SUDUT PANDANG: Mengapakah Engkau Menampar Aku?
Redaksi - Jumat, 28 Mei 2021 21:20Oleh P Kons Beo SVD
Mengapakah Engkau Menampar Aku? Sekedar ‘Pasar Senggol’ atas Injil Yohanes 18:23)
Yesus Dan Tamparan Itu
Di hadapan Imam Besar ada pledoi. Singkat. Jelas. Padat. Pembelaan diri Yesus yang tepat sasar itu bertolak dari rasa heranNya. Dia berbicara terus terang kepada siapapun. Ia berbicara di pelbagai kesempatan di rumah ibadat dan bahkan di Bait Allah. Dan Yesus tegaskan pada akhirnya, “Aku tidak pernah berbicara sembunyi-sembunyi” (Yoh 18:20). Andaikan pihak Imam Agung ingin selidiki lebih jauh, ya ada sekian banyak saksi publik. Sebab kata Yesus, “Tanyailah mereka, yang telah mendengar apa yang Kukatakan kepada mereka; sungguh mereka tahu apa yang telah Ku-katakan” (Yoh 18:21).
Ini tentu bukan pengadilan. Ia hanya sebatas tuduhan-tuduhan bersilewaran. Tak karuan. Tetapi pada inti dan muaranya, telah dipatok: Yesus harus dihukum mati. Tetapi, apakah drama di depan Imam Agung, dan kemudian di hadapan Pilatus, sungguh berjalan sekian mulus? Hanya karena yang didakwah itu telah terborgol? Dan karena Ia sama sekali tak miliki kekuatan sedikitpun untuk melawan? Karena Ia tak punya segerombolan orang yang akan berdemo besar-besaran dan berjilid-jilid untuk membelanya?
Tamparan itu diterima Yesus. Dia dianggap tak selayaknya berbicara seperti itu terhadap seorang Imam Besar. Orang yang berkedudukan tinggi. Yang bersentuhan dengan kuasa ilahi yang ada di bumi. Terutama dalam berbagai peran kultis Yahudi di Bait Allah Yerusalem. Tetapi, kisah tamparan itu direaksi dengan satu pertanyaan kecil, singkat, dan terukur, “Mengapa engkau menampar Aku?” Dan tamparan itu justru menjadi satu kekuatan dahsyat bagi Yesus untuk bersuara.
Tamparan tak layak dan sama sekali tak boleh diberi kepada siapapun yang tak bersalah! Patutkah kisah kasih, perbuatan karitatif, sekian banyak lakon yang mengusung martabat kemanusiaan, harus dibayar dengan harga sebaliknya? Yakni bahwa kekerasanlah yang harus diterima? Yesus menanti sebuah jawaban! Yesus menggugat sebuah hati dan kepala yang sanggup memberikan tanggapan yang jujur!
Tamparan Yang Menggugat
Mari kita yakin! Sepertinya di kisah itu tak pernah ada isyarat pengadilan terhadap Yesus. Justru sebaliknya, adalah Yesus yang mengadili Imam Besar dan para penuduhNya. Maka, “Mengapakah engkau menampar aku?” sejatinya adalah momentum pewartaan kebenaran dan kekuatan Kasih! Ya, jalan hidup penuh kasih tidak akan pernah dirusakkan oleh kekejian tuduhan apapun pada Yesus.
Tetapi ini tak pernah berarti bahwa Yesus mesti diam! Tak melawan tak berarti tetap harus dalam hening tanpa kata. Tak membalas tidak berarti tak ada celah untuk menggugat. Untuk tidak membongkar seperti apa segala pola pikir yang selalu menjurus pada kekerasan, kebencian serta segala rasa tak suka. “Mengapakah engkau menampar aku?” sungguh menggugat segala dogma, tradisi, kebiasaan Yahudi yang memahami Allah dan segala tindakan keseharian berkaitan denganNya dan sesama.
Yakinlah bahwa di saat itu, Yesus tak ingin hanya diam membisu, untuk hanya tampil sebagai pesakitan, yang menjadi sasaran kebencian dan ketidaksukaan warga bangsaNya sendiri. Ia mesti bersuara demi mencapai pencerahan akal sehat dan demi satu tatanan hati nurani nan bening.
Di kisah perutusan, Yesus ingatkan para muridNya akan panas dan garangnya suasana serigala yang bakal dihadapi (cf Mat 10:16-30). Suasana serigala tak pernah sanggup bersahabat dalam kesejukan hati bahwa ada pula anak-anak domba yang rindukan kedamaian! Bagi sepasang mata serigala, anak-anak domba tetaplah sebagai sasaran lembut yang perlu disergap, dikoyak dan dimangsa.
Yesus tentu punya harapan tinggi bahwa di tengah suasana serigala, para murid yang diutusNya itu tetaplah berkarakter ‘anak domba.’ Transformasi diri dari anak domba menjadi serigala sangatlah tidak dibenarkan. Dalam Yesus “sekali anak domba, tetaplah anak domba.” Tak boleh berubah jadi serigala, apalagi melampaui serigala dalam kegarangan! Tetapi, mestikah selalu harus ada dalam kebisuan, tak buka mulutnya bagai anak domba yang dihantar ke tempat pembantaian? (cf Yes 53:7).
Segala Diam Harus Kita Buang
Dunia mesti berbicara. Dunia mesti bertanya untuk membongkar satu cara berpikir sempit yang justru darinya lahirlah sikap dan tindakan yang menghancurkan kemanusiaan dan dunia itu sendiri. Tekanan atau berbagai jenis kekerasan tak pernah boleh menjadi alasan untuk sebuah ketakutan nan bisu. Tak pernah boleh ditafsirkan sebagai satu kepasrahan injili mengikuti Yesus. Tidakkah dalam Injil, justru suasana mencekam, suasana ditampar adalah kesempatan emas untuk memberi kesaksian? (cf Luk 21:13).
Dunia (Gereja) dalam semangat roh adalah kumpulan orang yang berbicara. Konsili Vatikan II diyakini sebagai momentum aggiornamento. Ini bukan konsili dogmatik untuk berbicara lagi secara ketat mengenai ajaran-ajaran Gereja yang telah baku (kaku). Paus Yohanes XXIII, dalam semangat pembaharuan, nahkodai Gereja ke alam pastoral. Menuju dunia yang terbentang luas dan terbuka, sekaligus membiarkan angin segar berhembus masuk melewati sekian banyak klausura Gereja yang terkesan hening, sunyi dan bahkan sepih membisu.
Tak bertanya, diam membisu, terkadang dapat menjadi lahan subur demi segala tindakan penuh kekerasan dengan segala variasinya. Tetapi, diam dan tak bersuara, sebatas membiarkan pipi kiri-kanan ditampar, tanpa pertanyaan, bisa pula dianggap sebagai pembenaran bagi pihak lain. Terkadang Gereja mesti lebih banyak berbicara tentang hak-hak asasi manusia. Dunia mesti bersuara dan melek hukum-hukum sipil yang mengundang serentak menantang manusia untuk sama-sama berjuang hidup dalam harmoni dan saling menghargai dalam kemajemukan yang sulit terhindarkan!
Jika sebatas hening, diam membisu, Gereja bisa saja dengan mudah terjebak dalam menafsir dan menempatkan segala tesis di luar Gereja sebagai biadaah. Itulah yang disebut John Allen sebagai “Katolisisme Taliban” (2004). Pengusung dan penikmat ‘alam Taliban’ itu selalu tanpa bertanya dan juga yakini diri begitu ‘sakti dan sakral’ dan karenanya merasa alergi untuk tidak boleh memang dipertanyakan! Dan buruknya lagi, hal ini dipakai sebagai argumentum sacrum untuk membabat yang segala yang berbeda atau yang tak sepaham.
Bersuara Demi Yang Ditampar
Sekali lagi, di hadapan para pendakwahNya Yesus bertanya “Mengapa engkau menampar Aku?”. Akal budi, pikiran memang harus dibuka untuk menjawab! Untuk menjelaskan. Untuk tidak hanya larut dalam rawa-rawa sentimental atau inflasi emosi sebatas tidak suka atau rasa penuh benci. Lihat saja, dalam kehidupan bersama. Mari ambil contoh punya kita sendiri. Dalam keseharian kita. Entah dalam keluarga sendiri atau dalam kehidupan bertetangga.
Terkadang orang dengan mudah tergurita hanya oleh rasa tidak suka atau benci belaka. Tanpa penalaran. Ya, tanpa akal sehat! Itu tadi, hal ini bisa saja terjadi karena kurang bertanya, malas berbicara, atau enggan berdiskusi. Kita sungguh terborgol oleh tafsiran-tafsiran punya kita sendiri. Bukankah alam Taliban telah tercipta? Ketika kerja kita hanya suka menampar sesama dengan segala kekejian kata-kata dan sikap kita? Kata orang bijak, “Bukan hanya soal hati, tetapi juga soal kepala. Menggunakan kecerdasan untuk memahami mereka yang berbeda. Jadi, soal bicara dan mendengarkan begitu penting unguk membangun komunio” (Radcliffe, 2005).
Dunia kita telah tergenang oleh air mata penuh tangisan akibat sekian banyak tamparan. Sekian banyak manusia yang ditampar oleh struktur dan kuasa yang menindas, oleh kekerasan, kemiskinan, kelaparan, ketidakadilan, kepalsuan, fitnah dan iri hati. Bukankah kaum LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender), alkoholik, pencandu naroba, PSK, atau penderita HIV-AIDS dengan mudah sekali sering menjadi sasaran tamparan untuk dipinggirkan dan disekap atas dasar konsep miring karena tak utuh terekam kisah-kisah mereka? Kemajemukan itu tidak hanya menyangkut asal, budaya, agama, atau suku (ras). Kemajemukan adalah kelimpahan kekayaan yang terlekat tetap pada kodrat manusiawi in persona!
Kata Akhir
Di masa kini, manusia mudah sekali tergerus dalam dikotomi suram. Artinya, kita gampang terjebak dalam kapling siasat identitas asal bukan… atau berbeda dari… Mengatakan saya seorang yang beragama hanya karena saya bukan a-theis sama sekali bukanlah sebuah jawaban! Atau mengatakan saya seorang imam Katolik hanya karena saya bukanlah seorang pendeta Protestan adalah satu kedangkalan jawaban. Atau pun saya seorang muslim hanya karena saya bukanlah seorang yang beragama lain yang kafir dan yang patut diharamkan, sama sekali hanya menunjukkan kesempitan dan kekerdilan dalam cara dan isi berpikir.
Kisah dunia yang ditampar adalah cerita semua manusia. Dan bahkan itulah kisah segala makhluk. Karena itulah, saling berbicara, mengatakan, bertanya, menggugat adalah panggilan semua manusia! Dari situ, lahirlah jawaban-jawaban yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan. Dari pelbagai perlbagai tinjauan atau dari variasi disiplin ilmu, dan tentu atas berbagai pertimbangan pula.
Maka, ketika Anda ditampar bersuaralah tegas! Ketika sekian banyak wajah bumi ditampar, berteriaklah lebih keras lagi.
Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro-Roma