kurang mendukung kemajuan pariwisata di tanah air. Pada suatu waktu, saya bersama seorang keponakan jalan-jalan ke Borobudur. Ketika tiba di pintu masuk kami ke loket untuk membayar karcis atau tiket masuk. Saya merasa lucu dan kesal juga, ketika keponakan saya membayar sesuai harga tiket, tapi penjaga loket malah mengatakan: “Kamu membayar sekian, tapi turis harus bayar dengan harga berbeda.” Lalu keponakan saya menjawab: “Turis yang mana? Ini om saya, dia bukan turis!”
Dari pengalaman kecil itu, saya menilai bahwa ada hal yang kurang beres, terutama kepekaan kita untuk mengenal orang kita sendiri. Lalu, mengapa mesti melakukan pembedaan harga antara pengunjung lokal dan asing? Menurut saya, semestinya ada perlakuan yang sama terhadap semua yang namanya pengunjung, baik lokal maupun asing. Perlakukan beda harga seperti itu membuktikan bahwa masyarakat kita itu diskriminatif. Jadi, wajar saja kalau banyak turis asing seringkali merasa kesal ketika mengalami situasi dan pelayanan diskriminatif yang kita lakukan.
Sekali waktu saya numpang bemo dan mau turun di tempat tujuan, kondektur lalu meminta bayaran dengan mengatakan, “Mister mister tolong bayar ya. Anehnya, ketika saya memberi sejumlah uang nilainya lebih besar dari tarif yang berlaku, tapi dia kembalikan uang saya tidak sebesar yang seharusnya. Saya lalu bertanya,”Mengapa kaum kembalikan hanya begini? Dia menjawab, “Karena Mister orang asing, harus bayar lebih.” Lalu saya bilang, “Saya bukan turis asing, saya orang Alor yang penah tinggal di sini.” Setelah itu, baru dia kembalikan sisa uang saya.
Hal-hal sebagaimana saya kemukakan di atas kelihatanya sangat sepele. Tapi, bisa punya dampak besar. Kita bisa saja dicap oleh orang asing sebagai bangsa yang kurang bermartabat, karena suka mengeruk harta orang lain.
Semoga Indonesia, khususnya Flobamora tetap jadi kebanggaan
Walaupun demikian saya sebagai orang Indonesia selalu merasa bangga kalau bercerita tentang Indonesia kepada orang-orang Brasil. Soalnya bangsa kita dipandang unik di dunia dengan negara kepulauan, banyak suku dan bahasa serta budaya. Kita sangat dipandang sebagai bangsa yang bersatu karena falsafah hidupnya Panca Sila dan diwarnai oleh kebihnekaan yang tunggal.
Itu merupakan ciri khas bangsa kita yang sangat dihargai di mata dunia. Oleh karena itu sebagai orang diaspora, saya merasa bertanggung jawab juga untuk mengingatkan dan mengajak agar kalau boleh kita selalu berbenah diri dalam melayani para turis asing. Mari kita buktikan kepada masyarakat global bahwa kita adalah bangsa besar dan bermartabat. Mari kita menjaga tutur kata dan perilaku kita sebagai orang Indonesia yang sudah dikenal ramah dan baik hati.
Penutup
Sebelum menghakiri tulisan ini, perkenankan saya untuk menyampaikan terima kasih sekali lagi kepada media floresku.com yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk berbagi pengalaman dan pikiran. Mudah-mudahan dapat menjadi bahan refleksi bagi kita bersama untuk memajukan peradaban kita, khususnya untuk memajukan pariwisata kita. Mari kita bersatu, dan bersaudara menuju Indonesia maju.
Demikanlah catatan dan pandangan saya mengenai beberapa hal yang berkaitan dengan pembangunan pariwisata di Indonesia, khususnya di Flobamora tercinta.
Apa yang saya kemukakan di sini adalah refleksi atas kenangan atau pengalaman pribadi, bukan hasil survei ilmiah. Tulisan ini juga bukan untuk merendahkan orang kita (Flobamora, red), melainkan supaya semua kita bisa belajar untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan global, kehidupan yang juga dihayati oleh para wisawatan asing yang akan berkunjung ke Negara, daerah atau ke kampung halaman kita.
Sebagai putra Flobamora, saya merindukan bahwa semua kita , khususnya warga Flobamora, terus berbenah, mulai dari hal-hal kecil hingga penyediaan infrastruktur trasportasi dan akomodasi yang nyaman.
Mari kita belajar untuk menerima dan melayani para wisawatan, baik lokal, nasional maupun asing, dengan cara yang profesional mereka selalu merasa dihargai dan bergembira. Dengan demikian, mereka akan kembali ke negeri asalnya sambil membawa pengalaman berwisata yang menyebangkan dan tak terlupakan. Bahkan,mereka pun rindu untuk datang lagi ke Flobamora. ***(TAMAT).